Curhatan Senja

1.3K 70 0
                                    

"Ini adalah senja yang kesekian kalinya ku lewati tanpa kamu yang juga menyukai senja, sebuah karya seni Tuhan yang paling ku sukai seperti senyummu"

* * *


Malam yang hening. Reandra tahu ini adalah hari ulang tahun Aulia yang ke dua puluh dua. Rindu adalah hal yang tidak bisa ia pungkiri, menjelma menjadi sesuatu yang begitu menyiksa batinnya. Ingin dia berteriak untuk mengutarakan rindu itu, tapi siapa yang akan mendengar selain angin yang berhembus dalam keheningan, ataukah kopi dingin yang mengampas. Ia berdiri di depan tembok kamarnya yang terpajang puluhan sajak-sajak yang tertulis dalam lembaran-lembaran berwarna putih dan hitam yang sengaja ia letakkan bertindihan membentuk seperti gambar hati yang berukuran besar.

"Wi, kenapa kamu buat aku seperti ini, tersiksa oleh rindu yang semakin menusukku. Bahkan sajak-sajakku ini tak mampu lagi menyicilkan rinduku kepadamu yang amat besar, sungguh."

Reandra menyandarkan kedua tangannya di tembok itu dengan tatapan lurus ke lembaran-lembaran itu. Reandra memukul-mukul kepalan tangannya beberapa kali ke tembok yang berjejeran kertas-kertas itu.

Terasa rindu itu semakin merasuk, sesekali ia memegang kepala dengan kedua tangannya. Kemudian ia kembali ke tempat tidurnya menikmati vanilla latte yang sedari tadi telah mendingin bersama malam yang menghening. Pikirannya kosong, entah harus memikirkan apa. Memikirkan orang yang belum tentu memikirkannya.

"Ahh... ini adalah hal konyol. Apa ini yang aku sebut cinta, cinta gak pernah membuat pemiliknya tersiksa. Cinta adalah keindahan, kebahagian juga ketenangan. Ataukah aku jatuh cinta pada senyuman yang sama dari sosok yang berbeda. Apa Mentari yang bisa membuatku merasa nyaman. Belum, tidak mungkin sesingkat ini," gerutunya pelan sambil bibirnya terus menyeruput vanilla lattenya seperti orang kehausan ataukah hatinya yang kehausan. Lelah akan penantian tanpa suatu persetujuan.

*****

Langit kota Mataram begitu cerah. Matahari cukup terik siang ini. Mengendarai vespanya, Reandra menuju kampus untuk mengurus segala kelengkapan wisuda yang akan diadakan sebulan lagi. Menyusuri jalan kota Mataram yang tidak terlalu padat membuatnya lebih cepat sampai ke kampus. Sesampai di parkir, terlihat tidak terlalu ramai di Fakultas Matematika dan IPA. Kendaraan yang ada tidak sampai memadati ruang parkir fakultas. Ia masih menunggu waktu istirahat selesai. Seperti yang lainnya ia menikmati penantian di bangku yang berjejer panjang di sepanjang depan ruang fakultas. Tangannya mengambil handphone disaku kirinya. Rasa bosan memang terkadang membuat pikiran terasa penuh. Mengambil earphone yang ada disaku tasnya dan mendengar musik favoritnya. Hampir setengah jam menunggu petugas kembali. Tiba-tiba handphonenya bergetar. Pesan singkat masuk dari Heldy.

Ndra, Nanti sore kita ketemu di tempat biasa ya. Pantai Ampenan. Jay udah setuju. Okey.

Dengar lihai jarinya mulai mengetik kata demi kata.

Okey. Tunggu disana aja. Selesai urusanku di kampus. Langsung kesana

Akhirnya orang yang di tunggu-tunggu oleh mahasiswa muncul juga. Pintu kemudian dibuka dan mempersilahkan setiap yang berkepetingan masuk ke ruangan. Setelah beberapa menit mengantri di depan ruangan. Tibalah gilirannya. Mengeluarkan segala berkas-berkas persyaratan wisuda kemudian diserahkan kepada pihak fakultas. Setelah semua telah diperiksa kelengkapannya. Tugasnya pun selesai. Rasa lega sedikit membuat pikirannya tenang. Segera ia melangkahkan kakinya menuju parkiran dan berlalu bersama vespanya.

Hari sudah hampir sore, ia telah sampai duluan ditempat biasa mereka menikmati sore bersama Heldy juga Jay. Matahari kini mulai menurunkan teriknya. Cahayanya tidak lagi panas sepanas terik, namun begitu hangat sehangat pikirannya saat ini. Setelah memesan vanilla latte kesukaannya. Heldy dan Jay tiba mengendarai Mazda merah. Mereka menghampirinya setelah memesan minuman masing-masing serta makanan ringan yang cukup untuk menikmati senja yang begitu menggoda dan menawan. Mereka duduk menghadap laut yang kini telah surut. Namun pesonanya masih saja indah seperti wajah itu yang tak pernah hilang dari pikirannya meski perih terus menyiksa rindunya.

"Akhirnya kita bisa wisuda bareng? uda beres?" tanya Jay.

"Uda Jay. Tadi saya mengurus pendaftarannya," jawabnya sambil menyeruput minumannya.

"Kamu satu-satunya mahasiswa angkatan 2009 yang lulus cepat dengan predikat coumlude," ucap Heldy dengan senyum bangga.

"Iya Guys. Berkat do'a dan usaha kita bersama. Thanks selama ini selalu jadi sahabat terbaik aku," ucapnya tersenyum bahagia.

"Tidak ada kata terima kasih untuk seorang sahabat. Kita telah berjuang bersama-sama untuk sampai wisuda ini. Iya gak Jay," cap Heldy sambil mengangguk menatap Jay.

"Iya dong. Sahabat itu adalah hal yang tidak akan pernah meminta apapun dari apa yang telah dilakukan. Bahkan disaat seluruh dunia mengabaikanmu, sahabat akan selalu mengangkatmu dan menyayangimu," ucap Jay dengan bijak. Keduanya menatap dengan penuh heran. Jarang sekali Jay bisa berkata sebijak itu. Lebih dewasa daripada umurnya sendiri. Keduanya pun tersenyum dan tertawa.

Langit seperti melukiskan keindahan yang tak pernah ada sebelumnya. Sejenak mereka terdiam sambil menikmati suara ombak yang menghempas bebatuan. Suguhan langit yang membisukan kata-kata. Hanya ucapan syukur kepada Sang pencipta yang bisa diutarakan lewat do'a kecil dalam hati.

"Hel, kamu yang paling banyak pengalaman soal cinta. Apakah cinta itu pilihan yang harus diperjuangkan?" tanya Reandra tiba-tiba.

"Tumben seorang pujangga menanyakan cinta. Harusnya kamu lebih tahu itu Ndra. Yang aku tahu, cinta adalah hal selalu membuat kita merasa bahagia, nyaman dan juga tenang. Hanya itu," jawab Heldy.

"Lalu, apakah aku salah menunggu jawaban dari kesimpulan yang belum bisa aku maknai hingga saat ini," lanjut Reandra menatap kedua sahabatnya.

"Maksudmu?" tanya Heldy tidak mengerti.

"Mau sampai kapan kamu nungguin dia Ndra, apa sampai senjamu tak lagi indah terlihat? Sadar Ndra, Tuhan nyiptain cinta untuk bahagia bukan menyiksa kamu," jawab Jay yang memahami maksud pertanyaan Reandra.

"Lalu aku harus gimana Jay?" tanya Reandra lirih.

"Ndra, dia pernah ninggalin kamu tanpa kabar apapun. Apa itu yang kamu maknai dengan cinta? Bahkan rindu yang menemanimu selama ini, apa pernah membuatmu bahagia? Semua pertanyaanmu ada pada dirimu Ndra. Kamu yang memilih dan menjalaninya," tegas Heldy meyakinkan sahabatnya.

"Iya Hel, Jay. Aku akan coba menikmati rindu itu saat ini hingga aku lupa bahwa aku pernah merindukannya. Dan aku butuh waktu untuk bisa melepas apa yang pernah aku perjuangin. Aku berterima kasih kepada Tuhan memberikan sahabat terbaik seperti kalian", ucapnya tersenyum.

Kata-kata yang mereka sampaikan kepada Reandra seakan memberi suatu semangat kepadanya. Kegundahan yang selama ini ia rasakan memang tidak sepenuhnya hilang. Orang yang pernah memperkenalkan cinta kepadanya tak semudah itu ia lupakan. Entah kenapa hatinya masih begitu yakin dengan apa yang ia jalani saat ini. Apakah ia harus mempersalahkan Aulia yang meninggalkannya tanpa status yang jelas. Ataukah harus mempersalahkan waktu yang telah membuatnya jatuh cinta pada saat yang tidak tepat.

"Ini adalah senja yang kesekian kalinya ku lewati tanpa kamu yang juga menyukai senja, sebuah karya seni Tuhan yang paling ku sukai seperti senyummu," ucap Reandra dalam hati sambil tatapannya tidak lepas dari mentari sore yang seolah akan tenggelam.

Mataharimulai tenggelam perlahan menghilang dari pandangan. Lukisan indah di langitluas tergambar begitu anggun dan menenangkan hati bagi yang melihatnya. Senjamemang waktu yang paling indah untuk merindukan seseorang. Tapi senja jugakadang menjadi waktu yang paling menyakitkan saat rindu itu tak pernah sampai pada seseorang yang dirindukan.


* * *

TBC...

Hingga saat ini Reandra masih bimbang, tentang penantian yang tak pernah mendapat kepastian. Mampukah dia bertahan?


Tunggu kelanjutan kisah Reandra ya, see you. Thank you ya guys

Cinta diujung Istikharah [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang