Ironi

4.5K 256 5
                                        

Hari-hari sudah berlalu. Aku sudah bertemu dengan dokter. Aku tidak mengidap asma. Tidak ada penyakit pernapasan apa pun. Kata dokter, mungkin itu panic attack. Aku mungkin harus menemui psikolog untuk terapi atau konseling dan semacamnya. Ironis bukan, mahasiswa psikologi harus menemui psikolog.

Mama sudah mencari banyak daftar psikolog terbaik, mulai di kota Malang, bahkan di Surabaya. Papa bahkan juga sudah bertanya pada relasi-relasinya yang ada di Jakarta, barangkali menemukan psikolog terbaik untukku. Sedangkan aku? Mati segan, hidup tak mau. Enggak lah. Aku baik-baik saja. Aku merasa kedua orang tua ku berlebihan. Aku bisa konseling dengan dosenku di kampus kan? Mereka sudah dosen, pasti mereka juga bisa menolongku. Bahkan Sindi pun sudah sangat banyak membantuku.

"Ra, gimana kalau lo ikutin dulu aja apa kata nyokap lo," kata Sindi sambil mengutak atik laptopnya yang beralaskan buku statistika tebal milikku.

Kami sedang berada di kamarku. Sindi sibuk meneliti episode tv show korea yang akan dipertontonkannya kepadaku. Sementara aku berbaring dengan kepala sejajar disamping laptop milik Sindi.

"Kata apaan?" tanyaku.

"Ya katanya lo harus ketemu psikolog dulu. Lo ketemu salah satu psikolog aja, yang udah di list sama nyokap lo. "

Aku diam sejenak. Perlu banget ya kayak gini?

"Lo udah sampe panic attack. Lo yakin nggak mau tes atau periksa periksa apa dulu gitu?" tanya Sindi.

"Tapi kan cuma sekali doang. Lagian ini udah lima hari berlalu. Tapi gue nggak apa-apa," balasku.

"Iya sih. Tapi kalo lo kumatnya pas dijalan sambil bawa motor, gimana coba?"

"Ya berhenti lah," jawabku.

Sindi mendengus sebal.

"Ya kalau sempet. Kalau enggak? Lo jatuh, kena tabrak atau apa, gimana coba?"

Aku diam. Ya, Sindi ada benarnya. Hanya saja, aku masih merasa itu berlebihan.

"Pilih saja satu. Pak Hans itu juga katanya bagus sih. Seenggaknya lo priksa doang," kata Sindi lagi.

"Itu dokter kejiwaan. Gue nggak gila," balasku.

Sindi memundurkan kepalanya, kemudian menatapku. Dia benar-benar kelihatan serius kali ini. Nggak banyak ndagel kayak biasanya. Sepertinya dia benar-benar khawatir kepadaku.

"Ra, lo itu diputusin. Udah gitu gara-garanya cowo lo yang brengsek itu mau nikah dadakan karena ngehamilin anak orang. Gue tau itu beban yang amat sangat berat buat lo tanggung sendirian. Lo butuh orang lain buat nolong lo," kata Sindi.

"Kan gue masih punya lo, mama papa gue, Aliya kadang-kadang bisa diajak ngomong juga kok," balasku.

"Orang yang profesional, Ra. Orang yang bener-bener itu udah jadi kerjaannya buat nanganin masalah kayak yang lo adepin gini. Gue emang bisa nolong lo, dengan jadi temen lo, dengan support lo. Tapi beda Ra, penanganan profesional itu pasti lebih tepat sasaran. Gue cuma suporter buat hidup lo. "

"Gue nggak kena PTSD, Sin."

"Tapi lo kena panic attack. Apa gue nggak boleh khawatir sama sahabat gue?" kali ini nada Sindi lebih tinggi dari biasanya. Ia menutup laptopnya. Kemudian membereskan barang-barangnya.

"Please, Ra. You just have to go to psychologist. Running some test, habis itu gue temenin kalau emang lo harus terapi, konseling atau apa lah. Lo cuma perlu pergi ke psikolog doang, " ucap Sindi, lalu menutup pintu kamarku. Langkahnya terdengar menjauhi pintu kamarku.

Yap, Sindi marah. Ngambek. Karena aku tidak mau mendengarkannya. Ya begini lah kami berteman selama satu  tahun ini. Beberapa kali kami marahan, lalu berbaikan kembali.
Pertama kali kami bertengkar adalah karena guyonan Sindi yang ekstrem dan aku tersinggung. Namun kami berhasil berbaikan setelah dua hari tak saling bicara. Pernah juga Sindi membuatku kesal karena semingguan dia tidak memperhatikan aku. Sepele sih masalahnya, dia ikut gabung dengan komunitas anak Bekasi yang ada di Malang. Tapi ya begitu, aku seminggu penuh di cuekin. Entahlah, kami berbaikan begitu saja. Tapi kali ini Sindi yang marah padaku, padahal aku sesungguhnya butuh dia.

Mampu (s) Tanpamu	 (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang