(´・ω・')
"Hhh... Lalisa, sekarang sudah 2018, kenapa tidak ada yang berubah dalam hidupmu?" gumam gadis itu pada bayangannya di cermin. Saat ini, ia tengah berusaha mengoleskan salep antiseptik ke dahinya yang terluka.
Saat kecil ia terus diejek karena tidak secantik kakaknya. Memasuki masa remaja ia terus dihina karena kakaknya yang bunuh diri. Di masa remajanya, ia diolok-olok karena terlalu kurus, terlalu miskin sampai tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya sendiri. Dan sekarang, saat usianya sudah meninjak 28 tahun, ia masih dimarahi karena tidak bisa jatuh dengan benar, karena tidak bisa bekerja dengan benar.
Di usianya yang sudah cukup dewasa, Lisa si gadis yang lulus universitas bergengsi dengan beasiswa berakhir di sebuah lokasi syuting, menjadi salah satu dari sekian banyak aktris disana. Bukan aktris utama, bukan aktris pendatang baru atau viguran juga. Ia berada disana sebagai pemeran pengganti.
Lima tahun ia berada disebuah agensi, tapi bagian yang didapatnya tidak pernah lebih dari pemeran pengganti. Aktris bayangan yang menggantikan aktris utama ketika harus di pukul atau melakukan hal-hal berbahaya lainnya.
"Haruskah aku kembali menjadi guru saja?" gumamnya, sebelum ia menggeleng, mencoba menyadarkan dirinya kembali. "Anniyo, kau sudah memilih jalan ini Lisa, kau tidak bisa kembali, sadarlah..."
"Lisa! Bersiaplah! 2 menit lagi giliranmu!" teriak seorang staff pria dari luar toilet. Lisa mengiyakannya, segera membereskan beberapa lembar tissue yang terkena sedikit darahnya dan hendak keluar ketika handphonenya berbunyi.
Sebuah panggilan membuat Lisa tidak bisa berfikir jernih. Sebuah panggilan dari panti jompo dimana ia menitipkan ibunya menelpon, memberitahunya kalau ibunya hampir motong nadinya dengan pecahan vas bunga. Panggilan itu langsung membuat Lisa meraih tas jinjingnya diatas westfel dan berlari meninggalkan lokasi syuting. Terus berlari dan mengentikan taxi yang lewat tanpa menoleh sedikitpun walau beberapa staff meneriakinya.
Bukan pertama kali ibunya mencoba untuk bunuh diri. Ibunya masih tidak bisa melupakan putri sulungnya. Ibunya masih tidak bisa merelakan kepergian kakak Lisa dan akhir-akhir ini semakin sering mencoba bunuh diri.
Bukan pertama kalinya juga Lisa pergi begitu saja dari lokasi syuting. Hingga keesokan harinya, ia dimarahi, karena pergi begitu saja. Karena bukan pertama kali ia pergi begitu saja dan merusak seluruh jadwal syuting dan membuat aktris utama kesal menunggu.
"Maafkan aku, tapi kemarin eommaku-"
"Ya! Apa hanya kau yang punya eomma? Semua orang disini juga punya eomma!" potong seorang staff yang memperkerjakannya— asisten sutradara. "Kenapa kau tidak bisa bekerja seprofesional eonnimu? Tsk, pergilah, kami sudah mengganti pemeran penggantinya kemarin," ucapnya sebelum ia kembali berlari menghampiri sutradara yang memanggilnya.
Lisa hanya diam. Dadanya terasa sangat sakit. Seakan ada besi panas yang menusuk dadanya.
Lagi-lagi kakaknya. Lagi-lagi eonninya.
Dengan langkah berat, seakan sepatunya terbuat dari batu, Lisa melangkah menjauhi lokasi syuting itu. Handphonenya terus bergetar, tapi gadis itu menulikan telinganya, enggan menjawab panggilan yang sudah pasti dari atasannya. Enggan menjawab panggilan yang sudah pasti berisi makian karena 'ketidak profesionalannya'. Enggan menjawab panggilan yang sudah pasti berakhir dengan kesempatan terakhir— mengusirnya.
"Apa sulitnya jatuh Lisa? Kau sudah sering jatuh. Kenapa kau tidak bisa melakukannya dengan benar?" ucapnya pada diri sendiri. Ucapnya untuk menghibur dirinya sendiri. Matanya menyisir apa yang ada di hadapannya— para gadis tertawa, beberapa pria mengobrol, seorang ibu yang menggendong putri kecilnya— kenapa semua orang terlihat senang?
Lisa menghentikan langkahnya, berdiri di sebuah halte. Beberapa orang berdiri disebelahnya, tersenyum, mengobrol, tertawa dan membuat Lisa justru merasa semakin menyedihkan. Kenapa semua orang baik-baik saja?
"Kenapa hanya hidupku yang berbeda?" gumam pelan gadis itu di susul helaan nafas yang terasa sangat berat.
Lisa seorang gadis pemberani, ia cukup kuat untuk melawan orang-orang yang mengganggunya. Lisa cukup mampu melawan perlakuan tidak adil dari staff di lokasi syuting tadi. Lisa cukup mampu untuk membela dirinya sendiri.
Hanya saja, setiap kali Lisa melawan, setiap kali Lisa membela dirinya sendiri, perlakuan tidak adil itu tidak berhenti dan justru semakin parah. Dia hanya putri bungsu seorang ibu tunggal yang sekarang tidak bisa berfikir dengan normal. Tanpa ayah, miskin. Apa gunanya otak cerdas? Kalau kemiskinannya membuatnya tidak punya koneksi apapun? Kalau semua orang seakan melupakan kemampuannya setelah melihat bagaimana hidupnya?
Kalau saja hidupnya bisa di rubah dengan pergi kerumah sakit.
Kalau saja masa lalunya bisa di operasi di klinik operasi plastik.
Kalau saja caranya tumbuh bisa di rekam ulang.
Lisa tidak ingin memenangkan perkelahian melawan hidupnya. Lisa hanya berharap, ia bisa berhenti menjadi korban. Lisa hanya ingin berhenti berkelahi— dengan hidupnya sendiri.
Tidak perlu kaya raya. Tidak perlu di puja semua orang.
Lisa hanya ingin orang-orang menganggapnya sepadan. Lisa hanya ingin lepas dari label gadis miskin yang menyedihkan. Lisa hanya ingin lepas dari label adik seorang bintang yang memilih bunuh diri. Lisa hanya ingin lepas dari label tidak profesional. Punya satu pekerjaan tetap yang dapat menghidupinya hari demi hari dan punya sedikit waktu untuk bersenang-senang juga berteman.
Sebuah bus datang. Beberapa orang bergerak masuk kedalam bus itu, sementara Lisa hanya menatap kosong foto seorang pria di sisi bus itu— G Dragon, Big Bang.
"Dia hanya satu tahun lebih tua dariku, tapi kekayaannya... aku bahkan tidak punya seper seribu dari miliknya," gumam Lisa lagi. Tidak ada seorang pun yang bisa diajaknya bicara. Teman? Rasanya Lisa tidak punya seorang teman pun, semua orang yang ia temui setiap hari hanyalah seorang kenalan yang tidak pernah benar-benar mengenalnya.
Melihat foto G Dragon yang lewat di hadapannya tadi, membuat Lisa berakhir dengan meraih handphonenya. Menelpon pria yang muncul di pikirannya setelah bus tadi melaju meninggalkannya.
"Halo?" ucap pria itu setelah dering keempat.
"Oppa,"
"Siapa ini?" tanyanya, mengukir senyum getir di wajah Lisa. Ah... ternyata pria tiramisu itu tidak mengingat suaranya.
"Kenapa oppa tidak mengganti nomor telponmu?"
"Tsk... wae?"
"Bisakah kita bertemu?"
(´・ω・')