Jangan Ganggu Pacarku

3.6K 231 12
                                    

"Apa syaratnya?"

"Kamu nggak boleh sedih, marah, ataupun kecewa," kata Ares.

Aku mengangguk.

"Bener?"

"Iya, bener."

"Janji?"

"Iya, janji. Buruan," desakku.

"Tutup mata dulu," aku menurutinya, menutup kedua mataku.

"Oke, sekarang buka mata," kata Ares.

Aku membuka mataku dan menemukan secarik kertas ukuran A5 berwarna biru dengan tulisan warna kuning di dalamnya. Sementara Ares nyengir tanpa dosa. Ini selebaran dari sales provider internet. Astaga, sia-sia rasa penasaranku.

Aku memukul lengan Ares. Ia hanya tertawa kencang.

"Kamu kira apaan? Undangan nikahnya mantanmu? Nggak akan diundang kamu, Ra," kata Ares.

"Tahu dari mana?" tanyaku lalu mencebik.

"Dari Lio,"

"Dari Lio?" tanyaku. Iya sih, mereka satu fakultas.

"Mereka udah nikah kok Ra, tapi nggak ngundang sana sini, cuma nikah sah secara agama dan negara. Nggak pakai acara temu manten segala macam. Udah jadi gosip di anak kedokteran. Lio yang beda kelas aja udah tahu. Lio aja tahu kalau itu nikahnya karena yang cewek hamil duluan, " kata Ares. Bahkan anak Bisnis pun tahu.

Jadi sewaktu aku melihat mereka berdua di bioskop waktu itu, jangan-jangan mereka sudah menikah? Sedangkan aku mengira mereka masih sepasang kekasih. Padahal mereka sudah suami istri.

" Ra? "panggil Ares. Aku menoleh.

"Aku yakin, akan selalu ada orang yang jauh lebih baik buat kamu," kata Ares, lalu ia mengusap kepalaku.

Entahlah, tidak terlalu berat, tapi tidak juga melegakan. Sudah lebih dari dua bulan aku berkutat dengan segala perasaan sakit hati dan kecewa, namun saat ini aneh yang kurasakan. Tidak sakit, tidak kecewa, tidak lega, tidak ikut bahagia juga.

" Makasih ya, Res," ucapku. Ia mengangguk, tersenyum, lalu kembali mengusap kepalaku.

***
Setelah mengetahui pernikahan Bima, aku tetap menjalani hari-hariku seperti biasa. Waktu berjalan terus, nggak bisa nunggu aku sampai baik-baik saja, baru bergerak lagi.

Aku masih tetap masuk kuliah sesuai jadwal. Mengikuti sesi konseling setiap hari Jum'at. Berusaha menghindari bule gila yang tidak bosan-bosannya muncul di kehidupanku. Memperbanyak waktu bertemu dengan Sindi, Aliya, Lio, dan Ares.

Seperti hari ini misalnya, aku dan Aliya menunggu Sindi di kafe milik Ares. Kami sudah janjian bertemu jam tiga sore, setelah tadi terpisah karena Sindi dijemput oleh Lio, sedangkan Aliya merengek mengajak ke toko pakaian. Lalu kami sepakat bertemu lagi di kafe milik Ares yang ada di jalan Soekarno-Hatta.

"Mana nih, Sindi?" tanya Aliya sambil menikmati lemon tea dari ujung pipet. Mau diet katanya, jadi minumnya lemon tea.

"Masih di jalan kali, biasa kan di jembatan situ macet," kataku sambil mengecek ponsel.

"Halah paling masih enak-enak cium sana sini," kata Aliya lalu terkikik.

"Hus! Ngawur!" omelku.

"Masa sih Sindi nggak kiss kiss? Cowoknya ganteng lho Ra, apa nggak gemes?" tanya Aliya. Aku menoyor kepalanya.

"Kalau aku jadi Sindi, udah habis kali, tuh cowok," katanya lagi. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Otakmu Ya..., nggak ada pikiran lain apa?" tanyaku.

Mampu (s) Tanpamu	 (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang