Dua gadis saling terdiam di sebuah kamar yang didominasi warna hijau pupus. Gadis dengan hijab biru muda itu hanya menunduk dengan perasaan yang berkecamuk, sedang gadis berwajah pucat itu meremas tangannya gelisah.
"Na...Naz." Ucap Afifah lirih tanpa mengangkat kepalanya.
"Maaf." Ucap Nazla spontan, Afifah mengangkat kepala dan menatap sahabatnya.
"Maaf, aku yang egois. Jodoh, maut, rezeki, itu adalah takdir Allah, kan? Tapi aku dengan angkuh dan egoisnya nggak menerima takdir-Nya dengan baik. Maaf, untuk membuatmu seperti ini." Nazla menatap wajah pucat Afifah yang tetap cantiknya.
"Tapi, aku pergi bukan sepenuhnya karena perjodohanmu dan Azka. Ada mimpi yang harus aku kejar dan ada yang harus kuhapus di sini. Traumaku. Kamu tahu kan, kepergian kakakku membuat aku kehilangan dan takut yang berqlebihan. Aku berpikir, mereka yang di dekatku pasti akan celaka, Fah. Merenung, menyendiri, dan menangis, itu yang selalu aku lakukan. Tapi, perlahan kamu masuk dan membawaku membaik perlahan-lahan. Meski sulit, tapi kamu tetap setia dan sabar." Nazla mengulas senyum, dan menggenggam tangan Afifah yang tampak kurus saat ini.
"Kamu seseorang yang rela berbagi denganku, Fah. Kamu yang mengajari aku banyak hal dan membawaku sampai di sini. Kamu orang yang benar-benar berarti, bukan hanya sebagai sahabat tetapi saudariku juga. Begitu bodoh jika hubungan kita harus rusak karena lelaki. Jodoh sudah diatur, jika dia bukan jodohku pasti Allah menyiapkan jodoh lain untukku." Afifah menitikkan air mata yang segera dihapus oleh Nazla.
Afifah lantas memeluk Nazla dengan erat dan terisak. Nazla bahkan turut menitikan air mata namun segera diseka oleh tangannya.
"Maaf karena aku juga egois sebagai seorang sahabat, Naz. Andai aku bicara sama kamu sejak awal, pasti kita nggak begini." Nazla mengusap punggung Afifah, gadis itu terus menggumamkan kata maaf.
"Lanjutkan jika hatimu mantap dengannya. Aku ikhlas, dia bukan milikku." Bisik Nazla lalu melepas pelukan Afifah dan tersenyum.
"Tapi..."
Nazla menggeleng, "aku ikhlas, sungguh, Fah." Nazla meyakinkan.
Mimpi tempo lalu membuat Nazla menginjakkan kakinya untuk datang ke rumah Afifah. Melapangkan hatinya dan meyakinkan diri untuk menyelesaikan kerumitan pada mereka. Hubungan yang dulu baik, tak boleh rusak, kan? Maka dari itu Nazka berusaha mempertahankan hubungan mereka meski harus melepaskan yang lain.
♥️♥️♥️
Hari berganti hari, waktu terus berputar mengantarkan Afifah dengan kesembuhannya tentu dengan didampingi oleh Nazla, sahabatnya. Selama libur ini, Nazla menghabiskan waktu dengan menemani Afifah, bercerita, jalan-jalan, bahkan pergi ke majlis taklim bersama. Melakukan hal-hal yang dulu mereka lakukan.
Hari ini awan kelabu menghiasi langit. Nazla duduk di ruang televisi dengan ditemani satu toples camilan buatan bundanya.
"Gimana kabar Afifah, Dek?" Tanya bunda.
"Alhamdulillah baik, Bun. Besok dia mau ke sini. Bunda harus buat makanan banyak ya." Tutur Nazla yang dibalas kekehan Bundanya.
"Bunda buatin makanan banyak-banyak, biar kalian gendut." Jawab Bunda yang membuat Nazla memberengut.
"Capek diet aah. Liburan makin berisi karena masakan bunda."
"Itu karena kamu aja makannya suka khilaf." Sela seseorang yang baru saja bergabung dengan mereka berdua, Nadhira.
"Huu mba, aku cuma makan dikit kok." Bela Nazla.
"Mana ada dikit. Kue satu toples aja abis sendiri." Nazla cemberut manja sedang bunda dan Nadhira tertawa.
Sudah lama canda tawa itu hilang dari hidup Nazla setelah memutuskan untuk pergi melanjutkan pendidikan ke luar kota. Kini terbayar sudah penantian, rindu dan kesabarannya. Bisa berkumpul dengan keluarga adalah hal terindah bagi siapapun.
"Naz..."panggil Nadhira. Nazla menyahut dengan gumaman. Dia merasa aura serius dari nada bicara kakak perempuannya kali ini. Sehingga dia meletakkan toples camilannya ke meja depannya.
"Soal Azka dan Afifah, gimana?" Tanya Nadhira. Nazla menghela napas sebelum menjawab, sudah ia duga pasti ini yang akan dibahas.
"Nazla sudah bahas dengan Afifah, Mba. Naz ikhlas, dari awal aku dan Azka hanya sekadar teman. Dan hubunganku dengan Afifah jauh lebih berharga jika dihancurkan hanya karena seorang lelaki." Jawab Nazla mantap membuat bunda mengulas senyum bangga atas kelapangan hati anak bungsunya.
"Allah menyiapkan jodoh setiap hambanya. Naz mau belajar dulu, memantaskan diri untuk jodoh Naz dulu." Sambung Nazla diakhiri dengan segaris senyum hangat.
"Naz merasa sedewasa ini deh kalau lagi bahas perihal lelaki. Padahal bagi ayah Naz masih kecil." Sahut seseorang dari arah melakang ketiga wanita berbeda usia itu.
"Ayah..." Nazla memeluk sang Ayah yang bergabung duduk di sebelahnya.
"Kalau memang bukan jodoh, ya ikhlaskan. Allah menyiapkan lelaki yang lain, yang lebih baik untuk kamu. Percaya, semua ketetapan-Nya yang terindah. Sekalipun hal itu diluar rencana kita sebagai manusia karena ketetapannya hanya pada-Nya." Nazla mengangguk.
"Nggak nyangka kamu sudah sebesar ini, bertemu lelaki yang singfgfah dihatimu bahkan memiliki rasa lebih. Padahal ayah ngerasa cemburu kalau kamu mikirin lelaki lain." Canda Ayah membuat mereka terkekeh.
"Bunda juga nggak nyangka bungsunya bunda sedewasa ini."
"Ayah, jangan cemburu. Tetap ayah cinta pertama Naz sama mba kok. Cinta nya bunda juga hehe. Tetap ayah yang nomor satu."
"Makasih ayah, bunda, mba, dari kalian Naz belajar arti ikhlas, tabah untuk melepas, dan sabar dalam menghadapi masalah. Kalian selalu menyadarkan Naz kalau Rencana Allah yang terindah bagi kehidupan hamba-Nya." Ucap Nazla menitikan air mata haru dan senyum bahagianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Indah Dari-Nya
SpiritualKenangan yang menyakitkan dapat membawa mu kepada luka yang begitu mendalam yang sulit untuk disembuhkan. Namun bukan berarti luka itu tidak akan sembuh bukan? Mereka akan selalu ada untukmu, membantumu menyembuhkan luka itu. Bukan menghapus kenang...