Pt. 21 | Apologize to you [2]

560 52 32
                                    

___
|A|
|B|
|A|
|N|
|G|
|K|
|U|

Hayo tebak atas gw siapa?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hayo tebak atas gw siapa?

.
.
.

Aku tidak ingat apapun setelah kejadian itu. Semuanya buram. Kepalaku juga terasa sangat sakit. Apa sekarang penyakit ini juga mulai mengambil ingatanku. Pft! Yang benar saja, bodoh. Seharusnya penyakit ini mengambil kebodohanku saja.

Tapi entah kenapa sekarang situasi berbeda. Bukan Guan yang ada di sebelahku untuk menjagaku. Tapi bang Raey. Anak yang lagi tidur semenjak aku membuka mata tiga puluh menit yang lalu.

Hei, apa yang harus kulakukan sekarang. Bahkan untuk kembali tidur pun kepalaku mau pecah saja rasanya. Dunia memang tidak adil.

Detik berikutnya anak itu membuka matanya saat mendengar ringisan kecilku. Lagipula kepalaku benar-benar sakit sekarang. Apa lagi saat tahu kalau kepalaku diperban. Sebenarnya apa yang terjadi saat aku tidak sadarkan diri, hah?!

Sialan.

"Yuna, kenapa? Kepala lo masih sakit, bagian mananya, atau mau gue panggil dokter?!"

Banyak ngomong, bacot. Kepalaku makin sakit, nih!

Sebenarnya sudah mengumpulkan hasrat buat ngomong gitu. Tapi semua nyangkut di ujung lidah pas sakit di kepalaku bisa lebih parah bila dibawa bicara. Terus aku bisanya apa sekarang, hah?!

Diajak tidur malah sakit. Disuruh ngomong malah makin sakit. Kalau diam saja pun buat bosen. Terus makin fokus ke rasa sakit itu. Mau lo apa, sih? Mending kita pisah saja. Soalnya gue capek kalau harus terus punya badan kaya lo.

Nggak guna, bangsat.

"Obat," kataku yang akhirnya bisa bersuara juga setelah berperang besar dengan tubuh sendiri.

Langsung saja bang Raey memilah obat untuk pereda sakit kepala yang entah sejak kapan ada di atas nakas sebelah bangsalku. Ah, kantung plastik yang dibawa Guan. Ternyata itu manfaat, faedah, dan khasiatnya. Kupikir sama-sama tidak berguna.

Bang Raey menyisihkan beberapa obat di tangannya dan memberiku segelas air putih. Langsung saja kuambil gelas dan menelan satu per satu obat yang sudah disisihkannya tadi.

Hei, aku merasa mendingan sekarang.

Detik berikutnya bang Raey membantuku untuk kembali berbaring. Menarik kembali selimutku yang sudah terlanjur urakan. Lalu mengelus pucuk kepalaku pelan. Sial, apa yang harus kulakukan sekarang.

Dear Brothe[r] | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang