Sudah Seharusnya Sadar

27 1 0
                                    

Aku pernah mencintai, hingga tak lagi memikirkan kondisi hati. Kejujuran-kejujuran yang tertangkap, kubiarkan untuk mengendap. Tak kuacuhkan, kulayangkan segala bentuk penyangkalan, bahwa rasamu tak pernah bisa kumenangkan.

Aku tak menyadari, yang dipaksa terus, pelan pasti tergerus. Sebab itu, aku memilih beristirahat. Hanya untuk menepi kemudian kembali atau bahkan menjauh pergi sama sekali.

Mencintaimu, aku tahu keramnya patah hati. Sungguh, kalaupun bisa aku pasti memilih untuk tidak mencicipi lagi. Bukankah semua orang menginginkan bahagia?

Bodoh.

Bagaimana bisa aku bahagia jika yang kupikirkan perihal melupakanmu saja?

Oh, ayolah.

Aku hanya perlu berdamai dengan kenyataan. Lalu semua akan baik-baik saja. Setelah itu, kujamin tak akan lagi ada pertanyaan seputar mengapa dan kenapa. Tak akan ada lagi sesak yang mendekap erat, tak ada lagi isak yang tertahan kuat.

Aku hanya perlu menerima dengan tulus, bahwa jalanku tak sama dengan jalanmu, pun langkahku yang tak seirama dengan kiprahmu. Dan penantianku bukanlah sesuatu yang perlu.

Mudah bukan?

Aku hanya perlu bersyukur. Aku hanya perlu berterima kasih. Untuk segala sesuatu yang membuatku tetap berdiri. Untuk segala sesuatu yang membuatku tetap utuh, sekalipun aku bersikeras untuk jatuh.

Menilik ke belakang, menyaksikan kebahagiaan-kebahagiaan tanpa memikirkan kamu yang menjadi penyesalan. Melihat kembali tawa yang terasa melegakan, dan menyadarkanku bahwa aku mampu bahagia tanpa harus bersamamu.

28 September 2018

MemoarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang