Hai, namaku Miranda. Aku mahasiswa jurusan psikologi di salah satu kampus negeri di kota Malang. Usiaku delapan belas tahun, dan ini adalah tahun kedua di kuliahku. Bingung, kenapa diusiaku yang delapan belas tahun aku sudah masuk tahun kedua perkuliahan? Jangan bingung, aku ceritain. Jadi aku masuk SD umur tujuh tahun, dan aku hanya menjalani SD-ku selama empat tahun. Yap, aku loncat kelas dua kali. Kelas dua dan kelas empat. Jadi aku lulus SD usia sebelas tahun. Lalu aku menjalani masa SMP dan SMA-ku dengan normal. Masing-masing tiga tahun.
Orang bilang dari semua masa sekolah, masa SMA adalah masa yang paling indah. Aku lumayan setuju dengan hal itu sih, karena di masa SMA aku ketemu dengan satu cowok yang bisa membuat hatiku berbunga-bunga. Namanya Bimantara. Sekarang ia adalah mahasiswa kedokteran tahun kedua di salah satu kampus Negeri di Malang. Aku mengenal Bima sejak kelas sepuluh. Dia cukup populer di sekolahku dulu. Dia salah satu anggota club basket di sekolah. Jadi tidak sulit untuk mengenalnya. Sedangkan aku? Jangan salah, aku cukup dikenal di antara teman-temanku. Aku termasuk salah satu pengurus OSIS waktu SMA. Karena di sekolahku banyak kegiatan dan pengurus OSIS biasanya jadi panitia, ya tentu aku mudah dikenali oleh banyak orang.
Anyway, hari ini adalah hari jadiku dengan Bima yang ketiga. Kami sudah jadi couple sejak kelas dua belas. Ya, ini hari jadi kami yang kedua. Aku sudah mempersiapkan kejutan kecil untuknya. Aku sudah menabung jauh-jauh hari untuk membelikan Bima jersey basket warna biru. Tak lupa aku juga menyiapkan kue kecil bertuliskan Happy Anniversary lengkap dengan lilin warna warni.
Sebenarnya sudah sekitar satu minggu ini aku dan Bima tidak akur. Aku tahu, dia mungkin juga sedang mempersiapkan kejutan untukku. Tahu kan, biasanya sebelum ada kejutan selalu ada acara ngerjain terlebih dahulu. Sejak aku SMA sudah sering trik itu digunakan olehku dan teman-temanku. Ya, semingguan ini Bima sok cuek padaku, balas chat singkat-singkat, susah diajak ketemu. Bahkan kalau dihitung-hitung, kami sama sekali nggak ketemu selama sepuluh hari terakhir. Yah walaupun kami memang sebenarnya jarang ketemu sih, tapi jeda pertemuan biasanya tidak lebih dari tiga atau empat hari. Aku yakin Bima pasti mempersiapkan sesuatu.
Sudah dua puluh menit aku duduk di kafe Prestegious ini. Kue sudah kutata sedemikian rupa di atas meja dan kusimpan kado di kursi sebelahku. Sejam yang lalu aku memang menghubungi Bima, mengajak bertemu di sini, di tempat biasa kami bertemu di hari-hari biasanya. Dia setuju, menyempatkan waktu disela-sela sibuknya untuk bertemu denganku.
"Hai Ra," sapa Bima. Aku berdiri, menyambutnya dengan senyuman.
"Hai Sayang, happy anniversary, ya," ucapku sambil meraih kedua tangannya. Bima diam, menatap kue di atas meja, dengan lilin belum menyala. Aku sedikit menarik tangannya, mengajaknya duduk.
Aku mencari korek api di tas kecilku,bermaksud menyalakan lilin dan meniupnya bersama-sama. Bima masih terdiam.
"Ra,"
"Iya? Bentar ya, Bim, ini bentar lagi dinyalain lilinnya," kataku sambil masih sibuk melongok ke dalam tas kecilku.
"Ra..,"
"Nah, ini ketemu," kataku sambil menunjukkan korek api berwarna kuning.
"Miranda," kata Bima sambil menahan tanganku yang mendekat ke arah lilin. Aku menoleh, menatapnya.
"Kita udahan aja ya, Ra," sambungnya.
