Bakda shalat isya' langgar Al-Fatah yang merupakan milik sekaligus diasuh Kyai Misyar memuntahkan dua puluh empat manusia mungil dari dua mulut pintu di kanan dan di kiri. Langgar itu berlantai keramik putih susu. Langgar itu memiliki jendela kaca lebar di tengah-tengahnya menghadap ke timur. Bocah-bocah riuh rendah menghambur ke halaman langgar tanpa hirau perintah jangan gadung dari sang kyai saat keluar langgar. Pesan sang empunya, tadi, disampaikan persis sebelum melantun doa penutup majelis dan doa keluar langgar. Namanya anak-anak, gaduh adalah kegandrungannya. Dan masih pantas. La wong anak-anak. Kalau orang tua yang tidak patut bergaduh.
Kami berdamar langsung sinar rembulan, para bocah ini berpencar menuju sarang masing-masing. Ada yang ke utara, ke timur, selatan, dan ke barat. Aku bersama enam sejawatku berlarian membelah jalanan tak rata yang berlubang di dusun kami. Kami berjalan ke selatan dari langgar, di perjalanan kami sambil berkisah satu sama lain tentang apapun sekenanya.
"Assalamualaikum. Emma'(Ibu, bahasa Madura) aku datang," Aku berteriak sesampainya di mulut pagar halaman rumah di Dusun Kopao Desa Lobuk Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep, Madura. Sebuah dusun yang sejuk yang teradem di seantero bumi persada ini. Itu kubanggakan lantaran Allah SWT memudahkan aku nyelonong dari perut bidadari terjelita melewati pintu rahimnya, waktu silam.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakuh." Emma' menyahut. Perempuan paruh baya berbadan agak gemuk itu bangkit dari duduknya di beranda rumah lalu menyambutku.
Kucium tangan Emma'. Emma' mendekapku erat di beranda rumah kami, rumah joglo khas Madura. Ubun-ubun dan kedua pipiku diciumnya lekat-lekat oleh Emma'.
Waktu itu, aku tak terlalu faham apa maksudnya mengapa Emma' mendekap dan menciumku lekat-lekat. Hanya aku merasa Emma' begitu besar cintanya padaku. Indikatornya satu, kami merasa sentosa bila bersama.
Para orangtua rekan-rekanku kurang lebih sama dengan Emma'. Mereka menunggu anak-anak emasnya yang tengah berkelana menyuluh alif, ba', tza' dan seterusnya. Kami berangkat ke langgar berbarengan dengan matahari meminta diri kala senja di ujung barat.
Setiap hari sepulang kami dari mengaji dari langgar selalu begitu.
Kami hanya berdua di rumah itu, namun di depan dan kiri rumah kami ada kakak dan adik perempuan Emma' di satu taneyan lanjhang (halaman panjang). Lalu Emma' menjulurkan tangannya meminta apapun yang biasanya aku langsung kasih dari sepulangku mengaji, usai melepas pelukannya. Diterimalah kopyah hitam dan tas kresek orange bertulis Toko Dewi Rejeki berisi mushaf al Qur'an juz 1 dan tasbih putih tulang pemberian alm. Kaeh (kakek dalam bahasa Madura) kami.
Emma' meletakkan tas dan kopyahku tak jauh darinya. Lalu ia mengajakku duduk masih di beranda. Aku menurut. Dan seperti biasa di teras rumah yang menghadap ke selatan itu aku mulai merebahkan kepalaku ke haribaan Emma'. Dan ini aku suka. Tangan kiri Emma' cekatan mengelus kepalaku sambil menceritakan apa saja yang mau dia ceritakan. Dan tangan kanannya tidak menganggur. Ia letakkan di lenganku sambil memberi pijatan ringan. Di tengkukku, di leherku, di kepala, betis, dan pangkal kaki.
"Mohammad Maziz Amin, anakku.... Sehatlah selalu ya, Nak." Seru Emma' sambil memijat betisku. "Jadilah pemimpin yang menjunjung tinggi kemuliaan dan kejujuran sebagimana namamu ya, ganteng."
Aku merem, menikmati jalaran jemari Emma' yang mulai merangkak ke arah telapak kakiku. Lalu berpindah ke lengan kananku.
"Tangan ini harus kokoh. Jangan mudah lelah saat menulis pelajaran, saat berbuat kebajikan, saat berkeja kelak. Tangan ini harus menjadi penolong Emma' suatu saat nanti," katanya sambil tersenyum menatapku lalu segera mendangakkan kepalanya melihat bulan dan kelap-kelip bintang yang bertaburan di angkasa.
Mata Emma' berkaca-kaca. Ada koloni embun di balik pelupuk matanya. Sejak kala itu, aku hanya berfikir satu hal. Bila Emma' bahagia pasti menangis. Kulihat saat Kaehku meninggal, Emma' juga manangis.
"Kok Emma' menangis?" tanyaku.
