Rindu yang Menyiksa

1.4K 68 0
                                    

"Percayalah, rindu akan membawaku kembali dan akan ku ceritakan bagaimana ku merindukanmu dari kota ini"

* * *

Musim dingin pertama yang Aulia lalui di kota Berlin. Suhunya mencapai lima derajat celcius. Terkadang dalam kondisi tertentu suhunya dibawah titik beku. Sangat dingin, Namun tidak sedingin hatinya. Bahkan dingin kota Berlin tak mampu membekukan rindunya pada Indonesia, keluarga juga salah satunya sosok pemilik tatapan hangat itu. Reandra.

Keputusan yang ia ambil untuk mencoba menutup hatinya sementara waktu malah semakin membuatnya tersiksa dengan rindu yang semakin besar di dadanya. Rindu yang semakin hari semakin membuatnya kacau. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, jarak yang memisahkan seperti kekuatan tembok berlin saat itu yang membelah jerman menjadi dua bagian. Tidak bisa dipungkiri, rasa rindunya kepada Reandra membuatnya merasa bersalah sepanjang hari. Takut juga cemas semakin membuatnya terganggu.

Malam yang membosankan, perkuliahan yang melelahkan juga disini ia harus beradaptasi dengan hal-hal baru yang belum pernah ia jalani. Tanpa fasilitas yang dulu selalu menemani berkeliling kemana-kemana. Kamar yang selalu menemani curhatannya kini sangat berbeda. Ia begitu rindu Indonesia. Keputusannya untuk mengejar mimpi harus ia jalani dengan penuh ikhlas meskipun harus mengorbankan orang-orang yang dia sayangi. Untuk pertama kalinya ia menulis diari semenjak kakinya berpijak di kota padat ini.

~ ~ ~

Aku minta maaf, jika kepergianku secara mendadak telah membuatmu bertanya-tanya tentang perasaanku, rinduku juga harapanku. Mungkin kamu sudah tahu atau masih ada hal yang menjadi tanda tanya besar di kepalamu, aku sadar ini salah, dan aku menyesal telah membiarkan hati kita menggantung dalam kesimpulan yang tak pernah terbukti. Aku tidak ingin membuatmu tersiksa dengan rindu yang kita jalani, serta jarak yang sangat jauh. Percayalah, rindu akan membawaku kembali dan akan ku ceritakan bagaimana ku merindukanmu dari kota ini. Aku percaya kamu juga merindukanku Ndra.

~ ~ ~

Tangannya perlahan berjalan menulis kata demi kata di sebuah kertas mengikuti bisikan hatinya. Air mata seakan tidak bisa terbendung lagi mengalir dari pipinya hingga membasahi sebagian kertas yang ia tulis. "Apakah rindu itu selalu membuat pemiliknya merasa tersiksa, ataukah ada cara lain untuk merindukan seseorang tanpa air mata?" batinnya.

Di luar masih sangat dingin. Namun salju tidak turun hari ini. Aulia mencoba menenangkan dirinya. Dia mencoba menyeruput vanilla latte yang sengaja ia beli beberapa minggu yang lalu. Penasaran dengan rasanya yang membuat Reandra begitu menyukainya. Tapi sayangnya mentari sore tidak terlihat. Suatu yang mustahil melihat senja yang begitu indah di cuaca ekstrim seperti ini.

Untuk pertama kalinya ia mencoba vanilla latte. Cukup membuatnya kembali tenang, duduk di sebuah kursi dan menghadap tembok. Terpampang lukisan dari cat air yang dibingkai sedemikian rupa. Gambar dia saat bersama Reandra di sebuah tempat lukisan. Reandra yang diam-diam menyuruh Jay untuk membuatnya sebelum ia berangkat ke Berlin. Ia berusaha membuka kembali ingatannya ke waktu itu, pertemuan dengan Reandra di sebuah kedai kopi favorit Reandra yang kedua kalinya.

Saat itu senja menyapa dengan lembut serta cahaya yang begitu menakjubkan, membuat mata terasa begitu nyaman menatapnya, hati begitu sejuk. Pertama kalinya ia menyukai senja dan Reandra orang pertama yang menjelaskan tentang kebesaran Tuhan lewat karya seni yang begitu anggun.

Lamunannya semakin tenggelam dalam suasana saat itu, semakin membawanya menyelami satu per satu kenangan yang ia sempat lupakan semenjak berada di Berlin. Tangannya masih memegang gelas vanilla latte yang masih hangat, pandangannya terus tersorot pada lukisan itu. Seperti ia mendengar seorang laki-laki dengan tatapan hangat berkata kepadanya dan membawa lamunannya ke masa itu.

"Wi, aku punya sesuatu buat kamu," ucap Reandra dengan senyum hangat mendarat di wajahnya.

"Apa Ndra?" tanyanya.

"Tapi kamu harus menutup matamu dulu ya," pintanya

"Emang apaan sih Ndra, sampai harus tutup mata dulu." Semakin membuatnya penasaran.

"Kamu pasti suka kok. Aku hitung sampai tiga ya. Baru kamu boleh buka matamu. Tapi janji jangan curang."

"Okey." Aulia kemudian memejamkan matanya mengikuti keinginan Reandra.

"Satu...Dua...Tiga. Happy birthday bu asdos cantik." Kue tar dan lilin berangka 21 telah menyalah dihadapannya.

"Kamu curang, gak ngasih tau aku dulu," ucapnya dan terharu.

"Kalau aku ngasih tahu, bukan kejutan dong namanya. Yaudah sekarang kamu tiup lilinnya dan make a wish," pinta Reandra dan tersenyum.

Aulia meniup lilinnya dan berdo'a sambil memejamkan matanya. Reandra terpukau melihat Aulia yang sedang berdo'a dengan khusuk.

"Uda...? Gak nambah lagi," ledek Reandra yang dari tadi memperhatikan.

"Uda dong. Do'a ku uda cukup." Aulia tersenyum.

"Oiya Wi, ini buat kamu. Semoga kamu suka." Reandra menyodorkan sesuatu yang berbentuk persegi panjang yang dilapisi oleh bungkusan berwarna biru.

"Apa ini Ndra." Aulia menerima dengan penuh rasa penasaran.

"Nanti aja di buka kalau uda di rumah," jawabnya.

Lamunannya pun terhenti tiba-tiba saat handphonenya berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari bundanya.

"Assalamualaikum. Sayang, apa kabar? Jangan lupa ibadahnya," ucap bundanya mengawali percakapan.

"Walaikumsalam. Iya bun, Aulia baik-baik saja. Aulia kangen bunda," jawabnya dengan nada lirih, seakan air matanya tidak tertahan lagi saat mendengar suara bundanya.

"Bunda juga. Yaudah. baik-baik disana ya."

"Iya bunda. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Hatinya mulai tenang, pikirannya kembali normal. Suara bundanya yang begitu ia rindukan mampu membuatnya lebih baik. Kata-kata seorang ibu merupakan sebuah obat paling mujarab disaat ia merasa sedih maupun kesepian.

Jauh dari orang yang menyayanginya adalah hal yang sulit untuknya, namun ia harus menjalani hal itu untuk sebuah impian. Hari-harinya di kota Berlin membuat ia belajar untuk sabar dan lebih mandiri. Meskipun sesekali bayangan Reandra selalu mengisi pikirannya dan membuatnya rindu. Tapi ia percaya, Tuhan pasti menjaga dan memberikan yang terbaik untuk mereka.

* * *


TBC...

Mampukah Aulia dan Bintang mempertahankan hubungan mereka?

Tunggu kelanjutannya ya.

Cinta diujung Istikharah [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang