Tentang Sebuah Perasaan

2.2K 104 0
                                    

"Tuhan, tidak ada yang lebih ku percayai selain Engkau ya Rabb, maka ku percaya bahwa perasaan ini adalah sebuah anugerah dari-Mu"

* * *

Reandra menelpon Ulin, adik kandungnya yang bernama lengkap Ulin Nuha. Perempuan yang sedang mendekati masa dewasa. Tiga tahun umurnya di bawah Reandra. Tahun pertama menempuh pendidikan tinggi di kampus swasta di Sumbawa Barat, kecintaannya akan dunia perbankan dan keuangan menguatkan tekatnya untuk kuliah di Fakultas Ekonomi.

Selain karena biaya kuliah di luar daerah sangat mahal, alasan ia ingin kuliah di dalam daerah ialah karena ia tidak ingin jauh dari ibunya yang hanya sendirian. Selain menjalani aktifitas kuliah hanya empat hari seminggu. Ia juga bekerja sampingan di sebuah Koperasi Simpan Pinjam bagian administrasi.

Pekerjaannya yang memuaskan membuat bosnya begitu percaya dengan talentanya. Impiannya bekerja di sebuah Bank, membuatnya begitu bersemangat dan mencintai apa yang ia jalani saat ini.

"Hallo... Kak Andra"

"Iya Lin. Bagaimana kabarmu, kuliahmu lancar?"

"Alhamdulillah kak, semuanya berjalan lancar"

"Mama ada?"

"Ada"

Ulin menyerahkan handphonenya ke Lisa.

"Hallo Ndra"

Suara Lisa haru dengan mata yang telah digenangi air dan siap ditumpahkan.

"Mama, baik-baik aja? Minggu depan Andra pulang. Heldy sama Jay akan ikut bersama Andra nanti"

"Alhamdulillah mama sehat, Ulin juga"

Air mata yang dari tadi telah tumpah membasahi kacamata yang terus hinggap. Namun sebisa mungkin ia tidak menunjukan rasa rindunya yang teramat sangat karena tidak ingin membuat Reandra banyak pikiran. Meskipun disana ia tahu kalau putranya terus merindukannya.

"Syukurlah Ma"

"Kamu bagaimana disana, sehat Ndra?"

"Andra baik-baik aja Ma, jangan terlalu memikirkan hal itu"

"Yaudah, mama istrahat ya. Jaga kesehatan dan do'akan Andra selalu. Assalamualaikum"

"Selalu mama do'akan yang terbaik untukmu. Walaikumsalam"

Memencet tombol merah di handphone dan menyerahkannya kembali ke Ulin. Kebahagiaan seorang ibu adalah ketika mendengar anaknya sehat dan baik-baik saja. Meskipun tidak bertemu dan berada pada tempat yang sama, rasa sayang seorang ibu merupakan semangat bagi seorang anak dalam meraih impiannya.

Dalam setiap do'a seorang ibu akan selalu terselipkan harapan terkhusuk untuk kesuksesan anaknya.

Setelah mendengar suara Lisa, Reandra merasa nyaman dan tenang. Meskipun sedari tadi pikirannya terganggu oleh sosok wanita yang telah menyekap hatinya, menyita setiap pandangannya dan penghuni setiap lamunannya, Aulia.

Rasa yang kian tumbuh dalam hatinya seperti tunas muda yang siap membesar dan menghuni setiap sudut hatinya. Rasa yang terus menyiksa, membungkam kata-kata seorang pujangga dalam sajak penemani kesepian malamnya.

Sendiri dalam keheningan, menikmati perihnya rasa yang menyiksa. Apakah semuanya akan terus seperti ini, berbicara atau menyatakannya mungkinkah cara terbaik untuk lepas dari penyiksaan rasa yang masih belum jelas artinya, ataukah hanya diam sampai rasa itu membusuk dan menghilang terbawa beribu pertanyaan tentang sebuah kesimpulan yang samar.

