Kuelus kedua pipiku. Aku bercermin ke kaca yang tertempel di kamar kontrakanku. Kuelus kembali kedua pipiku yang tak lagi gemuk dengan hati sedikit getir. Aku semakin ceking sekarang tidak seperti dulu. Kalau mengingat dulu Emma' sangat suka menjewer pipiku dengan lembut dan menciumnya sesudah itu.
"Ma', sedang apa Emma' sekarang di dusun? Yaa Allah sehatkan Emma', jaga Emma', bahagiakan Emma' Aamiin, yaa Allah." Aku menatap cermin dengan pilu.
Sarjana muda jurusan teknik industri yang ilmunya sangat tanggung kini makin ke sini makin kurus. Bekerja di rekanan PLN sebagai supervisor semakin tak keruan. "Huuuuh, bosan Tuhan." Kutampar sendiri wajahku.
"Astaghhfirullohal 'adzim.... Hingga kini aku masih belum juga baik. Yaa Allah baikkanlah hamba, tidak usah ganteng asal baik. Baik hati dan baik rejeki. Aamiin..."
-00-
"Moooooooo.... Moooooo...."
Suara sumbang itu melengking sejak di undakan pertama, sebuah jalan menuju kamar kontrakanku di Kota Malang.
"Iyuuuuuuuuuuuuuuuuuuut," kujawab dengan juga setengah berteriak.
"Aku datang, Moo," ucapnya sambil mengkekeh. Dia memanggilku Moo karena namaku ada Mohammad-nya.
"Hey.. masuk kak Dut," sambutku sembari menyeringai.
Kak Dut, begitu aku memanggil dia dengan penuh kasih sayang. Aku memanggilnya Kak Dut karena dua alasan. Pertama karena perutnya agak gendut dan kedua karena ibunya selalu memanggil nama kecilnya yaitu Dudit. Padahal nama aslinya Affan Raif Mansyah, kupanggil dia Kak Dut. Namun sesungguhnya Kak Dut adalah orang yang sangat baik seperti namanya aslinya mengandung arti teramat istimewa, yaitu lelaki yang pandai dan pengasih.
Kami bersahabat sejak SMA di Sumenep. Lalu kami merantau bersama untuk kuliah di satu kampus yang sama yaitu di Universitas Muhammadiyah Malang. Aku jurusan teknik industri dan ia mengambil jurusan sosiologi. Dan kini sudah sama-sama sarjana, tapi sama-sama beleum menemukan pekerjaan yang mapan. Dan tentu yang pas di kantong dan di hati kami.
"Ayo ngopi, Moo. Jangan galau sendirian. Ayo berkumpul dengan orang yang hidupnya penuh optimis." Ajaknya mantap.
"Siapa di mana, kak Dut?" kutanya. "Jangan di deket kampus, bosan."
"Ya di warung Mas Mikael aja, di sana banyak yang bening-bening, hahaha."
"Ayo."
Pukul delapan malam lewat lima menit kami keluar kontrakan di jalan Tlogo Mas, di dekat rumah sakitnya kampus. Tepatnya berseberangan. Kontrakanku di timur jalan dan rumah sakitnya di barat jalan.
Kami menyusuri jalan Tlogo Mas ke selatan lalu ada pom bensin di belokan jalan kami terus ke timur melewati Jl. MT Haryono dan di pertigaan jembatan Soekarno Hatta kami ke utara. Kami menuju giras milik Mas Mikael di daerah Soekarno Hatta itu, lokasinya di dekat pendopo kesenian Jawa Timur di Kota Malang. Mas Mikael adalah teman kami –kakak kelas tiga tahun di atas kami-- yang DO atau keluar sendiri dari kampus --ceritanya yang utuh kami nggak paham juga-- lantaran bosan kuliah katanya. Kini ia membuka giras. Lumayan, tempatnya strategis, suasannya diseting romantis dan buat kami yang terpenting harganya harga saudara. He he.
"Jangan meluk, Moo. Orang nanti mengira kita homreng (homo brengsek)," ucap Kak Dut di atas sepeda.
"Aiiii... jangan malu, kang mas," kugoda ia berlaga gemulai seperti bencong. Dan kumakin mengeratkan pelukanku ke perut dia.
Lalu sepeda yang kami naiki dibawa kak Dut menepi.
"Kenapa kak Dut?" kutanya. "Apa bensinnya habis?"
"Juuuuuuuiiiiih. Ha.. ha.. ha..." rupanya ia jijik dan trauma dengan bencong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Nikah
Romance(KOMPLET) Pemuda pekerja honorer akhirnya digdaya setelah memutuskan menikah. Allah swt mengado pemuda honorer --yang gajinya pas buat bayar kontrakan-- sebuah pekerjaan mulia dan ditempatkan di luar negeri tepat di momen bulan madunya. Sila dalami...