Shani kembali memukul pipi Vino yang satunya dengan penggaris. Ia menatap tajam Vino dengan tatapan benci dan cinta yang jelas bercampur jadi satu.
"Kamu mau apa lagi?" Tanya Vino dengan agak lemah.
"Menurut kamu?!"
Shani langsung menggoyangkan pinggulnya dengan cepat. Bunyi gemerincing borgol di kedua tangan Vino terdengar nyaring. Suara decit kaki kasur yang bergesekan terdengar beradu dengan suara desahan yang keluar dari mulut Shani dan Vino.
Shani mendekatkan wajahnya, ingin sekali mencium bibir Vino kembali. Namun, karena Vino menghindarinya, ciumannya kini beralih ke rahang Vino yang keras.
Jilatan Shani turun ke leher Vino, leher yang tadinya basah oleh keringat itu kini basah oleh jilatan Shani.
"I-Indiraahhh."
Shani langsung menghentikan aktivitasnya di leher Vino, menatap Vino dengan tajamnya. Ia menghentakkan pinggulnya keras sambil meremas bahu Vino.
"Udah aku bilang jangan panggil aku Indiraaaa!!!"
"Aaaaaa!!"
Vino berteriak keras ketika remasan Shani semakin kencang di bahunya, kuku-kuku jari-jari Shani menusuk ke dalam kulit Vino. Wajah Shani memerah menahan amarahnya, ia terlihat tak peduli dengan Vino yang merintih kesakitan. Ia terus mencengkram keras bahu Vino tanpa menghentikan goyangannya di bawah sana.
"Teruslah berteriak, Vino."
Shani terus menggoyangkan tubuhnya tanpa melepaskan cengkramannya. Desahan Vino pun terdengar bersamaan dengan rintih kesakitannya, Shani tersenyum miring melihatnya. Saat melihat Vino mulai tenang dan menikmatinya, Shani menghentikan kegiatannya saat ia mencapai orgasme pertamanya.
"Ahh!" Shani tersenyum lalu menampar Vino. "Dasar, paling bisa bikin aku orgasme. Sebel." Dicubitnya hidung Vino dengan gemas.
Shani lalu bangkit untuk mematikan AC kamarnya.
"Kasian kamu keringetan gitu padahal aku pake AC. Lebih baik aku matiin sekalian, ya ututu mpus meongku," ucap Shani sambil mengusap-usap bawah dagu Vino. "Uwuwu mukanya lucu banget. Makin bikin aku gemes."
Dengan kasarnya, Shani mengarahkan ujung penggaris miliknya lalu menekannya di dada bidang Vino. Shani seakan menikmati setiap ekspresi kesakitan yang tergambar jelas di wajah Vino.
"Kenapa sayang? Sakit?" Shani tersenyum sinis melihat Vino yang meringis terlebih saat ujung penggaris itu mengenai pundak Vino yang lecet akibat kuku Shani. "Kamu seharusnya nurut sama aku. Kalau gak, ya gini." Lirih Shani dengan lemah.
"Duhh, sampai keringetan gini." Shani mendekatkan wajahnya tepat disamping telinga Vino. "Kamu tau? Aku selalu suka saat kamu keringetan gini." Bisik Shani, sebelum ia kembali menegakkan tubuhnya.
Shani kembali berjalan untuk mengambil pisau lipatnya dan sebuah penutup mata yang lagi-lagi bergambar kucing.
"Kamu tau ini apa?" Shani menunjukkan penutup matanya yanh dipegang tangan kirinya.
"Penutup mata."
"Kucing pintar. Kalau ini?" Shani membuka pisau lipatnya lalu menunjukkannya kembali pada Vino.
"Ka-kamu mau apa, Shani?"
Shani tersenyum manis lalu ia kembali berbisik pada Vino, "aku cuma ingin sedikit bermain dengan kucingku."
"I'm not your cat--aaaa!!!"
Teriak kesakitan Vino terdengar saat ujung pisau lipat Shani tiba-tiba menusuk pundak kirinya yang sebelumnya terluka. Tubuh Vino memberontak namun karena tangan bahkan serta kakinya terborgol, Vino tak bisa lari kemanapun.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Lesson
FanfictionBasic idea from "The Lesson" (2016) movie by Rutt Platt A story duet with @Rabiurr and @Shion2 Warning a Mature Content - Violence Scene