_
__
|A|
|B|
|A|
|N|
|G|
|K|
|U|Suhu di sini semakin meningkat seiring meningginya matahari menggantung di langit sana. Bahkan cahaya teriknya terasa menikam mataku. Sangat tidak menguntungkan mengetahui kenyataan bahwa pagi ini adalah kelas olahraga-yang artinya kedua kakiku harus berlari mengitari setengah lapangan sekolah sebanyak lima putaran.
Meskipun dikatakan setengah, tapi ketahuilah, sama-sama lebar. Kau tahu seluas apa lapangan sekolahku? Seluas lapangan sepak bola menurut aturan internasional.
Begitu juga dengan yang lainnya-teman sekelasku, mereka terlihat terengah-engah, sesak nafas, kejang-kejang dan sejenisnya.
Diputaran terakhir, aku udah nggak tahan lagi dan lebih memilih berjalan selama guru olahraga itu tidak melihatku. Tapi sialnya aku.
"WOI!" pekik Deymer-si ketua kelas-padaku. Selain guru, aku juga wajib waspada pada makhluk immortal sepertinya. Ya, dia akan mengawasi kami dari dalam barisan.
Jingan, lah. Sumpah serapahku terkhusus untuk ketua kelas tercinta.
Dengan sisa tenaga, aku pun mulai menggerakkan kakiku untuk berlari lagi sambil menyusul barisan teman-temanku yang tidak terlalu jauh. Sumpah, rasanya saraf-saraf otot kakiku mulai tertarik.
Meskipun olahraga rutin ini sudah pernah kami lakukan sebelumnya, tetap saja kuakui ini sangat melelahkan. Aku memang rutin di sekolah, tapi siapa yang akan berpikir aku akan olahraga setiap hari di rumah, hah?!
"Gila, capek banget, sumpah!" ucapku saat sudah mensejajarkan posisiku pada mereka.
"Sama, nyet. Perasaan lapangan kita nggak selebar ini. Tapi kok tiba-tiba jadi lebar, ya?" tanya Hani sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.
"Pura-pura pingsan aja, kuy?" tawar Mea yang juga udah kesulitan mengambil nafas.
"Jangan, woi. Bentar lagi kita udah mau sampai. Mendingan lagi pingsan pas upacara bendera," timpalku saat melihat pojok lapangan terakhir, yang di sana juga udah berdiri Pak Yudha dan teman sekelasku yang lain.
Kami bertiga pun akhirnya sampai dengan selamat ditujuan. Tak tanggung-tanggung, kami langsung duduk di atas lapangan dan meluruskan kedua kaki. Takutnya sampai kena varises.
"Luruskan kaki kalian selama lima menit. Setelah itu kembali ke kelas," perintah bapak itu pada kami. Lalu seperti biasanya, dia akan menghilang tanpa jejak. Tidak jelas ke mana dan tidak peduli juga.
Beberapa menit setelahnya, suara bel yang sangat khas terdengar memekakkan telinga. Bel itu menandakan bahwa saat ini sudah memasuki jam pelajaran ketiga. Lebih tepatnya sebentar lagi istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Brothe[r] | END
Short Story"Punya abang, tapi serasa nggak punya." Disertai kuotes-kuotes nggak nyambung. Merupakan revisi ketiga. Belum tamat. 12-Agustus-2018 - 18-Agustus-2020