Evan mulai membuka matanya perlahan. Ia mencoba mengamati keadaan sekitarnya. Suasana kamar yang hening, dengan warna hijau mendominasi baik di perabotan maupun dekorasinya.
"Dimana ini? Apa ini Rumah sakit?" Pikirnya saat itu.
Evan sedikit merasa pusing pada kepalanya. Ia lalu mencabut selang oksigen yang membantunya bernafas. Mencoba bangun dari tidurnya, meski masih dalam keadaan lemah.
"Evan bangun ... Maafkan aku ...." Gumam seseorang.
"Luna?" panggil Evan pelan. Ia tak menyangka melihat gadis itu disebelahnya.
Luna saat itu sedang tidur dalam posisi duduk di kursi, kepalanya bersandar pada ranjang rumah sakit, dengan tangan kirinya yang masih menggenggam tangan Evan. Sepertinya ia mengigau ketika mengucapkan kata-kata tadi, karena nyatanya mata Luna masih terpejam. Ada bekas air mata yang masih terlihat di ujung matanya.
"Aku mohon jangan mati ... Maafkan ... Aku ...."
Evan tersenyum melihat Luna yang sepertinya masih mengigau.
"Apa kamu tertidur sambil mengkhawatirkanku?" tanya Evan pelan.Ia lalu menghapus air mata Luna yang tadi sempat menggenang.
"Aku tidak mengerti, sebenarnya ... Wanita seperti apa dirimu itu?" lanjut Evan.
*Cerita delapan jam yang lalu*
Luna yang panik, terus berteriak minta tolong. Berkali-kali ia membangunkan Evan, tapi Evan sama sekali tidak memberikan respon apapun.
Hingga akhirnya, seseorang masuk ke ruangan tersebut, dan ia cukup terkejut melihat Luna dengan kepala Evan yang terbaring dipangkuannya.
"Luna! Apa yang terjadi?" tanyanya cemas.
"Pak Reynaldi ... Tolong Evan, Pak. Tadi dia pingsan saat melihatku."
"Baju itu ... Kenapa kamu memakai pakaian warna merah?" Sambil menunjuk blazer Luna.
"Ceritanya panjang, Pak! Tapi tolong, selamatkan Evan dulu!"
Reynaldi mengangguk cepat. Ia memeriksa nadi Evan.
"Masih berdenyut, tapi ... Terasa lemah. Aku akan memanggil ambulans," kata Reynaldi yang langsung meraih gagang telepon.
"Astaga ... Apa ini ada hubungannya dengan masalah itu?" lanjut Reynaldi sambil mengetik keypad telepon itu."Apa maksud bapak?"
"Awalnya aku kira dia hanya bercanda, ternyata ia benar-benar mengidap phobia itu." kata Reynaldi di sela-sela sambungan telepon itu.
"Phobia??" tanya Luna cemas
Kali ini Reynaldi tidak menjawab. Karena ia sedang berbicara di sambungan teleponnya.
Luna menatap Evan yang masih terpejam. Rasa bersalah begitu menyelimuti hati dan pikirannya. Tanpa sadar, air mata itu menetes. Ia kini sangat mengkhawatirkan Evan.
"Evan mengidap Xantofobia. Itu sejenis ketakutan yang disebabkan oleh suatu warna. Awalnya aku benar-benar tidak menyangka apa yang dikatakannya dulu adalah kebenaran."
"Xantofobia?"
"Ini berkaitan dengan masa lalunya, sekitar tujuh belas tahun yang lalu."
"Apa ketika ibu kandungnya meninggal?" tanya Luna hati-hati.
"Bagaimana kamu tahu? Apa jangan-jangan ?? Hemm ... pantas saja. Evan tidak mungkin menceritakannya begitu saja, dengan orang lain. Itu tandanya ia benar-benar sudah menyukaimu, Luna," kata Reynaldi yang kini duduk disebelahnya.
Luna masih menatap Reynaldi, seperti menantikan cerita dibalik Xantofobia itu.
"Saat itu Evan, bersama ibu kandungnya sedang berjalan-jalan dengan mengendarai mobil. Meski selalu hidup berdua, karena pamanku yang notabene adalah ayah kandung Evan, tidak bisa selalu ada untuk mereka. Tapi mereka tetap bergembira satu sama lain. Satu-satunya yang dimiliki Evan, hanyalah ibunya. Setidaknya itu yang selalu dipikirkannya. Tiba-tiba kecelakaan mobil itu ... Mampu merenggut seluruh kebahagiaannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boy
RomansaEvan Surya Atmadja adalah pria sukses. Kaya, Tampan, Pintar. Meski begitu, Evan juga seseorang yang arogan, angkuh, dan sombong. Hingga nasib mempertemukan dirinya dengan Luna. Gadis manis yang berperawakan ceria dan baik hati. Siapa sangka, Evan ju...