"Afifah! Bangun nak. Lihat umi. Ini umi, sayang. Buka mata kamu." Seorang wanita paruh baya menangis histeris sambil mengguncang jasad putrinya yang terbujur kaku di ranjang rumah sakit. Sedang disampingnya, seorang lelaki tengah mengusap bahunya, tak elak juga lelaki itu meneteskan air mata.
Hari ini begitu menyakitkan bagi sepasang suami istri yang berumur setengah abad itu. Putri semata wayang mereka telah tiada.
Tidak ada lagi wajah ceria putrinya yang dapat mereka lihat, tidak ada lagi senyum penghibur lelah keduanya, tidak ada lagi putri yang selalu menjadi kebanggaan mereka. Tidak ada!
Allah telah mengambil apa yang mereka banggakan. Seorang putri yang diamanahkan Allah, telah diminta untuk kembali.
Hilda terus saja menciumi wajah putrinya. Seakan tidak rela bahwa putrinya harus berpulang. Padahal dia tahu betul, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Tapi tetap saja kepergian bukan hal mudah yang dihadapi manusia.
Zaki berusaha tegar menghadapi musibah yang menimpanya. Bagaimanapun dia harus kuat, karena dia adalah sandaran bagi istrinya. Tidak mungkin dia menangis meraung raung seperti yang istrinya lakukan. Istrinya butuh sandaran, dan dia adalah sandaran bagi istrinya. Cukup menangis dalam batin. Dia harus memberi dukungan untuk istrinya.
"Sudah umi, ikhlaskan."ujarnya pada sang istri
"Afifah belum pergi abi. Putri kita hanya tidur. Nanti dia juga akan bangun." Ucapnya dalam isak tangis. Tak henti hentinya ia memeluk dan menciumi wajah putrinya.
"Istighfar umi, Afifah sudah tiada. Allah telah memanggilnya pulang." Zaki menarik pelan tubuh istrinya, membawanya dalam pelukannya. Tak lupa juga ia bisikan kalimat istighfar pada telinga Hilda.
"Afifah abi, Afifah."lirihnya sendu
"Ini sudah jalannya umi. Jangan seperti ini, biarkan Afifah pergi dengan tenang."
"Abi akan mengurus jenazah Afifah. Umi tunggu disini ya?" Zaki melepaskan pelukannya dan memanggil saudarinya untuk menemani Hilda.
Zaki berlalu keluar ruangan untuk mengurus administrasi, agar jenazah putrinya dapat segera dia bawa pulang dan dimakamkan.
Baru saja membuka pintu ruangan, kerabat Zaki terlihat begitu banyak yang berada diruang tunggu. Ada adiknya, sepupunya, sahabatnya, dan orangtuanya. Mereka menghampiri Zaki dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Afifah.
Tak ada air mata yang turun dari sorot bijak itu. Dia bahkan tersenyum menanggapi mereka. Bukan tak ingin menangis, hanya saja Zaki harus belajar mengikhlaskan putrinya.
🍁🍁🍁
Kini bendera kuning telah terkibarkan di halaman rumah keluarga Zaki. Para jamaah ta'ziah mulai memenuhi kediamannya.
Suara isak tangis memenuhi penjuru ruangan, juga dengan suara lantunan ayat suci yang mereka baca.
Ini benar benar mimpi buruk dalam keluarga Zaki. Anaknya benar benar berpulang pada pencipta. Tubuh indah itu kini telah terbungkus kain kafan. Hanya tinggal wajah saja yang belum tertutupi.
Ditengah kelabunya suasana, suatu keluarga datang dengan wajah yang sedih pula. Bagaimanapun gadis itu telah dianggap sebagai putri mereka.
Seorang wanita yang agak muda dari Hilda mendekat kepada soaok Hilda yang terduduk di samping jenazah Afifah diikuti kedua gadis yang ada dibelakangnya. Dia memeluk Hilda dengan erat, memberi kekeuatan pada Hilda agar ikhlas melepas Afifah untuk selamanya.
Hilda hanya tersenyum tipis pada wanita itu. Pandangannya beralih pada seorang gadis yang menatap kosong kearah janazah putrinya, dengan air mata yang mengalir pada pipi putih gadis itu. Kemudian Hilda menundukkan kepalanya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Indah Dari-Nya
SpiritualKenangan yang menyakitkan dapat membawa mu kepada luka yang begitu mendalam yang sulit untuk disembuhkan. Namun bukan berarti luka itu tidak akan sembuh bukan? Mereka akan selalu ada untukmu, membantumu menyembuhkan luka itu. Bukan menghapus kenang...