Luna masih memandangi langit malam dari jendela kamarnya. Meski waktu sudah menandakan hampir subuh, tapi rasa kantuk seperti tak menghinggapinya.
Luna menatap bayangan refleksi dirinya di depan kaca jendela. Ia meraba pelan bibir itu. Seperti ada penyesalan yang menghinggapinya.
"Bagaimana ini ... Dasar bodoh! Kenapa aku malah menerima ciuman itu. Sungguh ... Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin berteman dengannya. Dan sekarang ... Akan semakin sulit bagiku untuk mengabaikannya ..." Runtuk Luna Ia pun menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Seperti masih merasakan sesal yang terjadi.
"Kevin ... kenapa kita tidak lari saja?"
*******
Dan memang benar, Luna sama sekali tidak bisa tidur memikirkan kejadian kemarin. Ia bukan tipikal wanita berhati dua. Perasaan bersalah akan ciuman itu, seperti terus membayanginya.
Pukul 6 pagi Luna sudah sampai di kantornya. Ia memang sengaja berangkat lebih awal. Dan di pagi itu, Luna telah bersiap untuk bekerja. ia mulai merapikan ruangan Evan, membersihkannya, membuat jadwal meeting untuk bos nya, tak lupa laporan untuk meeting nanti. Sebisa mungkin dengan cepat, ia berusaha untuk menyelesaikannya.
"Setidaknya ... Hanya ini cara terakhir yang bisa aku lakukan," kata Luna pelan.
Dan ... Pukul delapan yang ditunggu tiba. Evan sudah tiba di kantor. Meski kemarin ia baru saja di rawat di Rumah Sakit, tapi pagi ini raut wajahnya terlihat lebih gembira, berbeda dari biasanya.
Bayangan berciuman dengan Luna, seperti menjadi mood booster baginya.
Sesuatu yang sangat jarang bisa ditemui di wajah Killer itu, adalah senyuman. Tapi pagi ini, Evan tak segan-segan menebar senyumnya ke banyak karyawannya. Tentu itu membuat beberapa karyawan wanitanya semakin terpesona.
Tapi senyuman itu segera punah, ketika melihat ruangan Luna yang kosong. "Kemana perginya, dia? Bukankah ini sudah jam masuk?" kata Evan pelan.
Evan segera beralih ke ruangannya. Dan ia cukup takjub, melihat ruangannya sudah rapi.
"Siapa yang melakukannya? Ruangan ini sudah rapi. Jika Luna ... Harusnya saat ini ia sedang membersihkan ruanganku?" Ungkap Evan dengan beragam pertanyaan dibenaknya.
Tapi semua pertanyaan itu terjawab ketika Evan melihat beberapa notes di mejanya.
*** Pagi, Pak Evan. Saya sudah merapikan ruangan bapak tadi pagi. Jadi bapak tidak perlu khawatir melihat ruangan kotor dan berantakan.
***
Pak, ini adalah rincian jadwal anda hari ini.
*** Pak, saya sudah pesankan kopi pada OB, mungkin sebentar lagi akan sampai. Tenang, racikan kopi itu sudah sesuai dengan yang sering aku buat untuk bapak.
***
Pak, ini sudah saya buat beberapa berkas laporan untuk meeting nanti bersama Mr. Chen.
***
Jika ada yang bapak ingin tanyakan, bapak bisa menghubungi saya di ruangan Willy. Sekretaris pak Reynaldi.
*** "Bapak? Bukankah aku sudah memintanya untuk memanggil namaku saja? Dan ah ... Kenapa Reynaldi?? Apa-apaan ini? Kenapa dia lebih memilih menemui sepupuku, dan membiarkanku bicara pada tumpukan notes." Kata Evan kesal.
Ia pun segera meraih gagang telepon. Dan menekan beberapa keypadnya.
"Halo, Rey ... Dimana Luna?"
"Kenapa menanyakan hal itu padaku? Bukankah ia sekretarismu?"
"Tapi Luna bilang ... Ah tidak, maksudku ... di notes ini tertulis bahwa ia sedang menemui Willy." "Willy kini bahkan ada di hadapanku. Dan tidak ada Luna disini. Heh ... Mungkin dia tidak masuk, Van."
"Dia bahkan sudah menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Bagaimana ia bisa tidak masuk? Ya sudah kalau begitu, aku tutup." kata Evan kesal.
Mengetahui Luna menghilang, itu membuat sosok Killer Evan kembali muncul.
"Awas saja jika aku sampai menemukanmu!" kata Evan geram.
Jadi dimana Luna sekarang? Saat ini ia sedang tertidur di bawah meja Kevin. Yaa ... Semalaman ia tak tidur, dan pagi-pagi ia juga sudah bekerja keras, tentu itu membuatnya kelelahan. Luna pun semakin terpejam ke alam mimpi. Meski begitu, dengan sayang ... Kevin memberikan jas miliknya untuk menyelimuti tubuh Luna.
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Luna. Semenjak bekerja di perusahaan ini, aku semakin melihatmu kekurangan berat badan. Apa terasa begitu sulit bekerja dengannya? Atau mungkin, ini sudah waktunya aku lebih menjagamu. Aku tidak ingin kamu semakin menderita." kata Kevin pelan.