Reandra menyadari bahwa ia harus bersikap, bukan menjadi seorang pengecut yang hanya diam di balik ketakutan. Dia mengambil handphone yang dari tadi ada di atas meja belajar. Dengan cepat jari itu bergerak menekan satu per satu hurup membentuk sebuah kata dan kalimat, kemudian ia mengirim pesan itu.

Assalamualaikum. Besok bisa bertemu di kampus?

Beberapa menit, Handphonenya bergetar dan berbunyi. Bertanda pesan masuk. Dengan sigap, jarinya membuka pesan, membacanya kata demi kata. Raut wajah yang kembali teduh setelah beberapa menit tadi begitu cemas.

Walaikumsalam, Iya Ndra. Bisa. Kebetulan besok ada urusan di fakultas mengurusi berkas untuk persiapan yudisium bulan depan

Dengan garis bibir yang semakin melengkung ke atas, jari jemarinya dengan lihai terus mengetik pesan balasannya.

Oke, besok ku kabari. Ada hal yang ingin ku bicarakan. See you bu asdos cantik. Assalamualaikum.

Iya Ndra, Walaikumsalam.

Setelah Aulia mengirim pesan itu, segala bentuk pertanyaan bermunculan dalam pikirannya, segala jenis rasa bercampur aduk menjadi satu dalam malam yang hening.

Rasa bahagia karena akhirnya ia bisa menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dari seharusnya. Rasa senang karena menemukan seseorang yang baik dan begitu perhatian kepadanya. Rasa nyaman karena hatinya kini telah berpenghuni oleh makluk Tuhan yang sempurna yang terus menanamkan pepohonan yang sejuk dalam hatinya.

Dan juga rasa gelisah serta takut jika ia harus pergi meninggalkan orang yang ia sayang untuk sebuah kesempatan yang takkan datang dua kali. Sebuah impiannya sejak menginjak SMA kelas dua. Bimbang, bingung dan takut kehilangan cinta yang baru saja ia rasakan seumur hidupnya.

"Tuhan, tidak ada yang lebih ku percayai selain Engkau ya Rabb, maka ku percaya bahwa perasaan ini adalah sebuah anugerah dari-Mu,"  ucapnya dalam hembusan napas yang keras.

Berharap malam ini cepat berlalu, agar segala hal yang menghuni pikirannya bisa lewat dan terbawa oleh hening dan dinginnya malam ini. Ia kemudian mematikan lampu kamar dan menyalahkan lampu tidur berwarna biru yang terletak di sudut kiri kamarnya. Ia terlelap dan berlalu bersama penghuni pikiran yang perlahan terlepas.

Berbeda dengan Reandra, ia terus berpikir kata-kata apa yang akan ia gunakan untuk berbicara besok. Bukan berbicara soal omong kosong, rayuan gombal maupun PR Aljabar dengan kesulitan tingkat tinggi. Tapi ini tentang hati, tentang rasa yang menyiksa, tentang sebuah kesimpulan yang ingin ia dapatkan jawabannya.

Ia menghembus napas dalam-dalam, mencari ketenangan dari hati yang dari tadi kian resah, dan detak jantung yang semakin kencang. Ia terbangun dari rebahannya, kemudian menuju meja belajar, dia mengambil sebuah kertas putih polos tanpa tulisan dengan sebuah bolpoin dalam kotaknya. Ia mulai menulis apa yang ada dalam pikirannya, mengalir seperti air keran yang dibuka tutupnya.

Sebuah sajak yang mungkin akan mewakili rasa yang ingin disampaikan kepada Aulia. Tulisannya  selesai dan dibungkus dengan amplop putih tanpa keterangan, polos. Segalanya telah curahkan dalam kertas itu, ia pun terlelap setelah ia menyeruput sisa segelas vanilla latte dalam cangkirnya.

* * *

* * *

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TBC...

Mampukah mereka menjaga perasaan masing-masing?

Tunggu ya.

Cinta diujung Istikharah [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang