Luna terdiam sembari mengaduk-ngaduk makanannya. Banyak hal yang ia pikirkan saat itu. Seperti misalnya, backstreet yang ia dan Kevin lakukan, kemudian perubahan sikap bosnya, siapa lagi kalau bukan si Killer Evan.
"Hey ... Kenapa malah melamun? Makanan ini enak sekali, loh." kata Kevin dengan senyum manisnya. Pada saat itu mereka memang sedang makan siang bersama di rooftop perusahaannya.
"Vin ... Apa sebaiknya kita terbuka saja? Maksudku dengan hubungan ini. Lagipula ... Aku tidak pernah menemukan peraturan bahwa hubungan kekasih di larang di tempat kerja." "Ya, itu memang benar. Tadinya, aku hanya tidak mau ada berita atau gosip masuknya kamu di perusahaan ini, lantaran akses dariku. Karena aku kekasihmu. Tapi ... Sekarang sudah satu bulan lebih kamu bekerja di perusahaan ini. Aku rasa ... Tidak akan apa-apa, jika orang lain tahu tentang hubungan kita," ucap Kevin lembut. Luna lantas tersenyum mendengarnya.
"Benarkah? Kita tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi?"
"Ya, Luna. Bahkan setelah makan siang ini, aku bisa mengantarmu ke tempat kerja."
Luna lalu merangkul lengan Kevin dan bersandar di pundaknya. Ada rasa lega yang merasuk dadanya. Setidaknya, ia tidak akan di sebut penggoda bosnya, atau bahkan ia tidak perlu lagi berkeluh kesah pada Kevin melalui handphone. Kini ia bisa datang sendiri keruangannya, lalu mengajak makan siang di kantin, atau hal lainnya.
********** "Bagaimana dengan Tante Liana? Apa dia masih memaksamu bertunangan?" tanya Reynaldi, sewaktu mereka sedang dalam perjalanan pulang selepas meeting.
"Ya, sesuai wasiat papa. Jika aku sudah bertunangan dan menikah sebelum Benny berusia dua puluh tahun, maka hak waris perusahaan, akan jatuh pada anak itu. Inilah yang membuat mamaku gencar melakukan pertunangan."
"Wasiat itu Paman buat dengan maksud, membuatmu juga memperhatikan Benny, Van. Tidakkah Benny juga butuh kasih sayang, setidaknya dari kakaknya." "Ya tentu, tapi bukan kakak tirinya. Kakaknya sudah meninggal lima tahun yang lalu."
"Kamu ini ... Kamu itu juga anak ayahmu, Van. Setidaknya darah kalian mengalir sama jenisnya."
Evan terdiam. Ia malas menanggapi perkataan Reynaldi. "Lalu ... Pada intinya, kamu tidak ingin perusahaan jatuh pada Benny?" tanyanya lagi.
"Tidak juga. Perusahaan ini papaku yang membangunnya. Dia sudah berusaha keras, hingga membuat perusahaan ini menjadi perusahaan yang cukup besar dan memiliki banyak cabang. Dan Benny? Kamu tahu sendiri perangai Benny. Dia hanya konsen pada uang, dan perempuan. Aku yakin, tidak akan bertahan lama perusahaan ini akan bangkrut jika dia yang mengelolanya."
"Tetap saja, para pemegang saham akan mempertahankan dirimu, Van. Mereka juga tidak akan mau Benny menjadi Bos disana. Namanya sudah di cap buruk. Bahkan meski ada surat kuasa mengenai warisan ayahmu."
"Ah ... Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya. Karena jika boleh memilih, jujur aku tidak menyukai pekerjaan ini. Jika bukan sebab perusahaan adalah peninggalan papa, aku lebih baik memilih berkarir di bidang furniture," kata Evan yang menyandarkan punggungnya di kursi. Matanya terpejam, seperti masih menahan beban yang hinggap dipunggungnya.
"Tapi ini aneh sekali. Kenapa aku merasa kamu juga mendukung mamaku agar aku bisa segera menikah?" tanya Evan.
'Itu karena aku tidak mau kamu menyukai Luna.' batin Reynaldi. Tapi tentu ia tidak mengungkapkannya secara langsung. Setidaknya Reynaldi masih ingin menjaga perasaan sepupunya itu.
"Tidak, itu hanya perasaanmu saja," balas Reynaldi dengan wajah datarnya.
"Kalaupun menikah, aku hanya ingin dengan seseorang yang aku sukai." 'jangan sebut namanya ... Jangan sebut namanya' batin Reynaldi sedikit cemas.
"Luna ... Entah kenapa, aku merasa dia berbeda dengan kebanyakan wanita yang pernah aku temui. Dan sepertinya aku jatuh cinta padanya," kata Evan dengan senyum yang beberapa kali terlihat di wajahnya. Kali ini Reynaldi tak menjawab. Meski begitu, hatinya kini diliputi kecemasan.
'Sial ... Kenapa mereka harus menyukai orang yang sama, sih?' batinnya.
********
Seperti rutinitas sebelumnya, Luna mulai bersiap untuk membersihkan ruangan Evan. Biasanya ia meminjam berbagai peralatan kebersihan itu, Dari Rudi. Salah seorang OB di kantornya.
"Siang, mbak Luna ..." sapa Rudi.
"Mbak lagi, Aku kan sudah bilang ... Panggil aku Luna saja, Rud."
"Tapi saya Ndak enak, mbak. Saya kan cuma OB disini," kata Rudi merendah.
"Rud ... Rud ... Jangan melihat seseorang dari jabatannya. Lagipula, kita kan teman. Bukan begitu?" tanya Luna dengan senyumnya yang manis.
"Baik, Luna."
"Nah, gitu dong." kata Luna seraya merangkul pundaknya akrab. Sifat Luna memang baik dan ramah. Serta tak pernah membedakan status seseorang, tentu itu sangat disukai orang-orang terdekatnya.
Namun dari kejauhan, ada yang tidak suka melihat hal itu. Dan dia adalah Evan. Entah kenapa ia merasa sedikit kesal melihat Luna dekat dengan laki-laki lain. Evan segera melangkah menuju Luna. Dan dengan cepat, ia menarik tangannya agar berjauhan dari Rudi.
"Evan!" seru Luna kaget.
"Apa yang kalian lakukan disini?" tanya Evan dengan sorot mata yang tajam. "Oh ... Emm ... Aku sedang meminjam peralatan kebersihan darinya. Bukankah kamu menginginkan aku, untuk membersihkan ruanganmu 2 kali sehari?"
"Ya ... Tapi bukan dengan kecentilan dengan laki-laki lain!"
"Apa? Kecentilan?" "Ya ... Dan kamu!" Sambil menunjuk ke arah OB. "Segera kemasi barang-barangmu! Kamu saya pecat!"
"Apa?!?" pekik Luna kaget.
"To --- tolong jangan pecat saya, Pak. Saya minta maaf jika saya melakukan kesalahan," kata Rudi dengan tatapan memelas. "Evan! Kamu apa-apaan sih? Memangnya apa salah Rudi? Aku cuma pinjam sapu dan alat pel sama dia!"
"Salah dia adalah ... karena membuat aku kesal!" kata Evan.
Luna menganga mendengar jawaban sepele dari Evan. Karena ia tentu tidak menerima jawaban itu. Ia seolah muak dengan sosok si Killer. Tapi Evan lantas menarik paksa Luna untuk pergi. Meski beberapa kali Luna merintih sakit, karena cengkraman tangan Evan yang kuat pada lengannya. Tetap saja, Nyatanya itu tak membuat Evan iba.
Mereka pun sampai di ruangan direktur tempat Evan. Ia langsung mendorong Luna ke bangku sofa. "Dengar Luna! Apa pantas seorang perempuan merangkul laki-laki di tempat umum?"
"Apa maksudmu? Rudi itu temanku!"
"Teman? Itu bukan alasan yang tepat! Kamu itu memang suka dihampiri laki-laki, kan? Dulu aku sering melihat di atas meja kerjamu ada bunga. Itu dari seorang pria, kan? Siapa dia Luna? Apa itu Rudi?"
Mendengar itu, Luna kaget, marah, campur bingung.
'Astaga, ada apa dengan si Killer ini? Kenapa sikapnya menjadi posesif seperti ini? Apa aku harus menyebut nama Kevin? Tidak ... Tadi saja Rudi langsung di pecat begitu tahu aku dekat dengannya. Kalau Kevin dipecat, bagaimana dengan pernikahan kami?' batin Luna.
"Jangan diam saja, Luna! Cepat katakan! Siapa dia?!?"
"Itu --- bunga itu aku beli sendiri. Aku memang -- menyukai bunga," jawab Luna gugup.
"Jangan bohong, Luna!" Praanggg
Evan membanting gelas di atas meja, sebagai ungkapan kekesalannya. Luna pun gemetar ketakutan. Kepalanya tertunduk, seolah tak ingin melihat sosok Killer itu.
Tapi dengan dinginnya, Evan mendekati Luna dan mengangkat dagunya. "Dengarkan aku ... Tidak boleh ada laki-laki lain yang mendekatimu! Kamu adalah gadisku, Luna! Kamu sendiri yang telah membuatku jatuh cinta padamu! Jadi jangan salahkan aku, jika aku bahkan bisa membunuh laki-laki lain yang mencoba mendekatimu! Kamu mengerti?!" kata Evan geram. Setelah itu, ia pun meninggalkan Luna sendiri diruangannya.
Tubuh Luna seketika lunglai. Lemas tak berdaya. Air matanya mulai mengalir membasahi pipinya.
"Apa? Kenapa jadi seperti ini?" Gumam Luna pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boy
RomansaEvan Surya Atmadja adalah pria sukses. Kaya, Tampan, Pintar. Meski begitu, Evan juga seseorang yang arogan, angkuh, dan sombong. Hingga nasib mempertemukan dirinya dengan Luna. Gadis manis yang berperawakan ceria dan baik hati. Siapa sangka, Evan ju...