Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
___ |A| |B| |A| |N| |G| |K| |U|
"Nih, bicara sama adek lo." Panggilan itu masih berdering. Angga mengulurkan tangannya guna memberi ponselnya pada Raey. Tapi uluran itu sama sekali tidak mau di gubris si Raey. Dia masih dan akan tetap pada pendiriannya.
"Yang telepon siapa yang ngomong siapa. Kalau udah berbuat itu harus tanggung jawab." Lah, kok jadi ceramah dia. Padahal cuma disuruh buat ngomong, itupun sama adeknya sendiri. Memang udah lain jiwanya.
Berselang lima detik, panggilan sudah tersambung. Mau tidak mau Angga yang harus bicara dan menjelaskan situasi sebenarnya bagaimana. Kalau anak itu bukan sahabat sejolinya, mungkin Raey sudah hilang dari peredaran satelit.
"Ini Yuna, kan?" tanyanya untuk memastikan kalau nomor yang dituju itu benar. Siapa tahu kan, Hani berniat mengerjainya atau ada kesalahan angka sebiji. Bukannya apa, tapi kepercayaan Angga sama Hani mulai menipis layaknya lapisan ozon.
"Siapa, ya?" Pertanyaannya malah di balas dengan pertanyaan juga. Tapi dari suaranya itu cewek dan tidak asing di telinga Angga. Jadi benar, kalau itu Yuna.
"Angga. Posisi lo di mana sekarang?" Angga mungkin lagi bicara via telepon, tapi fokus netra matanya masih tertuju sama Raey.
"Masih di arkade. Bang Raeynya nggak ketemu soalnya. Jadi nyangkut bentar, sekalian tunggu hujan reda. Kenapa, kak?"
Cukup miris mendengar balasan dari Yuna tadi. Dia sudah susah payah cari abangnya––yang sudah seperti anak ayam lagi cari induknya.
"Nggak usah dicari lagi, sat. Orangnya udah ada di sini, kok. Pulang naik apa?" tanya Angga karena di luar memang masih hujan walau cuman gerimis-gerimis tidak pasti.
"Nggak tahu. Kak, jangan biarin dia ke mana-mana lagi, ya. Capek carinya. Aku ke sana sekarang."
"Lo naik apa ke sini, sat? Tadi katanya nggak tahu."
"Hujannya udah reda, belum?"
"Gerimis, lah.Ya udah gini aja. Lo jangan ke mana-mana, ya? Tunggu di situ aja."
Angga langsung memutuskan sambungan secara sepihak. Karena dia udah terlalu kasihan sama anak ayam itu. Masih belum mau menyerah, dia tetap memaksa Raey buat lakukan sesuatu buat adeknya. Ketahuilah mereka berdua memang sama-sama keras kepala dan sering juga berdebat. Tapi ujung-ujungnya baikan juga. Entah siapa yang polos, mau saja dibodoh-bodohi biar bisa baikan lagi.
Kunci motor milik Raey yang sejak kedatangannya tadi tergeletak di atas meja, langsung diambil sama Angga. Terus dilemparnya benda tadi tepat ke wajah Raey. Untunglah sang korban ternyata gesit dan peka terhadap rangsang—bukan lawan jenis. Raey langsung tangkap kunci tadi sambil ngamuk.