Apa yang kalian rasa saat pahit menimpa diri berbalut nestapa yang begitu menyiksa? Sakit bukan. Tapi kadang kepahitan adalah obat. Tak selalu pahit itu racun yang membunuh.
Contohnya adalah takdir. Tak semua duka yang Allah berikan adalah titik dimana kamu akan tenggelam dalam nestapa. Bisa jadi itu adalah cara-Nya untuk meningkatkan keimanan. Kuncinya adalah selalu mengingatnya, berdzikir dan istighfar.
"Umi?" Sorot mata bening yang kini sayu itu mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan cahaya yang menerjang manik yang lama tertutup.
"Iya, sayang. Umi disini." Sosok yang disebut Umi itu menggenggam tangan lemah anaknya. Sorotnya begitu sendu menatap anak tunggalnya harus terbaring di ranjang rumah sakit selama beberapa hari ini.
"Maaf merepotkan, umi dan abi. Pasti umi, abi, capek jagain Fifah disini, iya kan umi?"
"Nggak, sayang. Umi sama abi nggak merasa direpotkan. Kamu kesayangan kami. Umi sayang sekali dengan Afifah, syafakillah, sayang." Ucap umi, seraya mengecup dahi Afifah sesekali.
Pintu berdecit, terbuka, menampilkan sosok bijaksana nan tampan diusianya yang semakin bertambah. Disanalah seorang lelaki cinta pertama seorang anak tengah berjalan menghampiri dua wanita kesayangan.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam."
"Gimana kondisi anak Abi? Sudah baikkan?"tanyanya sambil mengusap puncak kepala sang Anak
"Alhamdulillah, Fifah merasa baik abi. Sangat baik, karena selalu didampingi malaikat dan bidadari." Senyum haru ditampilkan kedua orangtua Afifah.
"Abi, Fifah sudah sehat. Jadi kapan kita pulang kerumah? Fifah nggak nyaman disini terus."
"Nanti abi bicarakan sama dokter ya, Nak." Afifah mengangguk setuju. Lengan kecilnya memeluk sosok Abi nya. Erat sekali, seolah ingin menguatkan diri atas apa yang dia alami.
Sampai pelukannyapun mengendur ketika pintu dibuka, memperlihatkan pasangan seumuran orangtuanya berdiri diambang pintu tersebut.
"Bunda?"lirih Afifah ketika matanya mengangkap seorang wanita yang begitu mirip dengan sahabatnya.
Keduanya mengucapkan salam, lalu berjalan mendekat pada keluarga kecil itu.
"Bagaimana kondisi mu sekarang, Nak?" Tanya Hilda pada gadis berjilbab biru laut itu
"Alhamdulillah, Baik, bun. Bunda dan ayah bagaimana?" Tanyanya sopan.
"Bunda, baik, sayang." Sementara para wanita berbincang ringan di ruangan putih, kedua pria kepala keluarga itu memilih duduk di sofa tak jauh dari mereka.
"Bunda, Nazla apa kabar? Afifah rindu." Ruang yang tadinya ramai akan obrolan itu, seketika menjadi senyap.
Hilda mengelus puncak kepala gadis sebaya anaknya dengan sayang.
"Naz baik, Fah. Dia juga merindukan sahabat shalihahnya ini." Afifah tersenyum canggung. Masihkah pantas dirinya disebut sebagai sahabat?
"Maaf membuat anak bunda sakit hati." Hilda mengerjap menatapnya. Lalu menatap seorang yang menggenggam tangan Afifah.
"Nggak. Afifah anak yang baik. Afifah nggak menyakiti Nazla,"Sinta menggenggam jemari gadis tersebut,"apa yang sudah menimpa hidup kita itu takdir Allah, sayang. Afifah nggak boleh nyalahin diri sendiri terus ya. Bunda tau, Afifah adalah gadis yang kuat dibalik lemah lembutnya kamu."
"Terimakasih, Bunda."
Afifah memang sudah dekat dengan orangtua Nazla begitu pun sebaliknya. Nazla pun telah menganggap orangtua Afifah seperti orangtuanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Indah Dari-Nya
SpiritualKenangan yang menyakitkan dapat membawa mu kepada luka yang begitu mendalam yang sulit untuk disembuhkan. Namun bukan berarti luka itu tidak akan sembuh bukan? Mereka akan selalu ada untukmu, membantumu menyembuhkan luka itu. Bukan menghapus kenang...