Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
➳ "Mama, Hyunjin mau ngomongin sesuatu."
Ibu Hyunjin menaruh kue yang baru saja dikeluarkannya dari oven di meja makan, kemudian menoleh pada anak tunggalnya. "Mau ngomong apa? Kamu remidi bahasa Jerman dapat nilai 2?"
Hyunjin mendengus. "Enggak, ma. Remidi Hyunjin yang kemarin, nilainya pas. Jadi nggak remidi lagi. Tapi bukan soal itu "
"Terus?"
Namun Hyunjin tak segera menjawab. Pemuda itu malah mengetuk-ngetukkan jarinya di permukaan meja, tak berani bertemu pandang dengan ibunya.
Menyadari tingkah aneh anaknya, ibu Hyunjin mengisyaratkannya untuk duduk di meja makan. "Ada apa?"
Hyunjin memilih salah satu kursi lalu duduk, menggaruk tengkuknya grogi. "Ini soal—Felix."
Ibu Hyunjin tersenyum, ikut duduk di sebelah Hyunjin. "Dari dulu mama mikir, kapan kamu mau mulai cerita soal dia ke mama."
"Mama tau?" Hyunjin terperangah.
"Semua orang bisa lihat, cara kamu merlakuin dia itu beda, Hyunjin." Ibunya menepuk pundaknya. "Sekarang, kenapa sama Felix?"
"Boleh gak—Hyunjin ngelamar dia setelah pengumuman kelulusan?" Hyunjin mengalihkan pandang lagi, tak berani menatap ibunya saat raut wajah wanita cantik itu berubah. "Hyunjin udah lama sayang sama Felix, mama." Pemuda itu berujar cepat. Lalu mengalirlah cerita tentang pertemuan pertama mereka, tentang bagaimana anak kecil blasteran yang menyebalkan itu mengenalkan dirinya sebagai Felix Lee, tetangga baru.
Hyunjin juga menceritakan bahwa rumah dan kamar Felix selalu menjadi tempatnya kabur selama ini, saat ayahnya mulai memukuli ibunya. Hyunjin bahkan menceritakan bahwa ia pernah mencoba bunuh diri dengan berusaha membuat dirinya sendiri overdosis narkotik saat SMP—rahasia yang selalu disembunyikannya dari ibunya—, dan Felix yang menolongnya.
"...disitu Hyunjin sadar, ma. Hyunjin udah jatuh terlalu jauh. Hyunjin gak bisa bayangin gimana hidup Hyunjin kalau gak ada Felix." Hyunjin terdiam setelah selesai bercerita. Ia memejamkan mata, bersiap menghadapi apapun konsekuensi dari kejujurannya. Dia telah menceritakan semuanya—soal rahasianya, soal keterlibatan Felix di hidupnya.
Ibu Hyunjin mengatupkan bibir rapat-rapat, tak mengeluarkan sepatah pun komentar selama Hyunjin bercerita. Dia hanya sekali terkesiap saat tahu bahwa anaknya pernah mencoba barang haram itu. Wanita itu kemudian menghela nafas lelah.
"Kenapa Hyunjin mau sama Felix?"
Kalimat ibunya benar-benar tak disangka. Hyunjin kira ibunya akan marah besar sebagai reaksi atas pengakuannya. Namun ibunya hanya tersenyum lelah.
"Hyunjin cinta sama Felix, ma."
Ibunya mengerutkan kening. "Cinta bukan alasan, Hyunjin. Papa kamu sering bilang dia cinta sama mama, tapi kamu tau sendiri apa aja yang udah dia lakuin, kan?" Wanita itu mengamit tangan anaknya, memperhatikan baik-baik bintik-bintik bekas tusukan jarum hasil masa lalu Hyunjin. "Cinta itu enggak kekal. Yang bikin kamu cinta sama Felix hari ini, mungkin akan berubah di kemudian hari. Kamu yakin kamu bener-bener cinta sama dia? Gimana kalau perasaanmu itu cuma sebatas terbiasa dia ada? Apa yang bisa kamu kasih ke Felix? Apa jaminannya kalau kamu akan terus bersikap baik ke dia?"