Eh, akting apa lagi ini?
"Beluman. Kan ini belum dinyalain lilinnya," jawabku.
"Ra," Bima menarik tanganku, meletakkan di meja. Ia menatapku dalam-dalam.
"Kita bener-bener udah nggak bisa lanjut lagi," kata Bima.
"Maksudnya?"
"Ya kita pu...tus," ia melepaskan tanganku.
Aku masih mencerna semua yang ada di hadapanku. Aku diputusin di hari anniversary. Konyol!
"Kenapa Bim?"
Bima diam. Malah mendorong kursinya ke belakang, berdiri. Kemudian meninggalkan aku.
Sejujurnya aku tidak mau berdrama di dalam kafe. Dilihat banyak orang, dikira ini syuting rumah uya lagi. Ogah banget. Tapi rasa sakit hati dan penasaranku cukup besar hingga membuat langkahku mengikuti Bima keluar dari kafe. Kami berjarak beberapa meter. Saat aku hendak meraih tangannya, seorang wanita mengenakan blouse kuning muda, dengan rambut panjang tergerai, muncul dari balik pintu mobil milik Bima.
Belum sempat aku meraih tangannya, Bima sudah mendekat pada wanita yang tengah menatapku. Ia mendorong wanita itu pelan agar masuk ke mobil. Wanita itu sedikit berontak, seolah ingin menghampiriku. Bima menahannya. Aku hanya menjadi seorang penonton yang dibuat bingung oleh mereka berdua.
Bima kalah. Wanita itu mendekatiku, matanya sayu, wajahnya penuh dengan penyesalan, ia meraih tanganku.
"Maafin aku, Ra," ucapnya sambil menitikkan air mata.
"Kamu Dina, kan?" tanyaku. Aku tahu wanita itu bernama Dina, teman sekelas Bima di kampus. Walau aku tidak mengenalnya dengan baik, aku yakin kami sempat beberapa kali bertemu. Bima juga sering bercerita tentangnya.
"Maafin aku, Ra," ucapnya sekali lagi. Namun Bima datang, menarik paksa wanita itu, meninggalkan aku yang masih berdiri di depan pintu kafe.
Aku membalikkan badan. Kembali memasuki kafe, dan duduk di tempatku. Aku mencabut lilin warna warni yang belum sempat ditiup. Memasukkan kembali kue ke dalam kotak. Mengelus kotak kado yang masih tersimpan rapi di atas kursi.
Aku berhenti sejenak. Menatap keluar ruangan. Mobil Bima sudah hilang. Namun masih meninggalkan tanya pada diriku. Kenapa dia memutuskan aku? Apa salahku?
Apa aku sakit hati? Tentu saja. Ini hari jadi kami. Harusnya kami melaluinya dengan suka cita. Kami berhasil melewati dua tahun bersama. Tapi nyatanya? Bima menyerah.
Yang membuatku bingung adalah, kenapa Dina meminta maaf padaku? Apa yang sudah ia perbuat? Bukankah kami tidak begitu saling kenal? Kenapa Bima menariknya pergi, dan enggan menjelaskan semuanya padaku?
"Mbak," suara berat seorang laki-laki mengagetkanku. Ia menyodorkan segelas es cokelat dengan topping es krim vanila dan strawberry.
"Eh? Aku nggak pesen ini, mas," balasku.
"Saya yang traktir," balasnya sambil tersenyum. Menampilkan giginya yang putih, matanya yang sipit hampir hilang ditelan otot pipinya yang naik ke atas. Pipinya nggak gembul kok, tapi bayangin aja lah kalau orang matanya udah sipit, terus senyum. Apa nggak tambah hilang matanya?
Aku masih dengan keadaan serba bingung pasca keputusan yang diungkapkan Bima dan lelaki dengan name tag Ares yang menyodoriku segelas minuman.
"Get well soon, Mbak," katanya. Kemudian berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mampu (s) Tanpamu (COMPLETED)
RandomApa yang bakal lu lakuin, kalau lu diputusin pas lagi sayang-sayangnya? Diputusin di hari jadian lu berdua. Kan sakit, Maemunah! Highest rank #1 Malang #1 Mellow #5 Rara #5 Sakit Hati #9 Patah hati #10 Kuliah