Akhir Rihlah Cinta

268 8 0
                                    

"Ketakutan terbesar dalam hidupku bukan jika aku kehilanganmu, Dik. Tapi, jika aku melihatmu kehilangan kebahagiaan. Aku sudah ditungangin dengan pilihan Emma', Dik. Aku harus memenuhi kewajibanku sebagai seorang anak. Maaf ya, kita harus ikhlas." Kataku pada suatu sore di taman tugu kota.

"Seperti yang pernah aku bilang dulu, siapapun yang menyakitimu, akan kubinasakan dia. Ini janjiku, janji orang Madura pantang dihapus, pantang hangus, pantang berlaku surut." Ucapku seolah ada mahluk tak kasat mata yang mendikteku. "Sehingga jika kamu sakit hati karena ini, oleh sebab kita harus berpisah, maka aku harus membinasakan diriku sendiri, Dik." Imbuhku entah siapa yang membisiku.

Dia diam. Kami diam. Ada sengatan listrik luar biasa yang menggetarkan hati kami. Dik Tasnim Amani Havika, nama panjangnya, dia adalah pacarku. Dan dialah yang paling tidak tahan mendengar pernyataanku. Airmatanya meleleh tak beraturan sesaat setelah diam. Tatapan nanar entah memandang ke mana ke siapa, mengarah ke timur.

"Ijinkan aku menjadi lilin, Mas?" dia mengajukan pernyataan aneh "Kutunaikan tugasku dengan sempurna, lalu lenyaplah aku." Katanya sedih.

"Jangan ngawur kamu, Dik Tasnim Amani. Itu tidak benar meski ada sedikit baiknya," kataku yang mulai merebah di hamparan rumput. Lalu dia, menyusulku menaruh punggung dan kepalanya di hamparan rumput. Kepalanya di dekatkan di kepalaku. Badan kami saling simpang. Bukan berjajar. Hanya kepala yang berdekatan, tubuh kami yang satu ke barat satunya ke timur. Kakiku yang di timur.

Dik Tasnim Amani adalah pacarku, sudah hampir empat tahun kami memadu cinta tak halal ini. Meski begitu, kami saling menjaga, meski aku yang paling harus menjaga dia yang ngalem, manja, selalu ingin diperhatikan, ingin selalu diantarkan kuliah, ditemani belanja, ditemani menghadiri pesta ulang tahun temannya yang aku tidak kenal, dan akulah pacar mirip bodyguard-nya. Dan akulah yang harus super sabar menghadapinya. Tapi dia amat baik juga. Seusinya yang terpaut empat tahun denganku dia sangat murah hati, murah senyum, dan nirpamrih. Aku kadang merasa dia bukan pacarku, dia lebih dari sekadar adik kandungku. Karena itu, bahkan semut yang menancapkan moncong congor-nya pun ingin aku ajak berkelahi bila mengganggunya.

Dia saat ini masih mahasiswa aktif di kampusku juga, Universitas Muhammadiyah Malang. Dia jurusan akuntansi, kini semester empat. Aku mengenalnya dan kami saling jatuh cinta sejak dia SMA Kelas 3. Dia anak juragan buah di Pasuruan yang di mana di sanalah kami pernah melakukan praktik kerja industi di masa aku kuliah.

"Sudahlah, kalau kamu jadi lilin, itu tak hanya menyakitimu, tapi merusak aku juga. Ayo jadi manusia normal saja. Cinta kita bukan cinta halal. Harus tahu batasnya. Bila kamu menyerahkan mahkota paling berharga dalam hidupmu lalu kalau kamu hamil tak lantas orangtua kita akan ridho pada kita, Dik.

"Malah kemungkinan besar kita akan dicampakkan. Kita akan dibuang atau kita dirajam. Naudzubillah. Kasihan orangtua kita mati-matian mencari nafkah untuk kita tapi akhirnya kita menempuh jalan yang paling nista. Senjalah guru kita, Dik."

Aku mengangkat tanganku ke udara. Telunjukku menuding ke mega-mega warna jingga di tebing barat sana. "Senja mengajari kita bahwa semua akan berakhir sejenak, karena esok hari dunia akan kembali cerah. Itu jaminan kebahagiaan, Dik. Kalau kamu tak bahagia sama aku hari ini, besok pasti kamu bahagia dengan lelaki sholih yang lain."

Tak terasa sudut-sudut mataku sudah menetes manik airmata. Ia mengalir menyusuri pipi kanan dan pipi kiriku.

"Di sini, di taman ini selalu ada tangis, ada tawa, ada perih, ada letih, ada kita dan ada rindu. Ini semua adalah alasan agar kita tak berpisah, Mas." Dia menahan bulir-bulir kristal di pelupuk matanya.

"Pegang janjiku, Dik."

"Apa mas? Di saat-saat begini masih tega kamu menaruh janji di bilik hatiku?"

"Ini janji lain, Dik. Aku akan buang semua bagian sedih dan yang menyakitkan di antara kita. Yang akan tetap aku taruh di bilik hatiku hanya menyisakan semua bagian yang indah selama kita bersama. Iya, yang indah saja. Suatu hari nanti jangan larang nurani kita bila tersenyum apabila teringat tentang kisah kita berdua.

"Mohon jangan ada dendam. Ini adalah perpisahan terindah kita, Dik. Aku dan kamu Jika memang jodoh, Allah akan mempertemukan kita bahagia di jalan yang berbeda. Mungkin begitu."

"Sebenarnya, Mas kenapa mau meninggalkan aku? Jawab jujur mas."

Dia duduk menaruh punggungnya pada tiang lampu di tengah hamparan rumput. Aku pun mengangkat kepala dan badanku. Kuraih tangannya lalu kutatap bulat rona matanya yang masih digenangi air.

"Emma'ku ingin aku segera menikah, Dik. Maaf. Ini pasti sangat menyakitkan. Sudah empat tahun kita bersama, aku yakin aku mencintaimu. Dan kamu juga. Tapi Allah punya jalan lain,"

"Aku istrimu, Mas. Kamu tidak mau?"

"Bundamu masih memimpikan kamu harus jadi PNS atau bahkan bankir yang sukses, Dik. Sudah itu baru boleh menikah, bukan? Itupun belum tentu Bundamu mengiyakan aku yang jadi pengantin prianya."

"Jangan membuat seolah aku yang paling bersalah, Mas."

"Tidak. Ya aku yang salah, Dik. Aku yang tak sempurna. Pekerjaan tidak jelas, kontrakan nunggak, makan seadanya. Ya jelas aku yang parah."

"Maaf, Dik. Kita agaknya semakin lama bersama hanya semakin mengulur waktu untuk makin sakit. Aku ingin banget kamu bahagia, Dik. Meski untuk itu kamu takharus denganku. Mungkin sekali lagi Allah tidak menulisakan kita di server lauhful mahfudz. Kamu pasti berjodoh dengan orang lain. Aku yakin kamu akan bahagia."

"Kamu ini, ular bukan, ikan pun bukan (Peribahasa yang bermakna: belum dapat dipastikan jahat atau tidaknya seseorang), Mas. Katakan yang sebenarnya, kamu sengaja mau ninggalkan aku? Katakana?"

"Tidak, Dik. Demi Allah."

"Lalu kenapa kit harus berpisah?"

"Aku dijodohkan, Dik."

"Kamu pasti tidak kuat kalau kita berpisah jauh. Nah, biar kamu tetap bahagia kamu silahkan cari orang lain yang lebih ganteng dan lebih kaya daripada aku yang miskin dekil ini."

"Kamu ngomong apa, Mas."

"Apa aku pakai Bahasa Arab? Sehingga kamu tidak paham bahasaku barusan?"

Dia diam menahan rawa kecil di pelupuk matanya. Aku menatap getir warna jinga langit sore ini. Batinku bergemuruh.

Kalau aku terus meladenimu sebagai pacar, sedang kamu masih sangat manja begini lalu bagaimana bisa aku membangga dan bahagiakan orangtua kami di kampung? Dan lagi, setelah aku bermunajat kepada Allah. Memohon ditunjukkan jodoh dalam istigharahku, kok kamu tidak hadir, Dik? hanya Warda si puspa indah yang direkom Emma'ku yang selalu nampak. Maafkan aku yang harus segera meningalkanmu, Dik. Pastilah ada yang terbaik menurut Allah di depan sana untuk kita masing-masing. Bismillahirrohmanirrahim....

Setelah kami konflik begini, kami masih seperti biasa. Ya, masih saling perhatian, saling menyayangi satu sama lain. Meskipun pasti ada sedikit yang beda. Apalagi pembahasan kali ini sangat krusial. Mental kita pasti sudah jatuh. Tidak Dik Tasnim Amani, tidak aku. Soal ini kita sama. Kita serasa seselera.

Memang tidak ada perubahan keadaan yang agak buruk yang membuat hati nyaman. Semua tak sama, dulu air mineral manis terasa teh bila bersamanya, kini tak hanya tawar, tapi hambar.

Satu sisi aku ingin putus karena orangtua kami sudah menunjukkan jalan yang cerah. Tapi di sisi lain, aku sedih. Aku harus merubah kebiasaanku mengangkat teleponnya dan menemaninya tidur via telepon setiap malam sampai kuping kmai panas. Aku harus menahan diri untuk memandangi senyumnya setiap hari. Kini semua berubah. Kuatkan Hamba Yaa Allah....

-00-

Bismillah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang