Semalam di Kamar Pengantin?

687 11 0
                                    

Seumur hidupku, baru kali ini aku bermalam dan tidur di rumah orang yang tak punya hubungan darah denganku. Hanya kami bertunangan denagn salah satu anggota keluarga di rumah ini, ya dengan Dik Warda. Itu pun belum benar-benar lama. Hanya sebatas itulah hubungan kami. Tapi semoga Dik Warda memang benar-benar dipilihkan Allah untukku. Aamiin yaa robb.

Hanya butuh dua puluh menit lebih sedikit untuk sampai ke kediaman Dik Warda di GKB Gresik. Alhamdulilah... namun bagi sebagain orang Gresik, hidup di kota yang jalannya agak lengang begitu malah mengeluh. Katanya ndeso, nggak keren. Jadi maksudnya yang keren itu kalau jalannya kendaraan lebih lambat dari jalannya siput? Seperti Jakarta dan atau Surabaya maksudnya? Atau Kota Malang yang juga sudah memasuki zona darurat macet? Memang hidup sawang sinawang. Jalanan lengang minta macet biar dikata kota maju, yang macet minta tol, yang di tol minta gratis, ya begitulah hidup.

Setibanya kami di halaman rumah model paris lantai dua cat putih dan aksen cokelat kehitaman dan bunga bermekaran di pelataran dengan wangi segar dan berwarna warni, si Bapak dan si Ibu calon mertua langsung menyambut kami di beranda rumah. Kami menciumi tangan kedua orangtua yang insyaallah akan menjadi orangtuaku itu.

Masyaalloh, mereka benar-benar halus perangainya. Tulus dan tak bertendensi apapun dalam hidup mereka. Si Bapak yang pensiunan PT Semen Gresik dan si Ibu yang pensiunan dan mantan kepala SD Negeri Bunga Gresik selalu semringah. Wajahnya berseri-seri bak menyambut raja dan ratu dari Keraton Songennep.

"Mari-mari, masuk, Nak." Bapak menegadahkan tangannya mempersilahkan aku masuk ruang tamu.

"Minum tehnya dulu, sudah itu bersih diri ya, Cong." Ucap si Ibu. Seolah tahu arti cong adalah panggilan sayang untuk anak kecil laki-lakinya dalam Bahasa Madura.

Aku mengangguk saja dan mesem. Entah manis atau tidak semoga aku tak mengecewakan.

Tarhim jelang asar menemani aku mandi. Dan aku kini sudah di kamarnya Dik Warda. Di kamar mandinya Dik Warda.

Sore.... Petang... ke masjid dengan mereka untuk menegakkan shalat maghrib dan isya' lalu makan malam... dan istirahat. Semuanya berjalan normal. Dan kami seolah sudah lama kenal dan tinggal serumah. Satu-satunya yang berubah adalah si bapak, si ibu, dan Dik Warda malam itu selalu menampakkan senyum manis. Aku selaku tamu hanya menurut apapun yang diperintah meski perintahnya selalu mengenyangkan.

Malam ini usai makan malam kami duduk di sofa tengah warna toska. Sofa mahal dan lembut sangat.

"Tole (Panggilan Nak/sayang untuk anaklaki-laki, Bahasa Jawa) sudah berapa kali ke Gresik?" Bapak melempar pertanyaan entah pada siapa. Tapi akulah yang jelas sasaran pertanyaan itu karena akulah lelaki keduanya setalah dia di sana. Bapak duduk di kursi tungal, aku duduk di kursi panjang berhadapan dengan Dik Warda dan si Ibu.

Aku mesem kepada orang di hadapanku, lalu mengarahkan wajahku agak serong ke kanan ke arah si Bapak.

"Baru pertama ini, Pak." Kataku polos.

"Kalah sama Warda, Cong. Dia bolak-balik Malang waktu mau kuliah di Universitas Brawijaya." Sela si Ibu. "Meskipun ternyata rejekinya ada di Unair Surabaya."

Kami semua nyengir kecil. Obrolan kami tidak ada yang membahas pekerjaan, persiapan nikah, dan apalagi pertanyaan pedas berapa harta yang sudah aku tumpuk untuk pesta pernikahan kami. Tidak. Obrolan kami hanya tentang umum dan nampaknya si ibu dan si bapak menjaga betul jangan sampai aku tak berharga di hadapan mereka.

Aku mengatupkan mata sekitar pukul 20.30.

Permisi Dik Warda, aku tidur di kasurmu. Nyun sewu (Permisi dalam Bahasa Jawa halus) nggih Ibu... Bapak...

-00-

"Saya ikut, Bapak Nggih," pintaku pada Bapak calon mertuaku saat si Bapak sudah menuruni undakan di beranda rumahnya.

Pria yang kepalanya sudah penuh disepuh uban itu menarik ujung bibirnya ke kanan dan ke kiri masing-masing satu centimeteran. Lalu melambaikan tangannya: "Ayo, Nak."

Aku segera medekat, lalu dirangkulnya sebentar.

"Ini perumahan sangat bersejarah buat bapak," katanya membuka obrolan. Aku mendengarkan dengan seksama.

"Dulu Bapak masih manten baru sering digigit tomcat, Nak. Lah ini semua masih sawah, kok. Alhamdulilah sekarang sudah ramai." Ceritranya sembari mesem tipis.

Tak terasa obrolan ringan mengiringi kami cepat sampai di masjid yang jaraknya 8 rumah dari rumah Dik Warda. Lalu kami ditelan pintu masjid dan kami semua bersimpuh di haribaan Allah subahanahu wata'ala.

Allaaaaaaaaaaaaaaaaaaahu Akbar....

Imam mengangkat kedua tangannya.

-00-

Setibanya kembali dari masjid ba'da shalat subuh aku mendaras al Quran digital di HP, di kamar depan, kamarnya Dik Warda. Sedang Dik Warda beserta Ibu dan Bapak mengaji di sofa toska tengah.

Dik Warda yang tidur bertiga di kamar belakang dengan orangtuanya. Sebenarnya di ruang tengah depan TV ada Kasur, tapi tida ada yang di situ. Lantai dua khusus tamu ada dua kamar pun dianggurkan.

Sayup-sayup kumendengar dari ruang tamu tengah, Bapak melantunkan kalam ilahi. Sepertinya Dik Warda juga mendaras dengan merdu. Ibu mengaji sebentar lalu berhenti. Mungkin mau masak di dapur untuk menyiapkan sarapan istimewa bagi tamu istimewanya.

Hingga rona merah di ufuk timur memancar, kami sudah bersiap untuk beraktivitas. Namun sebelum itu kami harus melewati ritual sarapan pagi yang bagi staf rendahan KUA macam aku itu agak kurang akrab. Biasanya rasapan masih terbawa suasana mahasiswa yaitu pukul 9 ke atas.

"Ini langsung ke Malang, Nak?" Ibu melempar pertanyaan saat kami sama-sama mengunyah nasi uduk buatan Ibu dan Dik Warda.

"Inggih, Bu." Kujawab.

"Hati-hati tidak usah mengebut di jalan, Le (Nak)," nasihat Bapaknya Dik Warda.

"Inggih, Pak."

"Mas, tambah ini ya?" Warda mengulurkan sendok beris teri goreng.

Aku mengangguk sambil mesem.

Ibu Bapak si calon mertua juga mesem.

"Berapa jam ke Malang kira-kira, Nak?" tanya Bapak.

"Insyaalh kalau lancar 2 jam-an, Pak."

"Pokoknya jangan ngebut ya, Le," pesan Ibu.

Dan waktu bertolak ke Malang pun tiba. Aku mencium tangan kedua calon mertuaku dan bersalam menyembah pada calon permaisuriku Warda.

Aku mengucap salam dan dibalasnya serempak dibumbui pesan hati-hati di jalan. Lalu mereka melepasku sambil melambaikan tangan. Aku juga. Kulihat di kaca spion sepeda motorku, mereka masih berdiri di tempat itu di depan halaman yang lansung bertepian jalan raya perumahan. Di ujung jalan aku harus ke kanan dan mereka masih di sana. Kumenoleh lagi dan aku kehilangan mereka. Aku menarik gasku sehati-hati mungkin. Semoga selamat sampai Kota Dingin Malang.

Aku pulang Nggih Bapak, Ibu, Dik Warda!

-00-

Bismillah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang