___
|A|
|B|
|A|
|N|
|G|
|K|
|U|Aku mengayuh sepedaku jengah. Mendengarkan musik yang sama sekali tidak menarik di telingaku. Semuanya hambar. Bahkan untuk menutup mata saat tidur, semuanya kembali terlintas. Kejadian kemarin sangat teringat jelas di benakku.
Haruskah aku meminta maaf padanya? Tapi sebenarnya siapa yang salah. Kenapa harus dan selalu aku yang meminta maaf saat aku sendiri tidak tahu di mana kesalahanku?
Ckit!
Aku menekan rem sepedaku. Rasanya ingin berhenti sejenak setelah mutar-mutar di komplek rumah. Aku mengusap wajahku frustasi. Tidak ada yang menyenangkan untuk kembali menyegarkan pikiranku.
Seolah-olah memang tidak ada yang memihak padaku.
Padahal baru semalam aku bisa merasa begitu bahagia bersama Guan. Baru semalam aku bisa tertawa lepas lagi. Baru semalam juga aku merasa menjadi perempuan seutuhnya.
Tapi kenapa begitu cepat. Kalau tahy begini, aku lebih berharap semalam bisa menghentikan waktu bersama Guan. Memang benar, setelah kebahagian akan ada kesedihan yang merenggutnya.
Rasanya aku tidak boleh benar-benar bahagia di dunia ini. Kejam sekali.
Duk!
Baru saja aku menghayati seteguk air putih. Bola berwarna orange dengan garis hitam itu baru saja memantul ke arah ban depan sepedaku. Spontan aku mencari dari mana bola ini berasal. Ingin rasanya––
Aku menatap lurus-lurus ke arah lapangan basket. Di sana ada dua anak laki-laki yang menurutku tidak asing. Kusipitkan mataku untuk melihat siapa sosok itu lebih jelas. Detik berikutnya salah satu dari mereka berlari kecil menghampiriku.
"Kak Angga, ya?" tanyaku saat dia mengambil bola yang menabrak ban depan sepadaku tadi.
Orang itu menoleh ke arahku. Mungkin merasa terpanggil. Tapi ekspresi wajahnya jelas sekali menggambarkan kalau dia kebingungan. Garis di wajahnya seakan mengatakan apa-kita-pernah-bertemu-sebelumnya.
Sudah kuduga kalau wajah orang ini pasaran. Soalnya waktu itu aku seperti pernah melihatnya tapi tidak kenal dia siapa. Lucu sekali bisa bertemu dengannya di sini.
Tunggu, aku merasakan tatapan mengintimidasi itu lagi. Dari seberang sana. Tepatnya jauh di belakang punggung kak Angga. Anak itu terlihat menunggu kak Angga selesai berbicara denganku. Ah, lebih tepatnya kapan bola itu bisa sampai di tangannya.
"Bang Raey," gumamku pelan. Mungkin saat ini air mukaku sudah berbeda dari sebelumnya.
"Lo kenal dia juga?" tanya kak Angga yang membuatku sedikit tersentak dan segera menoleh ke arahnya. Tentu saja kak Angga bisa mendengar gumamanku lima detik yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Brothe[r] | END
Short Story"Punya abang, tapi serasa nggak punya." Disertai kuotes-kuotes nggak nyambung. Merupakan revisi ketiga. Belum tamat. 12-Agustus-2018 - 18-Agustus-2020