(´・ω・')
Langkah Lisa kembali terasa berat, Jiyong menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, namun ia menolak. Jiyong yang dulu di kenalnya tidak sekaya sekarang, dan bagaimana Lisa bisa dengan tidak tahu malu membiarkan Jiyong berkunjung ke lingkungan tempat tinggalnya?
"Saat takut, semuanya akan menjadi lebih mudah," ucapan Jiyong sebelum mereka berpisah tadi berputar di kepala Lisa, di setiap langkah yang di ambilnya. "Pilihan yang kau punya jadi semakin jelas, melawan atau melarikan diri. Kau pernah membantuku, jadi hubungi aku kalau kau butuh bantuan," begitu yang Jiyong ucapkan tadi.
"Haruskah aku meminta bantuannya?" tanya Lisa pada dirinya sendiri. Sayangnya, ia tidak cukup berani untuk meminta bantuan Jiyong.
Lisa sangat tahu di mana posisinya, dulu Jiyong bukan seorang yang terkenal, bukan seorang kaya raya, bukan seorang yang hebat jadi Lisa berani menyukainya. Tapi sekarang, Jiyong sudah melambung tinggi terlalu cepat, sampai Lisa merasa tidak punya keberanian untuk meraihnya. Lisa bukan apa-apa, saat Jiyong sudah menjadi sukses, Lisa belum menjadi seorang yang layak.
Seorang gadis tidak perlu bekerja, hanya lulus sekolah lalu menikah. Lisa pun berharap bisa begitu, seperti gadis-gadis di lingkungannya— yang di nikahkan dan menjadi ibu rumah tangga biasa setelah lulus sekolah.
Kalau saja ibunya tidak depresi dan sakit. Kalau saja ibunya dapat bekerja seperti dulu. Kalau saja kakaknya tidak bunuh diri. Mungkin begitu hidup Lisa sekarang. Menjadi kebanggan ibu dan kakaknya karena lulus Universitas nomor satu dengan beasiswa, kemudian menikah dan menjadi ibu rumah tangga biasa.
Bahkan hal sederhana itu, hanya menjadi mimpi untuknya.
Alih-alih berfikir untuk menikah dan membayangkan bagaimana wajah anak-anaknya nanti, Lisa harus memikirkan bagaimana caranya mencari uang, yang cukup banyak untuk bisa membayar biaya perawatan ibunya, tagihan listrik, tagihan air, dan semua tagihan lainnya.
"Sudahlah, lakukan saja, tidak perlu merepotkan orang lain," gumamnya ketika langkahnya berhenti di sebuah pintu. Pintu besi yang sudah berkarat dan mungkin bisa hancur kapan pun.
Pintu masuk menuju sebuah kamar sewaan kecil yang menjadi tempat tinggalnya. Pintu menuju sebuah bangunan dua lantai yang punya 8 kamar kecil. Masing-masing kamarnya di tempati orang yang sama miskinnya dengan Lisa. Orang-orang miskin selalu berkahir di tempat yang sama, dan orang-orang kaya akan pergi ke tempat yang sama.
Sekarang Lisa tidak punya pekerjaan, selain mengajar bimbel di akhir pekan, selain mencuci piring di sebuah restoran dan selain menjadi petugas kebersihan di pagi buta.
Masih ada 4 jam sebelum jam 10 malam nanti, sebelum Lisa harus berangkat ke restoran tempatnya bekerja. Gadis itu melangkah masuk ke kamar sempitnya, menatap sekeliling kemudian terkekeh.
"Tidak lebih buruk dari kandang anjing, tidak apa Lisa... kau pasti bisa hidup apapun kondisinya," gumamnya kemudian menjatuhkan tubuhnya diatas lantai, berbantalkan sleeping bagnya yang sudah terlipat rapih. Lisa tidak ingat kapan terakhir kali ia tidur di atas ranjang, tapi sleeping bagnya sekarang adalah tempat ternyaman yang bisa di tujunya. Tidak perlu banyak ruang dan sangat hangat.
"Aahh! Nyamannya..." serunya sembari berguling diatas lantai kamarnya yang dingin. Lisa menyukai lantai dingin itu, karena lantai dinginnya tidak lebih dingin dari rasa kesepiannya. Tidak lebih dingin dari hidupnya.
Baru saja Lisa akan terlelap, ketika handphonenya bergetar dan ada sebuah panggilan yang baru saja masuk. Dari Jiyong. Padahal belum 2 jam mereka berpisah. Padahal Jiyong bilang ia harus menemui managernya 2 jam lalu.
"Hal-"
"Ya! Gadis nakal! Dimana kau sekarang?"
"Rumah?"
"Oh ya? Kalau begitu aku kesana sekarang-"
"Anniyo! Jangan! Maksudku... aku sedang keluar sebentar-"
"Berapa lama? Aku bisa menunggu di depan rumahmu,"
"Ng... 30- anniyo, 50 menit,"
"Baiklah, cepat kesini!"
"Ada apa?? Kenapa oppa tiba-tiba marah?"
"Aku sudah dekat dari rumahmu, jadi cepat pulang," jawab Jiyong yang kemudian mematikan panggilannya.
Lisa bergegas bangkit. Tadi Jiyong mengantarnya sampai ke sebuah halte dekat gedung apartement. Lisa membohongi Jiyong dengan bilang kalau ia tinggal di gedung itu, Lisa tidak ingin Jiyong tahu kalau sebenarnya ia tinggal jauh di belakang gedung sederhana yang lebih layak dari kamar tempatnya tinggal sekarang. Terlalu malu untuk mengakui kalau ia sama sekali tidak berkembang. Terlalu malu untuk memberitahu Jiyong kalau hidupnya justru jauh lebih buruk dari sebelumnya karena sejak empat tahun lalu ia harus membayar mahal untuk perawatan ibunya.
Baru saja Lisa berlari keluar dan membuka pintu berkarat di depan rumahnya, namun seakan ada binatang buas yang akan memakannya, gadis itu menjerit, bergerak mundur dengan terburu-buru, terkejut dan jatuh terduduk karena melihat Jiyong berdiri di depannya.
"Heol... kenapa kau terkejut begitu? Tidak kah seharusnya aku yang terkejut karena melihatmu disini bukannya di apartementmu?" tanya Jiyong yang kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Lisa berdiri.
"Aku hanya- hanya berkunjung ke rumah temanku, aku-"
"Ya, terserah, kau bisa menganggapku mempercayaimu," jawab Jiyong yang kemudian mengulurkan sebuah buku catatan pada Lisa. Milik Lisa yang tadi tertinggal di mobilnya. "Anggap saja aku percaya kalau alamat yang ada disana alamat temanmu," lanjutnya sembari melirik buku catatan yang baru saja Lisa terima.
"Aku memang tinggal disana!" seru Lisa membuat Jiyong melepas kacamata hitamnya, menatap Lisa dengan sebelah alis terangkat. "Aku tinggal disana beberapa tahun lalu," gumamnya sembari bergerak untuk menutup pintu di belakangnya. "Apa yang ingin kau bicarakan? Kita bisa bicara di tempat- ya! Jangan masuk! Oppa!" seru Lisa ketika Jiyong justru menerobos masuk kedalam lingkungan kamar-kamar yang sempit itu.
"Yang mana rumahmu? Kita bicara di dalam," jawab Jiyong sembari melangkah menyusuri lorong dengan beberapa pintu di sisi kiri dan beberapa rongsokan memenuhi sisi kanan, disandarkan pada dinding. Jiyong terlihat seperti batu berkilau diantara batu abu-abu dalam rumah itu. "Ini bahkan lebih parah dari agensiku dulu-"
"Pergi," usir Lisa sembari memegangi tangan Jiyong. Sekarang, di pertemuan kedua mereka, ia justru menunjukan sisi mengerikannya pada Jiyong. Baru tadi siang ia bertemu dengan Jiyong setelah sekian lama dan kesan yang harus ia tinggalkan pada pria itu adalah rumahnya yang bisa roboh kapan pun? Omong kosong, Lisa tidak menyukainya, Lisa tidak suka Jiyong melihat betapa menyedihkannya dia. Dia tidak ingin Jiyong mengasihaninya, ia tidak ingin Jiyong berfikir kalau ia kembali untuk meminta bantuan finansial.
"Pergi dari sini," tutur ketusnya dengan ekspresi yang sangat serius. Membuat siapapun yang melihatnya pasti tahu kalau Lisa sedang benar-benar marah saat itu. "Ya, aku tinggal disini, aku tinggal di tempat mengerikan ini! Lalu apa? Apa yang akan kau lakukan setelah melihatku tinggal disini?! Mengasihaniku?! Tidak perlu! Pergi, kalau kau mengasihaniku, kau hanya perlu pergi dari sini! Aku tidak ingin melihatmu lagi!" marah Lisa membuat Jiyong yang sebelumnya berniat membantu, berniat mendengarkan cerita Lisa dan membantunya mencari jalan keluar berdecak kesal.
"Kau tidak ingin melihatku lagi? Lalu kenapa kau kembali muncul di hadapanku setelah lima tahun menghilang? Harusnya kau tidak muncul lagi di hadapanku kalau akhirnya kau hanya memintaku pergi," balas Jiyong, dengan wajah dan suaranya yang terasa dingin. Jiyong melangkah, menjauhi tempat itu, pergi dengan marah meninggalkan Lisa.
"Kenapa kau sangat sombong nona? Kau pikir ada berapa pria yang mau kau ajak ke tempat seperti ini? Harusnya kau mempertahankan orang sepertinya. Hidup orang-orang seperti kita tidak akan berubah kecuali kau menikah dengan pria sepertinya. Bahkan kalau dia memperlakukanmu seperti sampah, kau harusnya bersyukur karena uangnya bisa membuat hidupmu lebih baik," komentar seorang perempuan berusia lebih dari 60 tahun yang baru saja kembali setelah bekerja di pasar. Seorang wanita beranak satu yang dibuang suaminya berhasil memperburuk perasaan Lisa. "Memang apa yang bisa di lakukan wanita selain bergantung pada uang pria? Tsk... kau baru saja membuang kesempatanmu nona,"
(´・ω・')