Runtunan kenangan yang tersimpan itu menguar dalam wujud sesak. Ia ada, nyaris tak mungkin untuk tiada. Sebab itu, langkahku terasa payah. Berkali-kali tersaruk, hanya untuk menjaga agar hati tak kembali remuk.
Namun, seperti hulu yang selalu menuju hilir, rasa itu terus hadir membawa desir. Membawa senyum sekilas, menebas hatiku sesudahnya. Sempurna, rasa yang ku punya serupa pisau bermata ganda. Berada di posisi manapun, aku harus selalu menjadi seorang yang rawan dihancurkan. Bukan olehnya, namun oleh harapan yang ku bangun tinggi-tinggi.
Sebab itu, aku mulai menata hati. Menyiapkan diri untuk kepatahan yang akan lebih dari ini. Aku menyadari bahwa rasaku belum mampu ku lesapkan, dan hanya bisa ku lepaskan perlahan-lahan, sembari berpura-pura bahwa tak ada lagi rasa yang tersisa.
Pada batas antara kenangan dan kenyataan, aku hanya mampu melegakan hati. Berujar tanpa henti bahwa bahagiaku sebentar lagi.
Untuk seseorang yang ku kasihi sedalam itu, pada akhirnya aku memilih untuk beralih. Walaupun tertatih, meskipun melebihi batas letih.
31 Agustus 2018

KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar
Poetry[CERITA TIDAK DI PRIVATE] Mari ke sini, biar ku ceritakan bagaimana masa laluku bekerja sampai saat ini. Bagaimana luka setiap hari menyertai bahagia yang baru akan ku nikmati. Tidak masalah, akan ku jalani setiap resah pada rindu yang meminta sudah...