Kepada Waktu yang Mengenalkanmu

1.8K 95 0
                                    

"Melihat senyummu aku meyakini bahwa kita adalah mahluk Tuhan yang paling sempurna"

* * *

Sebulan setelah keberangkatan Aulia ke Berlin. Ada hal yang berbeda dari hari-hari Reandra. Bahkan sampai hari ini ia pun belum bisa menghubungi Aulia sejak pertemuan terakhir mereka saat itu. Pikirannya masih bertanya-tanya tentang arti dari hubungan mereka. Hingga detik ini ia belum mendapatkan jawaban yang jelas dari ungkapan perasaannya saat itu lewat puisi yang diberikan kepada Aulia.

Rasa rindu yang semakin lebat. Lamunan yang berserakan dimana-dimana, semakin menggangu aktifitasnya penelitiannya. Entah bagaimana ia harus menyampaikan rasa yang semakin membuatnya tersiksa. "Apakah cinta itu serumit ini untuk dijelaskan? lalu apakah kamu merasakan siksa yang aku rasain saat ini", gerutunya.

Ini adalah hari yang akan sedikit sibuk untuknya, untuk kepentingan penelitiannya ia mengajak belasan orang siswa untuk berkunjung ke sebuah museum yang ada di kota Mataram. Museum Daerah Nusa Tenggara Barat, yang merupakan salah satu bentuk penelitiannya di sebuah sekolah menengah favorit itu.

Sesampainya di museum, mereka melakukan registrasi dan mulai mengajak para siswa berkeliling ruang demi ruang yang menyuguhkan berbagai peninggalan sejarah, pakaian adat, senjata khas, hingga kerajinan khas daerah yang akan dikelompokan sesuai dengan jenisnya untuk didata oleh siswa sesuai dengan materi penelitiannya, statistik. Tiga puluh menit berkeliling dan melihat berbagai benda-benda bersejarah. Tiba-tiba wanita berambut lurus berkulit putih dengan ransel di punggungnya serta camera DSLR yang bergelantungan di lehernya menyapa dengan ramah.

"Sorry, apakah kamu pembimbing dari anak-anak itu?" Senyum ramah wanita berketurunan jerman yang menghiasi wajahnya.

Reandra sedikit terperangah melihat senyum dan tatapan menenangkan yang terlihat dihadapannya. Hatinya seketika berdegup kencang, saat senyum itu semakin indah terlihat.

"Iya, betul. Apakah ada anak-anak yang berbuat kesalahan?" tanyanya dengan wajah yang sedikit heran.

"Oh tidak. Apakah ini punya salah satu siswamu?"

"Coba lihat. Iya benar ini punya Rangga, salah satu siswaku. Dia emang teledor orangnya, terima kasih banyak ya. Aku Reandra," ucapnya menyodorkan tangannya untuk berkenalan.

"Sama-sama. Aku Mentari, Mahasiswa Fakultas seni dan budaya Universitas Padjajaran. Saya sedang melakukan penelitian tentang budaya yang ada di pulau Lombok ini," ucapnya menyambut uluran tangan itu.

Senyum ramah terus menghinggap di wajah yang tidak asing bagi Reandra. Seakan wajah itu pernah muncul ataupun terlihat sebelumnya. Tanda tanya kini mengisi tatapannya. Sesekali pikirannya terus bekerja menjelajah isi bumi ini mencari tempat dimana wajah itu pernah muncul dihadapannya. Namun tetap saja otaknya belum mampu menemukan keberadaannya.

"Aku Mahasiswa IKIP Mataram. Kebetulan saya juga sedang penelitian dan mengajak anak-anak kesini. Ini kali pertama juga saya ke Museum. Apa yang bisa saya lakukan untukmu?" tawarnya.

"Aku belum memiliki teman di kota ini. Kebetulan aku tinggal di rumah mamiku sementara ini hingga penelitianku selesai sekaligus bisa berpetualang di kota yang terkenal dengan ratusan tempat wisatanya yang mempesona. Apakah kamu mau menjadi salah satu nara sumber dalam penelitian saya ini?" pintanya dengan tatapan penuh harap.

Dengan penuh rasa tidak percaya diri. Reandra hanya terdiam sejenak berpikir sambil tangan kanannya menggaruk-garuk kepalanya. Kemudian ia tersenyum dan menggangguk. Mengiyakan. Mentari yang begitu bahagia mendapat kesediaan Reandra. Hingga ia tidak sadar dengan sikap spontannya. Sikap supel-nya memang sangat menyenangkan bagi Reandra.

"Yeahhh. Terima kasih banyak." Mengangkat kedua tangannya ke atas dengan spontan berteriak kecil, bertanda senang.

Reandra yang sedikit kaget dengan sikap yang baru saja dilihat dihadapannya telah membuatnya bengong beberapa detik.

"Melihat senyummu aku meyakini bahwa kita adalah mahluk Tuhan yang paling sempurna," batin Reandra kala melihat senyum yang mengembang di wajah Mentari.

Bibirnya pun perlahan mengangkat ke atas. Ia bahagia juga rasa senang terlarut dalam senyum yang semakin menggugah pandangannya. Teringat akan senyum yang selama ini ia rindukan. Senyum itu kembali dari sosok yang berbeda. "Apakah Tuhan sengaja mempertemukan aku dengan sosok ini secara mendadak. Adakah maksud Tuhan dari pertemuan ini. Oh tidak, hatiku tidak ingin menghianati rindu ini. Meskipun itu sangat menyakitkan. Lalu sampai kapan? Aku tidak tahu", gerutunya menepis perasaan aneh yang menggoda hatinya.

* * *

Senja kini datang lagi. Menghiasi pemandangan pantai yang terlihat dari tepi jalanan sepanjang pantai senggigi. Dari ketinggian akan terlihat ombak yang saling berkejaran dan beberapa anak-anak kecil yang bermain bersama ibu dan ayahnya. Berlari di atas pasir putih yang lembut. Sebagiannya lagi bermain bola dan membuat gunung pasir.

Pandangan Reandra tersita oleh sosok anak kecil laki-laki yang terduduk memandang ombak-ombak yang terus berlari mengejar bibir pantai, sesekali percikannya mengenai tubuhnya. Namun ia tetap saja terdiam di tempat tidak ingin beranjak pergi. Ia mengedarkan pandangannya di sekitaran pantai mencoba menemukan pemilik anak kecil itu. Perlahan terlihat seorang perempuan muda menghampirinya dan duduk disebelahnya. Entah apa yang mereka bicarakan.

Laut bergemuruh saat ombak menerpa bebatuan. Mereka berdua terlihat akrab di bawah senja yang cantik. Pandangannya terus menatap keduanya, pikirannya teringat masa kecil. Masa begitu menyenangkan memiliki keluarga yang begitu utuh, sedikit sesak bersarang di dadanya mengingat kenangan itu. Kehilangan seorang ayah sebagai tulang punggung keluarga cukup membuatnya begitu terluka. Namun senja inilah yang mampu membuatnya begitu tenang tiap kali menatapnya seakan Tuhan sedang menunjukan kasih sayang dan keagungan-Nya pada anak laki-laki dua belas tahun saat itu.

Sejak saat itu ia menyadari bahwa apapun pemberian Tuhan. Entah itu kehilangan, kegagalan maupun kebahagian adalah bentuk cinta Tuhan kepada makluk-Nya. Menatap senja adalah hal yang paling menyenangkan untuknya, bukan karena keindahannya saja. Namun rasa syukur atas bahagia yang selalu Tuhan curahkan kepadanya lewat maha seni Tuhan yang terindah dihadapannya. Setelah cukup lama menikmati Ice vanilla latte, ia pun berlalu seiring mentari mulai menghilang dari pandangannya.

Senja kini telah berganti malam. Seperti malam-malam sebelumnya. Tidak ada yang berubah, selalu hening dan sendiri. Handphonenya bergetar, panggilan dari Heldy. Dengan sigap, tangannya langsung menekan tombol hijau.

"Iya hel, ada apa. Tumben malam-malam gangguin aku. ada yang penting banget emang"

"Besok kan festival kuliner dan pameran ekonomi kreatif khas Nusa Tenggara Barat. Kesana yuk bertiga. Besok siap-siap jam tiga sore. Aku jemput. Okey," jelasnya dan kemudian menutup telepon.

"Tapi hel...." Tiiitt..tiiitt.tiit. Telepon terputus.

Reandra kemudian teringat dengan Mentari, kemudian diberencana mengajaknya ke festival besok. Kebetulan ia memang membutuhkan waktu-waktu seperti ini sebagai bahan penelitiannya tentang budaya Nusa Tenggara Barat.

Tar, besok jam 3 sore mau ikut ke festival kuliner dan pameran ekonomi kreatif khas Nusa Tenggara Barat

Boleh, dimana?

Di jalan Udayana Park. Besok saya tunggu di sana Tar. Bye.

Okey Ndra.

* * *


TBC..

Hai Readers, terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca ceritanya ya.

Apakah Mentari adalah sebuah kebetulan?

Jangan lupa koment ya.. :)

Cinta diujung Istikharah [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang