Udara dingin AC mobil, beserta kegugupannya terhadap sosok laki-laki di sebelahnya. Mampu membuat Luna terdiam, jemarinya yang mendadak kaku, seperti memperlihatkan betapa gugupnya ia kali ini. Masih teringat di benaknya tadi sebelum waktu pulang tiba.
*****
-Flash back-
Handphone Luna berdering dari laci mejanya. Sebuah senyum simpul terlihat ketika ia melihat nama si pemanggil.
'Hey Cantik ... Nanti kita pulang bersama, ya!'
'Ish ... Dasar gombal. Baiklah, Vin. Ayo kita pulang bersama!'
'Aku akan mengambil motor dulu di parkiran. Kamu tunggu di depan pintu kantor ya.' 'Siap, Pak Kevin.'
Luna mengakhiri telepon itu dengan rasa berbunga-bunga. Setelah sekian lama, akhirnya mereka bisa pulang bersama. Kini mereka memutuskan untuk tidak lagi backstreet.
"Luna ..." panggil seseorang dari belakang. Luna menoleh kaget. Ia cukup terkejut mendengar suara yang sangat dikenalnya.
"Evan ...."
Terlihat raut wajah menyesal pada dirinya.
"Maafkan aku, tentang masalah tadi. Aku hanya benar-benar tidak suka melihatmu dekat dengan laki-laki lain." kata Evan.
"Aku akan memaafkan dirimu, jika kamu mau menarik keputusanmu tentang Rudi."
"Apa? OB itu?"
"Tidak sepantasnya kamu melakukan hal itu hanya karena kamu tidak menyukainya. Sebagai atasan, kamu harus lebih bersikap santun, dengan begitu ... Semua bawahanmu akan lebih segan padamu."
Evan jelas tidak menyukai penjabaran Luna. Karena baginya ... Suka adalah suka, tidak suka ya tidak suka.
"Jika aku tetap memecat OB itu, apa kamu akan membenciku?" "Ya."
"Baiklah terserah. Untuk kali ini, aku akan membiarkannya. Tapi jika aku melihat kamu dekat dengan laki-laki lain lagi. Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membuat laki-laki itu menerima ganjarannya."
"Ga -- ganjaran?" "Ya."
Luna terdiam. Di pikirannya hanya ada satu orang. Yakni Kevin.
"Kita pulang bersama. Dan kamu tidak boleh menolaknya. Mengerti?"
"Kenapa?"
"Tentu saja karena aku tidak menerima penolakan, Luna," jawab Evan dengan senyumnya.
Perkataan yang sederhana, tapi cukup menusuk bagi Luna.
-Flash back End-
*****
Mobil Evan baru saja melewati pintu masuk kantornya. Luna menatap sedih Kevin yang masih terdiam di atas motor maticnya.
"Ia pasti sedang menungguku." Batin Luna sedih
Ingin sekali ia menjangkau handphonenya, sekedar mengabari bahwa mereka tidak bisa pulang bersama. Tapi tatapan Evan yang terus memandangnya, membuat ia ragu. Ia tidak mau sesuatu yang buruk menimpa Kevin. Setidaknya ... Hanya beberapa bulan lagi mereka akan menikah.
"Apa kamu hanya memiliki satu tas ini?" tanya Evan memecah keheningan.
"Oh ... Em, iya," balas Luna yang langsung mengesampingkan tasnya. Sebenarnya ia cukup malu. Mengingat tas itu memang bukan brand mewah, ditambah lagi, ada sedikit tambalan di bagian talinya yang memang sudah lama putus.
Evan tak lagi memberi respon. Ia lalu memutar kemudi setir-nya.
"Lho? Ini bukan jalan rumahku," kata Luna cepat. "Ya, aku harus ke suatu tempat. Tenang saja, tidak akan lama kok," balas Evan dengan senyumnya yang menawan.
Entah kenapa, Luna baru menyadari. Sosok laki-laki di sebelahnya itu memang tampan. Tak heran sejak dulu, banyak wanita yang iri padanya. Bisa naik mobil mewah, dan bersanding dengan cowok seganteng Evan. Wanita mana yang tidak suka? Tentu jawabannya pasti Luna. Karena sampai saat ini, ia masih memikirkan Kevin.
"Apa kamu masih menungguku?" Gumamnya pelan.
*****
Kevin masih menunggu Luna. Sesekali ia melihat jam di tangannya. Memastikan bahwa saat ini memang sudah waktunya kekasihnya itu pulang kerja.
"Kevin ... Sedang apa sendirian disini?" tanya Willy yang baru saja keluar kantor.
"Oh, hai Wil ... Aku lagi menunggu Luna. Tumben dia belum keluar." "Luna? Loh ... Tadi sepertinya aku sudah melihatnya pulang."
Kevin tentu sedikit terkejut mendengarnya.
"Luna sedang ada lembur di luar. Itu sebabnya ia tidak jadi pulang bersamamu," kata seseorang dari belakang.
Kevin dan Willy kangsung menundukkan kepalanya, seperti memberi hormat pada Reynaldi.
Tentu Reynaldi hanya mengarang mengenai job Luna di luar. Ia tentu tahu, dengan siapa Luna pergi saat ini.
"Lebih baik, kalian pergi bersamaku. Bukankah ini weekend?" Tawar Reynaldi. "Sungguh?" tanya Willy ceria.
"Tidak perlu repot-repot, Rey." kata Kevin.
"Kami mau kok." kata Willy cepat sambil menggaet lengan Kevin.
Dan akhirnya, Kevin menyerah. Mereka pun pergi bersama-sama.
***** Mata Luna terbelalak ketika melihat deretan tas dihadapannya. Tentu bukan tas biasa, melainkan tas-tas yang memiliki brand ternama. Seperti Chanel, Louis Vuitton, bahkan Hermes!!!
Para SPG yang cukup cantik-cantik itu akhirnya selesai memperlihatkan beberapa koleksi terbarunya. "Pilihlah yang paling kamu suka," kata Evan.
Luna tetap terdiam, meski sebuah senyum tampak ia paksakan.
'Oh ya ampun ... Apa maksudnya pria ini? Kenapa aku di suruh memilih tas branded seperti ini? Ia mau membelikannya, atau jangan-jangan Ia akan memotong dari upah ku?' batin Luna bertanya-tanya. Ia pun mengambil salah satu tas Hermes Birkin berwarna merah maroon. Dan bola mata Luna hampir keluar ketika melihat price tag di tas itu.
'Sa-satu koma tujuh milyar?? Astaga ... Tas macam apa yang harganya setara rumah mewah??'
Tapi Luna buru-buru menyembunyikan keterkejutannya, karena salah satu dari SPG itu tampak tersenyum meremehkan Luna.
'Apa maksudnya senyuman itu? Apa ia merasa aku tidak sanggup membelinya? Ya ... Jujur aja sih, aku memang tidak sanggup.' batin Luna nelangsa.
Ia beralih pada tas Chanel bentuk pouch mini. Dan lagi-lagi ia harus mengelus dada melihat harganya yang mencapai 2 kali lipat harga motor matic.
'Astaga ... Bahkan tas kecil seperti ini pun harganya mahal??' batin Luna serasa ingin menjerit.
"Ada apa?" tanya Evan yang menghampiri Luna. "Emm ... Sepertinya aku tidak perlu tas bar, Van. Tasku masih bagus, kok," kata Luna.
"Luna, jangan membuatku malu. Kita sudah kemari, masa pulang dengan tangan hampa?" kata Evan. Ia lalu menjentikkan jarinya, "Tolong bungkus semua tas-tas ini. Kami akan membelinya." Evan lalu menyerahkan kartu kreditnya.
Tak hanya Luna, para SPG itu juga terkejut. Tapi kemudian mereka buru-buru mengangguk dan tersenyum manis.
"Yang benar saja? Apa kamu sudah tidak waras? Tas-tas itu jika di total, bisa untuk membeli satu blok perumahan elite!" protes Luna. "Benarkah? Bagiku, itu tidak ada artinya. Sudah, sambil menunggu tas-tas itu dibungkus ... Lebih baik sekarang kita makan. Aku lapar. Kamu mau makan di restoran apa? Perancis? Jepang? Korea? Italy?"
"Aku mau bakso." jawab Luna dongkol.
Evan pun tersenyum melihatnya. Ia lalu menggandeng tangan Luna, dan membawanya pergi.
"Tunggu, Van ... Aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa kamu melakukan hal ini padaku?"
"Apa kamu marah? Aku melakukannya karena aku mencintaimu. Bukankah aku sudah pernah mengatakannya?" Jawab Evan masih dengan senyumnya
"Tapi aku tidak! Aku menyukai orang lain! Jadi, hentikan semua ini." kata Luna.
Seketika senyum Evan menghilang.
"Siapa laki-laki itu? Aku akan membunuhnya jika dia berani mendekatimu."
Dua kalimat, hanya dua kalimat yang mampu membuat Luna seakan menyerah. ia mengkhawatirkan Kevin. Apa yang akan Evan lakukan jika tahu Kevin adalah tunangannya?
"Kenapa kamu melakukan hal itu?" kata Luna menahan kesal dan sedihnya.
"Aku tidak akan meminta maaf. Sejak dulu maupun sekarang, aku sudah mengikrarkan diri, bahwa kamu adalah milikku. Aku juga tidak akan minta maaf, jika aku terkesan mengancammu dengan membunuh laki-laki itu." "Lalu apa salahku?"
"Salahmu adalah ... Telah membuatku jatuh cinta. Jadi jangan harap, aku akan melepasmu. Lagipula ... Daripada menghindar, lebih baik kamu mulai membuka hatimu untukku," kata Evan yang kemudian kembali menggenggam tangan Luna dan membawanya pergi. Luna kini hanya pasrah mengikuti langkah Evan.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boy
RomanceEvan Surya Atmadja adalah pria sukses. Kaya, Tampan, Pintar. Meski begitu, Evan juga seseorang yang arogan, angkuh, dan sombong. Hingga nasib mempertemukan dirinya dengan Luna. Gadis manis yang berperawakan ceria dan baik hati. Siapa sangka, Evan ju...