Tapi sepertinya Luna benar-benar sudah tertidur. Ia tidak lagi merespon perkataan Kevin.
"Tidurlah yang nyenyak, aku akan menjagamu." kata Kevin dengan diakhiri sebuah kecupan sayang di kening Luna.
*****
Luna mulai membuka matanya. Ia tidak lagi melihat Kevin di bangkunya. Luna mencoba untuk bangkit, hingga sebuah notes kecil di sebelah tempat duduknya mampu menggagalkan niatnya. 'Luna ... Temui aku di rooftop.'
Sebuah senyum mulai menghiasi wajah manisnya. Ia sangat mengenal tulisan itu. Ini dari Kevin.
Luna sedikit merapikan penampilannya. Sebuah semangat kembali mencuat pada dirinya. Namun ketika keluar dari ruangan Kevin, senyum itu mendadak sirna.
"Luna! Dari mana saja kamu?" tanya seseorang dengan mata elang-nya.
'Astaga, kenapa di saat seperti ini, aku harus bertemu si Killer sih??' Runtuk Luna di hatinya.
"Pak Evan ...." "Cepat ikut aku!"
"Tunggu! Bukankah Bapak harus mengikuti rapat? Tadi aku sudah memberikan laporannya pada Bapak."
"Aku akan membatalkannya. Sekarang ikut aku, Luna!" kata Evan sambil menggandeng tangan Luna. Atau ... lebih tepat memaksanya. Tapi Luna menahannya. Evan kembali menatapnya tajam.
"Tapi nanti klien Anda adalah Mr. Chen. Bukankah itu investor penting untuk perusahaan ini?" lanjut Luna.
"Apa yang dikatakan Luna benar, Van. Kamu tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengannya." sahut Reynaldi yang baru saja tiba. Evan terlihat menahan kesalnya. Ia pun melepas pegangan tangannya pada Luna.
'Fiuuh ... Syukurlah, aku kini bisa segera bertemu Kevin.' batin Luna.
Tapi tiba-tiba saja Evan kembali menggenggam tangan Luna.
"Ini tidak akan lama, tunggulah di mobil, Rey!" Pinta Evan yang langsung membawa Luna pergi.
Reynaldi kali ini membiarkannya. Ia hanya bisa menghela nafas panjang melihat kelakuan sepupunya itu.
Sepanjang jalan, Evan terus menggenggam tangan Luna. Dan di sepanjang jalan itu pula, banyak karyawan Evan yang memperhatikan keduanya.
"Kita mau kemana, Pak."
Evan tidak menjawab. Dan begitu melihat pintu menuju ke tangga darurat, Evan langsung membawa Luna masuk.
"Ke -- kenapa kita kesini?" tanya Luna. Evan tak menjawab. Tatapan elang itu kembali menusuknya. Evan terus mendekati Luna, bahkan hingga Luna terjebak antara dinding dengan dirinya.
"Sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa sejak tadi kamu terus menghindariku?" "Ap -- apa maksud, bapak? Aku sama sekali tidak ada maksud menghindar. Aku hanya sedikit bosan, karena semua pekerjaan telah aku selesaikan. Jadi ... Aku memutuskan untuk mengerjakan hal lainnya."
"Pertama notes, yang kedua ... Kamu tidak lagi menurutiku."
"Tidak lagi menuruti?" "Ya ... Kenapa kamu kembali memanggilku, Pak? Bukankah aku sudah pernah mengatakannya? Panggil aku dengan hanya namaku saja. Cuma kamu yang boleh melakukan itu."
"Tapi aku bawahan, Pak Evan. Tidak akan pantas jika ada orang lain yang mendengar." "Kamu adalah kekasihku, Luna!" kata Evan dengan penekanan di akhir kalimat.
"Dia bukan kekasihmu! Melainkan kekasihku!" Kata seseorang yang baru saja turun dari lantai atas.
Mata Luna terbelalak kaget. "Kevin ..." Panggil Luna cepat.
"Kamu mengenalnya?" tanya Evan tak percaya.
Namun Luna tak menjawab. ia menundukkan pandangannya. Kevin kini sudah berada di hadapan mereka berdua. Dan dengan cepat, Kevin menarik Luna untuk lebih dekat dengannya. Tentu Evan menjadi geram karenanya.
"Lepaskandia!!" kata Evan.
Luna yang takut terjadi sesuatu pada Kevin, mencoba melepaskan genggaman tangan itu.
"Tidak, Luna. Sudah saatnya dia tahu siapa kamu!" Kata Kevin. Dengan tatapan yang masih mengarah pada Evan.
Kevin mengangkat tangan Luna keatas. Dengan tangannya sendiri. Disitu Evan baru menyadari kesamaan model cincin yang melingkar pada tangan keduanya.
"Luna adalah tunanganku." lanjut Kevin.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Boy
RomanceEvan Surya Atmadja adalah pria sukses. Kaya, Tampan, Pintar. Meski begitu, Evan juga seseorang yang arogan, angkuh, dan sombong. Hingga nasib mempertemukan dirinya dengan Luna. Gadis manis yang berperawakan ceria dan baik hati. Siapa sangka, Evan ju...