Buleeee!

3.6K 258 6
                                    

Hari ini hari Jum'at, aku ada sesi konseling hari ini. Sesi konseling yang pertama. Aku belum berpengalaman dengan konseling. Dulu waktu SMA nggak pernah benar-benar konseling dengan guru BK, yang ada aku hanya mengeluhkan seputar pelajaran dan kegiatan osisku. Selain itu nggak pernah sama sekali.

Seperti janjinya, sahabatku yang konyol akan menemaniku di setiap sesi konseling. Aku benar-benar menagih janjinya untuk menemaniku. Tapi Sindi tidak benar-benar menemaniku, dia mengantarku, lalu menunggu di lobby.

"Gue sama Lio ya?" pinta Sindi dengan wajah memelas. Aku mengintip wajahnya dari cermin, karena Sindi duduk di belakangku.

"Yeee, lo kan janji nemenin gue," kataku sambil menyisir rambut. Sindi berguling di atas kasurku, lalu menendang-nendang kakinya ke udara. Gila, dia pikir dia bayi? Hahaha

"Ya kan gue juga nemenin lo, tapi gue sama Lio," katanya setelah menurunkan kakinya ke kasur.

"Enak banget dong, lo bisa sambil pacaran," kataku.

"Ayolah, Ra. Please. Lagian lo di dalem itu pasti lama, dan lo tega gue melongo sendirian di lobby kayak patung ayam jago?"

"Lo betina," balasku.

"Iya deh, gue betina, terserah. Tapi gue sama Lio ya? Ya ya ya?"

"Ya gimana ya, Sin? Lo kan udah..,"

"Duh, iya deh. Gue nggak sama Lio," potongnya sambil cemberut. Aku tertawa. Sebenarnya aku tak masalah Sindi mau dengan Lio kek, dengan Ares kek, atau siapa pun. Aku hanya menggodanya.

"Hahahaha, yaudah telpon Lio. Hari ini suruh dia jadi sopir pribadi gue," kataku.

Nggak perlu disuruh dua kali, Sindi sudah menekan tombol berbentuk gagang telepon warna hijau di ponselnya. Kemudian ia sibuk merayu pacarnya untuk ikut serta dalam kegiatan mengantarku konseling.

Aku berdiri dari dudukku, mengambil sling bag warna hitam lalu memasukkan dompet, ponsel, kunci rumah, bedak, dan lipstik ke dalamnya. Sindi menutup ponselnya. Wajahnya kembali cemberut.

"Napa lo? Bisa nggak sopir pribadi gue?" tanyaku. Sindi menggeleng.

"Lio ada kuliah sampai jam delapan malem," jawabnya lesu.

"Ya udah, lo aja yang jadi sopir pribadi gue," kataku.

Walau ada sedikit kekecewaan terlihat dari wajah Sindi, ia tetap menepati janjinya, menemaniku konseling. Kami keluar dari kamarku, mengambil kunci mobil di rak yang berada ruang keluarga. Kedua orang tuaku sedang keluar kota. Jadi mobil yang biasa dipakai mama bisa kupakai.

Aku memutuskan menyetir sendiri, mengingat kondisi Sindi yang kemungkinan bad mood. Dari pada dia menginjak gas terlalu dalam, kan? Bisa-bisa mati jadi perawan yang belum merasakan jadi suami orang aku nanti. Jadi lebih baik aku saja yang menyetir.

Aku melajukan mobil pelan menuju tempat praktek doktor Melissa. Tempatnya di daerah jalan Slamet. Di rumahnya, bukan di rumah sakit. Tapi rumahnya itu seperti disulap jadi klinik atau mungkin pusat rehabilitasi begitu. Ya bukan rehabilitasi sih, lebih ke terapi psikologis begitu lah, dan psikolognya nggak cuma bu Melissa saja, tapi ada satu orang yang lainnya. Jadi ya mirip klinik dokter begitu lah. Di depan rumahnya ada plang bertuliskan namanya, Melissa Christina, Psy. D. Lalu di bawahnya ada dua nama lainnya, yang salah satunya adalah dokter spesialis anak. Sedangkan yang satunya lagi psikolog juga, seperti doktor Melissa.

Aku memarkir mobil di seberang jalan. Sindi tampak masih sibuk dengan ponselnya. Entahlah, siapa yang dia hubungi, padahal Lio sedang ada kuliah.

"Lo jadi nemenin gue nggak nih?" tanyaku.

Mampu (s) Tanpamu	 (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang