Ter-nggak Jelas

3.3K 218 14
                                    

Aku melihat Jonas berjalan menghampiri tiga gadis yang tadi melabrakku. Sedangkan Ares turun dari mobil kemudian masuk ke dalam kafe, ia meletakkan tas ranselnya di kursi sebelah Aliya.

"Ada apaan sih, rame banget?" tanya Ares sambil melihat di tempat parkir.

"Itu, ceweknya si Bule habis ngelabrak Rara. Terus nggak tahu tuh, kayaknya diomelin sama si Bule," kata Aliya.

"Ngelabrak? Rara?" tanya Ares lagi. Aliya mengangguk, Ares kemudian melihatku.

"Lebay si Aliya, jangan dengerin,"kataku.

"Yee, emang ngelabrak kok! Apa dong namanya kalau nggak ngelabrak, orang pake nggebrak meja segala," seru Aliya ngeyel.

"Beneran?" tanya Ares lagi. Aku mengendikan bahu, Ares menatap Aliya. Aliya mengangguk. Ares hanya geleng-geleng kepala, berlalu. 

Ares kemudian masuk ke area karyawan. Entah apa yang dilakukannya, mungkin mengecek barang jualannya, mengecek pemasukan, atau apalah, aku tidak tahu.  

Aku, Sindi, Lio, dan Aliya kembali berbincang. Sibuk meledek pasangan yang baru jadian beberapa minggu ini dan meledek Aliya yang sedang menjalani Long Different Feelingship dengan lelaki pujaannya.

"Miranda," suara Jonas membuat mata kami berempat berfokus padanya. Ia berjongkok di samping meja, di sebelah kiriku. 

Astaga, mau apa lagi anak ini?

"Miranda, maafkan aku," katanya. Aku menatapnya datar. Aku tahu maksudnya, gara-gara tiga cewek berseragam putih abu-abu tadi marah-marah padaku, tentu saja.

"Vanessa bukan pacarku. Di hatiku ini cuma ada kamu, Miranda," katanya. 

"Terus kenapa cewekmu marah-marah ke sini?" tanya Aliya. Jonas berdiri, ia duduk di samping Aliya.

"Dia memang begitu, posesif. Padahal pacar juga bukan. Aku sudah bilang nggak mau jadi pacarnya, tapi dia maksa terus," kata Jonas.

"Halah, paling lo nggak teges sama tuh cewek," kata Sindi.

"Aku udah nolak dia berkali-kali, tapi aku juga nggak ngerti, kenapa dia nggak nyerah juga," balas Jonas.

"Ya itu berarti lo masih ngasih harapan sama dia," kata Sindi.

"Udah, lo pulang aja. Seragam belum ganti, nanti dicariin sama nyokap lo. Lagian kalau mau naksir Rara, gedean dikit. Masih SMA cari pacar yang SMA juga sana," tambah Sindi.

"Tapi Miranda mau kok, sama aku," jawabnya. Pede sekali dia, aku bergidik.

"Kata siapa?" tanyaku.

"Kataku," jawabnya.

Duh, anak ini halunya nggak ketulungan.

"Udah pulang sana," usir Sindi. Jonas menggeleng, ia tetap duduk di kursi sebelah Aliya.

Ares tiba di meja kami, ia menarik kursi dari meja lain, lalu meletakkannya di sebelahku. Ia duduk di sebelahku. Jonas mendelik, lalu berdiri.

"Ya sudah, aku pulang dulu," katanya. Kemudian mendekat ke arahku.

"Jangan selingkuh, kamu milikku," bisiknya padaku.

Ares mengalungkan lengannya di bahuku.

"Kata siapa?" tanya Ares pada Jonas.

Jonas tidak menjawab, lalu ia keluar dari kafe.

***

Pagar rumahku terbuka, kulihat ada sepeda motor KLX warna hitam terparkir di halaman rumahku. Sepeda motor milik Jonas. Aku tidak tahu bagaimana ia bisa menemukan alamat rumahku, atau di mana aku sedang berada. Mungkin ia memasang alat pelacak padaku.

Aku memarkir motor di dalam garasi, lalu masuk lewat pintu tembusan garasi dengan ruang santai keluarga. Aku mengintip ke ruang tamu, kulihat Jonas masih duduk di sofa ruang tamu ditemani oleh mama. Mama menyadari kedatanganku, lalu pamit ke belakang pada Jonas.

"Jelasin sama Mama!" todong mama begitu menarikku ke ruang santai keluarga.

"Apanya yang dijelasin?" tanyaku.

"Ya itu," tunjuk mama ke ruang tamu.

"Ya gitu, Ma," jawabku. Aku bingung harus bilang apa pada mama.

"Jadi sekarang selera kamu jadi bule? Ya nggak pa pa sih, Ra. Nanti cucu mama jadi lucu-lucu," kata Mama.

Aku menepuk dahi.

Ya ampun, mama sama Jonas mungkin serasi. Sama-sama ketinggian ngayalnya.

"Ya sudah, sana temuin dulu. Dari tadi dia nungguin kamu," kata mama.

Aku menuju kamarku terlebih dahulu, meletakkan tas dan mencuci muka. Lalu aku bergegas menemui Jonas yang sedang di ruang tamu.

"Hai," sapaku.

"Oh, hai Miranda," kata Jonas.

"Ada apa?" tanyaku sambil duduk di sofa.

"Kamu sibuk atau enggak?" tanya Jonas.

"Emm, sekarang enggak sih. Kenapa?"

"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Tadi aku sudah ijin dengan Mamamu. Aku janji akan pulangin kamu sebelum jam sepuluh malam."

"Memangnya mau ke mana?"

"Rahasia dong. Ayo, kamu siap-siap," katanya.

"Yah, tapi aku capek Jo," kataku.

"Oke, nggak apa-apa. Kita bisa ke sana lain kali. Tapi kamu tunggu di sini sebentar ya, aku mau keluar dulu. Tapi kamu jangan tidur," kata Jonas. Aku mengangguk. Jonas keluar dari rumahku, lalu kudengar sepeda motornya keluar dari halaman.

Tidak lama, mungkin sekitar lima belas menitan, suara motor kembali memasuki halaman rumahku. Jonas kembali, dan aku masih berada di ruang tamu. Menunggunya sambil memainkan ponsel.

"Miranda," sapanya begitu ia masuk. Ia duduk di sampingku. Lalu menyerahkan satu plastik kecil berwarna hitam.

"Ini buat kamu," katanya lagi. Aku menerimanya.

"Apa ini?" tanyaku sambil merogoh isi plastik. Tanganku menyentuh beberapa benda. Aku mengeluarkannya dari plastik.

"Koyo?" tanyaku sambil mengeluarkan dua bungkus koyo dari plastik. Di dalam masih ada lagi, entah apa itu.

"Iya, kan katanya kamu capek," jawav Jonas.

Aku menahan tawa. Baiklah, dia ini memang masih kecil, masih polos atau bagaiaman, aku tak tahu. Aku bilang capek hanya alasan agar tidak keluar dengannya saja sebenarnya. Tapi dia malah keluar dan kembali dengan dua bungkus koyo.

" Pasang di bagian badan kamu yang pegel. Biasanya aku lihat mbak Hesti, yang bantu-bantu mama di rumah itu, pakainya di leher belakang sama di pelipis. Katanya biar hilang capek dan pusingnya," imbuhnya.

Aku mengangguk.

"Okay, terima kasih. Nanti aku pakai sebelum tidur."

"Iya, jangan lupa dipakai. Aku sengaja pilihin yang panasnya sedang. Takut kamu belum terbiasa pakai koyo."

"Ya sudah ya, Miranda. Aku pulang dulu. Kamu istirahat. Lain kali aku ajak kamu ke tempat yang bagus. Dan tolong maafkan sikap Vanessa padamu tadi sore. Aku akan menasehatinya," kata Jonas. Kemudian ia berdiri.

"Sampaikan salamku untuk ibu mertua ya," katanya saat aku mengantar hingga ke ujung pintu. Dasar, bule gila.

Aku menutup pintu, saat aku berbalik hendak ke kamar, mama sudah siap di sofa. Ah sepertinya aku bakal dicecar pertanyaan oleh mama.

***

Tbc

Maafkan update lama. Lagi kehabisan ide. Wkwkwk. Enggak sih aslinya, lagi  bosen aja, dan pengen nulis cerita baru.

Sudahlah tidak penting curhatanku ini. Baca ceritanya aja ya.

Mampu (s) Tanpamu	 (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang