Pt. 18 | Met Him

515 58 0
                                    

___|A||B||A||N||G||K||U|

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___
|A|
|B|
|A|
|N|
|G|
|K|
|U|

Bugh!

Satu pukulan berhasil mendarat di pelipis wajah anak itu. Meninggalkan bekas memar yang teramat sakit. Bahkan anak itu sampai hampir terjungkal ke lantai karena pukulan sadis itu. Yang diterimanya cuma-cuma selain mendapat caci dan makian.

Rahangnya mengeras. Sama seperti hatinya sekarang. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya menerima dan pasrah. Tetap mengikuti aturan yang dibuat ayahnya. Jika melanggar, maka pukulan seperti tadi adalah balasannya. Bahkan ada yang lebih parah.

Mungkin kali ini akan menjadi yang lebih parah. Karena ayahnya sendiri sedang diluar kendali sekarang. Emosinya juga tidak teratur dan bisa meledak kapan saja. Sementara anak itu akan menjadi tempat pelampiasannya selamanya.

"Masih ingin melawan, hah!"

Bugh!

Pukulan kedua itu lolos lagi dan mendarat dengan sempurna tepat di perut anak itu. Di mana pukulan itu menimbun luka yang sebelumnya pernah diberikan pria itu pada anaknya sendiri. Apa rasanya jika menutup luka lama dengan luka yang baru. Lucu sekali.

Anak itu mengerang hebat. Dipegangnya sisi perut yang baru saja jadi korban kedua kalinya. Sekuat mungkin dia berusaha untuk tetap menahan rasa sakit itu sampai ayahnya sendiri puas dengan hasil maha karyanya.

"Kau tahu kan apa jadinya keluarga ini jika kau tidak pintar! Ekonomi keluarga suatu saat akan menjadi tanggung jawabmu juga! Apa kau tidak bisa belajar dari pria bodoh yang ada di depanmu saat ini. Kenapa kau masih berani menghamburkan uang yang kuberi!"

Pria berumur itu mulai berkata-kata untuk menyerang putra semata wayangnya. Dia terlanjur kesal dengan anaknya yang berani membolos semua bimbelnya untuk satu harian ini. Dia menganggap anaknya telah menyia-nyiakan uangnya.

Pria itu sungguh ingin membuat anaknya lebih pintar darinya. Pria yang haus akan kekayaan dan kekuasaan itu ingin anaknya mewarisi sifatnya. Dia tidak ingin bila pensiun nanti akan menjadikannya orang miskin. Anaknya harus pintar agar bisa mengikuti jalan yang telah dibuatnya.

"Guan, Guan! Kau juga tidak ingin miskin, kan. Maka dari itu turuti saja permintaan ayahmu dan ikuti saja alur permainannya membawamu."

Bugh!

Guan baru saja didudukkan dan ditendang lagi bagian perutnya. Entah untuk yang keberapa kali pria mabuk itu berusaha membunuhnya. Dia juga muak bila harus menahan rasa sakit yang kelewat luar biasa sakitnya. Berapa tahun sudah dia diperlakukan seperti ini.

Ah, dari kecil, ya. Bahkan saat dia masih berada di taman kanak-kanak. Apapun itu, dia harus menjadi yang terbaik. Hanya yang terbaik.

"Kenapa, apa kau ingin menjadi bodoh seperti wanita gila itu. Wanita stres itu! Kau ingin menjadi sepertinya?!" Ayahnya menarik dagu Guan agar mendongak dan balik menatap dirinya.

Dear Brothe[r] | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang