Aku sudah mengunjungi doktor Melissa. Setelah melalui tes dan wawancara, doktor Melissa memberi tahu bahwa aku memang sempat mengalami gejala dari panic attack. Untuk kasusku masih belum parah sih, katanya. Karena aku masih sesak napas, pingsan, sulit tidur walau nggak selalu. Ada yang sampai benar-benar nggak bisa tidur, gemetar, keringat dingin, dan banyak juga gejala-gejala lain. Serangan bisa terjadi kapan pun dan di mana pun. Nggak pernah terduga, tergantung pemicunya. Kalau aku..., sepertinya aku tahu pemicuku apa, tapi aku tidak tahu apakah benar karena itu atau bukan.
Doktor Melissa menjadwalkan sesi konseling denganku seminggu sekali di hari Jum'at. Jika serangan semakin sering, mungkin jadwal akan berubah. Bisa jadi seminggu dua kali atau tiga kali. Doktor Melissa tidak menyarankan obat oral, karena kasusku sepertinya masih bisa ditangani dengan konseling dan terapi.
****
Aku memandangi ponsel yang menampilkan waktu di home screen. Hampir jam dua belas siang. Tapi dosen sudah meninggalkan ruangan sepuluh menit yang lalu. Perkuliahan sudah berakhir.Sindi yang duduk di sebelah kananku sibuk dengn ponselnya. Sementara Aliya yang duduk di sebelah kiriku sibuk membolak balik buku catatan, buku catatanku lebih tepatnya.
"Lo kenapa sih, Ra?" tanya Sindi, membuat Aliya ikut menatapku. Aku diam saja. Menghitung menit-menit menuju kegelisahan.
Ponselku bergetar, satu pesan masuk.
Ares: Bentar lagi aku jemput ya. Di kampus kan?
Sindi mengintip chat dari Ares di ponselku.
" Oh jadi itu, yang dari tadi bikin nggak tenang?" goda Sindi padaku.
"Kenapa, kenapa? Rara udah punya gebetan baru?" tanya Aliya.
"Hih, bukan gebetan tau. Ini temennya Sindi," jawabku.
"Iya, temen gue yang mau ngegebet lo," balas Sindi.
Aku berdiri dari dudukku. Sindi memindaiku dari atas hingga bawah.
"Lo agak pucet. Gak pake lipstik lo?" tanya Sindi.
"Pake kok," jawabku, lalu kembali duduk, mengambil bedak dan cermin dari dalam tasku. Ya benar sih, aku sedikit pucat.
"Aku bawa lipstik kok, Ra. Kamu mau pakai?" tanya Aliya sambil mengeluarkan dua botol lip cream berwarna pink cerah dan yang satunya lebih nude.
Aku memilih yang nude. Sebenarnya kalau aku mau pakai yang warna pink cerah pun tak masalah, karena warna kulitku putih, dan hari ini aku cenderung pucat. Jadi bisa kontras begitu.
Ponselku bergetar, lebih lama. Artinya ada yang menelepon. Nama Ares muncul di layar.
Aku mengangkatnya.
"Halo," sapaku.
"Hallo, Ra? Kamu masih di kampus kan?" gila, suara Ares berat banget.
"Eh, iya. Masih di kampus kok."
"Okay, aku jemput kamu ya sekarang."
"Okay," balasku. Lalu ia menutup telepon.
Aku kembali kepada lip cream Aliya. Lalu memoleskannya pada bibirku.
"Coba, sini lihat?" kata Aliya. Lalu aku menoleh sambil tersenyum pada Aliya.
"Hmm, bagus sih ra. Tapi masih agak pucet. Diombre aja ya sama yang ini?" kata Aliya sambil mengangkat botol lip cream warna pink cerah.
Aku mencoba menambahkan warna pink cerah di bagian tengah bibirku. Lalu memperlihatkannya pada Aliya."Nah, ini baru cantik," kata Aliya.
"Coba, liat sini?" kata Sindi. Aku menoleh ke kanan.
"Eh iya, kok bagus ya kalau dipake sama lo. Gue juga mau coba dong, Ya," kata Sindi meminta lipstik Aliya, kemudian membersihkan bibirnya dengan tissue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mampu (s) Tanpamu (COMPLETED)
RandomApa yang bakal lu lakuin, kalau lu diputusin pas lagi sayang-sayangnya? Diputusin di hari jadian lu berdua. Kan sakit, Maemunah! Highest rank #1 Malang #1 Mellow #5 Rara #5 Sakit Hati #9 Patah hati #10 Kuliah