Di rumah Ranti tadi ada kebahagiaan, di rumah dokter Vidi, seorang lelaki mengamati lukisan yang ia pajang di belakang punggungnya. Rumah dokter Vidi sekarang di pugar sehingga agak lebih luas khusus untuk anak lelakinya yang satu ini.
Emran bersandar dengan agak susah payah. Lelaki ini masih merasa menyut di kakinya, tapi tetap di kuatkan. Emran menghilangkan rasa sakit dengan melukis. Di kala sakit, lelaki ini malah mendapatkan job untuk melukis.
"Huhhh... " Emran mendesah sendirian. Lelaki ini berjalan pelan menuju sofa dekat dirinya itu. Duduk sambil mengambil lap untuk tangannya yang tergores pensil lukis.
Emran memang terlihat menutup dirinya. Kakak kembarnya seminggu sekali mengunjungi dirinya untuk mengajak bercakap-cakap atau menawari dirinya untuk berjalan-jalan. Namun, Emran menolak kakaknya itu. Amran kadang kesal terhadap dirinya.
Emran sudah berjuang keras selama satu tahun terakhir untuk bisa berjalan. Proses penyembuhan kakinya ini sungguh mengurus emosi dan waktunya. Emran tiba-tiba teringat dengan wanita yang merawat dirinya ketika ia menjadi pribadi yang menyulitkan semasa proses penyembuhan.
Lelaki ini melemparkan pensil lukisan miliknya ke lantai. Wajah Emran mengeras, lalu meninggalkan ruangan tempat melukis dengan berderap marah ke arah kamar tidurnya di rumah ayahnya ini.
"Aku akan pulang ke Yogyakarta saja sementara waktu. Aku kesal berada di sini. Suara cerewet wanita itu tergiang terus di telingaku.. " gerutu Emran marah.
Emran menelepon ayah dan ibunya yang si Yogyakarta. Tepatnya om dan tantenya. Emran yang di asuh kedua orang itu sudah menganggap keduanya sebagai orang tua. Ayah kandungnya memang dokter Vidi, tapi omnya tetap ayahnya selama ini.
Lelaki ini melepaskan bajunya untuk mandi sore. Tubuh lelaki ini terlihat tidak terlalu berotot tapi sangat lentur dan kuat. Walaupun selama ini duduk di kursi roda, Emran tetap melakukan olah tubuh untuk mendapatkan tubuh yang sehat dengan bantuan dokter juga perawat cerewet itu.
"Lagi-lagi, wanita itu mengangguku.. " rutuk Emran sembari menghidupkan air shower.
Mandi dengan air dingin membuat pikiran lelaki ini agak tenang. Wanita yang di rutuk oleh Emran sudah tidak ada lagi di rumah ini sejak 3 bulan yang lalu semenjak dirinya sudah bisa berjalan sendiri. Ia sendiri yang tidak mau di rawat lagi oleh wanita itu.
Dengan rambut basah, tubuh Emran agak menggigil dan segera menyambar handuk untuk mengelap tubuhnya.
Suara mobil stop di depan rumah ayahnya Emran membuat lelaki ini bergegas mengambil baju. Mungkin kakaknya datang untuk berkunjung ke sini batin Emran senang.
Suara kakaknya terdengar di bawah sedang tertawa bersama ibunya. Well, tepatnya ibu Syarif, ibu tiri mereka. Emran tersenyum dan bersiap untuk menemui kakaknya.
"Semoga kakak memberikan kabar baik untukku perihal pekerjaan yang lain.. " gumam Emran lalu keluar dari kamar tidur setelah mengenakan pakaian pantas.
***
Burhan sudah menyelesaikan urusan berkas pengajuan pernikahan. Ranti juga sudah melakukan 'interview' perihal pertanyaan apakah sudah siap menerima Burhan dengan segala konsekuensinya sebagai seorang calon istri abdi negara. Seorang istri nantinya harus siap di tinggalkan jika sang suami pergi untuk bertugas, baik itu misi kemanusiaan atau berperang. Siap untuk menjadi seorang janda, jika sang suami tidak dapat kembali dengan selamat atau siap menerima suaminya jika sang suami kembali dengan keadaan tubuh tidak utuh.
Ranti awalnya gugup, tapi hatinya tahu ini semuanya sudah bagian dari kehidupan calon suami yang akan berdampak kepada dirinya jika ia menjadi istri seorang abdi negara.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALADA CINTA KAPTEN BURHAN {Geng Rempong: 10}
RomanceSeorang lelaki, abdi negara, Burhan Cahyadi Arifin. Tampan, mempesona, membuat para wanita klepek-klepek karena wajah juga pekerjaan lelaki ini masih dipandang sangat layak bagi kaum hawa. Ranti Wulandari Budiman, wanita yang membuka usaha bakery. C...