"Emma' tidak .... Emma' ini bahagia, Conk (Nak. Panggilan atau sebutan untuk anak laki-laki dalam Bahasa Madura)," ucapnya. Lalu menyeka airmatanya sendiri.
Kami menikmati malam yang langitnya bermandikan bintang dengan rembulan yang mesem sangat manis. Kampungku sunggulah asri. Bila malam macam sekarang ini aku termat gandrung dengan musik alam. Jeritan manja jangkrik, shalawatannya katak, juga aroma asap yang menyembul dari pembakaran calattong (Kotoran sapi, Bahasa Madura) di tegal-tegal kami.
"Saat Kaeh meninggal Emma' juga bahagia? Kan Emma' paling keras menangis dulu itu." tanyaku sekenanya.
"Iya...." Emma' menggigit bibirnya seperti menahan pilu. Tangannya menepuk-nepuk ubun-ubunku dengan lembut. "Karena Emma' tahu, Kaehmu bukan mati terus lenyap dari alam semesta ini. Beliau hanya pindah tempat. Kaehmu dibawa Allah langsung ke surga.
"Orang seperti Kaehmu, yang lembut hatinya. Kalau ada di rumah kami tenang, kami nyaman, kami tenteram. Dan bila tidak ada di rumah beliau selalu hadir di mimpi Emma. Kata-katanya mengandung ilmu. Yang dikatakan pasti kebaikan. Tak pernah merepotkan kami. Kaehmu insya Allah sejak saat itu langsung masuk surga, Cong," Emma' menjelaskan dengan mantap.
Aku yakin apa yang dikatakan Emma'ku benar. Orang baik pasti masuk surga. Keyakinanku karena dipertegas oleh guru ngajiku Kyai Misyar. Katanya, surga hanya menampung orang-orang baik. Sedangakn di neraka adalah tempatnya orang buruk, buruk tutur tindak tanduknya dan yang jelas buruk hatinya. Masih kuingat Kyai Misyar menjelaskan siapa-siapa para penghuni surga dan neraka,
"Yaitu yang rajin bersedekah, rajin menahan diri, bersabar, ikhlas, penuh semangat untuk bermanfaat di muka bumi ini, suka senyum dan menyenyumkan orang lain, dan selalu menjaga shalatnya."
"Kyai Misyar nggak nyebut yang di surga ada orang ganteng, Ma'? apa semua penduduk surga nantinya bisa otomatis ganteng?" aku bangun dari rebahan Emma' dan menegadahkan wajah ke dekat wajah Emma'menunggu jawaban atas pertanyaanku itu.
"benar. Kamu sudah bintang di hati Emma', Cong. Buat apa ganteng lebih lagi?" jawab Emma' lembut lalu mesem.
Memang sejak dahulu kala, kata Emma' sejak aku mulai bisa ngomong sekitar usia tiga tahun, aku selalu berkata ingin menjadi orang ganteng. Hanya saja Emma' agak melarangku. Katanya, cukup jadilah orang baik. Tidak usah ganteng.
"Kalau kamu ganteng, bisa jadi kamu akan banyak mengundangkan fitnah dalam hidupmu." Emma' mengucapkan itu sambil mengacak-ngacak rambut di sisi ubun-ubunku. "Emma' lebih bangga bila kamu jadi manusia yang baik, yang kebermanfatanmu lebih banyak selama hidupmu."
Dan aku menganggut saja, patuh.
"Lakukan kebaikan sekecil apapun, karena engkau tidak pernah tahu kebaikan mana yang akan memasukkanmu ke surga (HR Hasan Al Bashri. Adalah ulama dan cendikiawan yang hidup pada masa kekhalifahan Umayyah, tahun 642M. Hasan Al Bashri bayi pernah menyusu kepada Ummu Salamah istri Rasululloh)." Ucap Emma' lalu menjewer kedua perut pipiku yang gendut sambil digoyang-goyangkan saking gemesnya.
-00-
Emmak menjewer kedua perut pipiku yang gendut sambil digoyang-goyangkan. Lalu dicuiminya aku. Kami berpelukan erat di depan gedung utama Auditorium Garuda di kampus kami. Adegan ini kami lakukan seusai prosesi wisuda bersama riuh redam ribuan manusia di arena itu.
"Selamat ya, Cong. Semoga ilmumu barokah."
"Aamiin yaa Allah, Terima kasih, Ma'."
Setelah dengan Emma' aku bergilir ke seonggok tubuh kurus tapi kokoh di samping Emma'. Dialah Eppa' (Bapak dlam bahasa Madura) ku. Kupeluk dia dengan erat.
Beberapa pasang mata memandangku kami lekat-lekat.
-00-
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Nikah
Romance(KOMPLET) Pemuda pekerja honorer akhirnya digdaya setelah memutuskan menikah. Allah swt mengado pemuda honorer --yang gajinya pas buat bayar kontrakan-- sebuah pekerjaan mulia dan ditempatkan di luar negeri tepat di momen bulan madunya. Sila dalami...