Aku akan selalu di sampingmu

1K 65 2
                                    

Luna akhirnya sampai di gedung basement, tempat parkiran mobil. Matanya terus mengawasi sekitar, mencari keberadaan seseorang yang mulai mengganggu pikirannya. Terutama akhir-akhir ini.

"Tidak ada ... kemana dia?" gumamnya pelan.

Memikirkan Evan, membuatnya gugup. Hingga ponsel yang ia pegang tanpa sengaja terjatuh. Dan disanalah ia melihat beberapa tetesan kemerahan di lantai aspal.

Ragu, Luna menyentuhnya, "Cat??"

Sesuatu yang jarang ia temui. Mengingat Evan pernah memerintahkan untuk menolak semua barang, hiasan maupun tatanan ruang yang berwarna kemerahan.

"Lalu untuk apa cat ini? Apa ini ada kaitannya dengan Evan?"

Luna kembali teringat akan kata-kata Benny. Bahwa ia akan memusnahkan Evan, dengan kelemahannya. Ini kah yang ia maksud? Benny pasti tahu Evan phobia akan warna merah.

Luna tak mau lagi berpikir lama. Ia takut semua berhubungan dengan suaminya, seseorang yang memang mengidap Xantofobia. Pada akhirnya Luna memutuskan mengikuti ceceran cat merah itu.
Mengarah ke gudang! Luna mencoba mengetuknya pelan.

"Apa ada orang di dalam?"

Samar ia seperti mendengar erangan di dalam sana. Luna sangat meyakini bahwa itu suara Evan. Mencoba membuka pintu itu, tapi nyatanya terkunci.

"Evaaaan ... Apa itu kamu?"

"Luna ...." Terdengar lirih suara itu memanggilnya.

Degup jantung Luna kian berpacu.
Ya, itu dia!

Mencoba mencari pertolongan, tapi sekitarnya begitu sepi. Wajar saja, karena saat ini memang masih jam kerja. Ingin meninggalkannya sebentar untuk menuju kantor satpam, pasti akan menghabiskan cukup banyak waktu. Akhirnya Luna memilih menghubungi Willy dan meminta bantuannya.

Luna sedikit lega mendengar jawaban Willy. Akan tetapi, suara erangan itu kembali muncul dari dalam. Seperti kesakitan.
Luna kembali mengkhawatirkan Evan.

Hanya lubang fentilasi yang menjadi satu-satunya penghubung. Bagi orang sepertinya yang memiliki tubuh mungil, tentu bisa masuk. Luna lalu mencari sesuatu untuk di pijaknya. Hingga sebuah kursi lipat yang berada tak jauh darinya, mulai menarik perhatian gadis itu. Tanpa pikir panjang, Luna segera menggunakannya untuk bisa menggapai fentilasi.

Di dalam, Evan mulai membuka matanya perlahan. Dari mulai dinding, beberapa dekorasi, bahkan bajunya terkena siraman cat merah. Evan tahu itu bukan pertanda baik. Rasa trauma akan kematian ibunya, seolah kembali berputar di otaknya.

"Tidak ... tidak lagi! Aaaarrrrrggggghhhhhh!!" teriak Evan frustasi.

Tangannya bergetar, keringat dinginnya mulai bercucuran, nafasnya tersengal-sengal.

Deg -- deg ... Deg -- deg ... Deg -- deg

Halusinasi itu mulai muncul, dihadapannya seolah datang ibunya, ibu kandung Evan. Langkahnya yang tertatih-tatih, dengan tubuh yang berlumuran darah. Senyum di wajah cantik itu, seperti menimbulkan kengerian pada diri Evan.

"Anakku sayang ... ikut ibu, nak," tangan penuh darah itu, mulai mengulur. Ingin menggapai Evan

"Ma -- ma ...."

Seperti tak punya pilihan lain, Evan berusaha menyambut uluran tangan itu.

Hingga tiba-tiba saja, Luna datang dan menembus bayangan ibunya. Sebuah pelukan hangat langsung mendarat di tubuhnya.

"Evan ...."

"..."

"Syukurlah, akhirnya aku menemukanmu."

My Possessive BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang