Kerja Apa?

292 8 0
                                    

Tuhan, kami yang bekerja sangat keras tapi kenapa kami masih miskin?

Yaa Allah, teguhkan hati hambaMu ini ya robb. Aku tak ragu padaMu. Bismillah. Menikah bukan soal persiapan uang banyak, rumah, mobil, atau sudah bolak-balik hatam seminar pra nikah. Rasanya bukan. Meski aku hanya karyawan honorer KUA aku yakin setelah nikah Allah akan menunjukkan kemaha rahman dan rahimNya. Pokoknya teguh hati dan yakin. Setelah nikah aku akan bekerja jauh lebih keras daripada ini. Agar istri dan anak-anakku sentosa. Bukankah baiksangka dan hidup semangat jauh lebih berguna daripada sekadar kaya?

Rangkain kata itu terus memecut betis dan hatiku. Aku harus bersemangat. Caranya ialah terus melamar pekerjaan dengan lebih banyak lagi. Mencari peluang di perusahaan yang lebih membanggakan dan bermarwah. Kalau orang lain melamar 10 perusahaan hebat setiap harinya, aku akan melamar 50 perusahaan setiap harinya. Kuyakin, di antaranya itu pasti ada yang melirik semangatku.

Sore ini sepulang kerja dari KUA, jarum jam di lenganku berdiri berkacak pinggang di angka empat lebih tiga menit. Aku menyusuri jalanan kota dengan sepeda motor bututku: Vega oranye. Hati terus menimang-nimang nasib.

Indahnya Kota Malang tak bisa terlukiskan, penyair kelas kakap pun, rasanya sulit untuk mendeskrepsikan panorama Kota Malang dengan sangat memukau. Kota Malang hanya bisa dirasakan keindahannya dengan hati yang tulus.

Malang yang adem, bila tiba masanya biasanya sampai meremukkan tulang. Hawa dingin begitu tega memeluk tulang benulang hingga gemeretak. Bahkan jaket tebalpun tak kuat membendung dingin yang luar biasa.

"Mas, sudah di kontrakan?" sebuah pesa singkat BBM tak berpamitan masuk di HP-ku.

"Sudah. baru saja sampai." Balasku, kulucuti ransel di punggungku, dan melinting ujung celanaku. Juga menyingsingkan lengan kemeja keki coklatku.

Aku menaruh punggung di kursi reyot di beranda kontrakan. Kunaikkan kakiku bersila dengan tangan terus sibuk memencet BMM hitamku. Kupelototi chat lainnya. Ada Dik Warda di antara deretan chat yang masuk.

"Mas...." Aku mengankat wajahku ke arah suara.

Sekoyong-konyong, Dik Tasnim berdiri di hadapanku.

"Hei, kamu Dik? Mari duduk." Ajakku.

Dia duduk dan meletakkan kresek putih bertuliskan nama sebuah toko waralaba terbesar dan yang tersebar luas di seantero negeri ini. Tapi isinya adalah tepak mungil berisi kacang ijo.

"Aku bikin kok banyak, ya kubawa ke sini saja," katanya.

"Aduh, kok repot-repot begini, apa teman-teman kosmu sudah kamu kasih semua, Dik?" kutanya sembari memberi senyum padanya.

"Sudah. Ini sengaja buat Mas, kok."

Hiruk pikuk jalanan sore agak terabaikan dengan kehadiran tepak mungil warna hijau itu. Teman-teman satu kontrakan yang baru saja datang dari aktivitasnya ada yang memberi senyum pada kami lalu masuk, ada juga yang tidak mau mengganggu kami.

"Dimakan ya Mas."

Aku mengangguk.

"Makasih ya, harusnya tidak usah repot-repot begini."

"Hanya ini kok, Mas."

Dia adalah mantanku, kawan. Tapi kami masih baik. Begitulah seharusnya berhubungan. Tidak ada salahnya menjaga ukhuwah, bukan? Lah dia dulu yang pernah kita cintai, sayangi, kasihi. Lalu dengan berbagai alasan akhirnya sekarang jadi orang yang paling dibenci di muka bumi ini. Tidak ada salam sapa. Tidak ada kabar berita. Eman, dunia hanya sementara. Hidup hanya sekali maka yang sekali-kalinya ini buatlah bermanfaat dengan terus menjaga silaturrahim.

Sore ini dia hanya memberiku bubur kacang ijo, tapi di sore-sore yang lain, yang sudah lalu, dia kadang membikinkan masakan enak untukku. Maklum, mantanku sangat suka memasak. Dan masakannya Mmmm.... Mantap bana. Serius.. aku tak susah-susah harus ke Malaysia kalau hanya untuk menyicipi tomyam. Dia yang bikinkan. Aku nggak susah-susah ke India untuk makan nasi briyani. Dia yang bikinkan. Sungguh... aku tidak bercanda, memang mantan pacarku ini asli senang memasak. Dan kabar baiknya masakannya selalu dibagi-bagi untuk teman kosnya dan juga ke aku.

Upss... maaf, Dik Warda, masakanmu pasti lebih enak, nanti. Kan kamu masaknya sepenuh cinta padaku.

-00-

Ba'da isya' di malam Selasa aku lansung membuka laptop kecilku. Aku tancapkan juga modem di usb. Kujelajahi dunia antah barantah berteman kipas angin biru muda yang berdiri di sudut kamar. Kulihat banyak info kerja yang bertebaran. Semoga tidak bohong adanya. Lalu ku-list satu demi satu.

Setelah itu, barulah aku membuat surat lamaran pekerjaan sambil masih mengenakan sarung warna merah marun.

Ada yang kulamar lewat internet ada juga yang kukirim manual lewat kantor pos dan titipan kilat.

Kata Emma' yang berusaha luar biasa hasilnya pasti luar biasa. Tetapi yang erusaha biasa-biasa saja, maka hasilnya ya biasa saja.

Aku mau membuktikan ini. Aku tak hanya pantas jadi karyawan honorer KUA. Aku harus lebih.

Usai mengotak-atik internet, aku menaruh punggungku di busa yang sudah perlahan kering dan menipis dalam kamarku.

Lalu sekejap saja aku robohkan badan, HP melengking-lengking. Kugapai dia lalu kulihat layarnya, ada Dik Warda menelepon. Kuangkat dengan salam.

"Mas sudah makan?"

"Belum, Dik."

"Loh makan dong, kalau sakit repot, kan jauh dari aku."

"Ini dekat."

"Raganya jauh, Mas.... iiiiiiiiiiihg..." dia gemas di seberang.

"Iya bentar lagi makan,"

"Sekarang, Mas. Ini loh sudah pukul setengah sembilan."

"Hah? Masak?"

"Ah... Mas mesti, ini acting ini. Hehe... ngaku?"

"Hehe.... Lagi apa Dik?"

"Mikirin Mas. Mas?"

"Sama... mikirin kamu."

"Merayu ya ini?"

"Serius ya. Hehe... aku mau pindah kerja, Dik."

"Ke mana? Kan pernikahan kita sudah dekat, Mas!"

"Karena itu aku mau kerja yang lebih baik."

"Di KUA mas nggak nyaman?"

"Nyaman tapi tidak nyaman."

"Maksudnya?"

"Kalau aku bertahan di sini, Kapan mau belikan kamu rumah, mobil, dan menabung untuk ke tanah suci dan untuk anak-anak kita nanti."

"Jadi?"

"Jadi aku mau resign."

"Ke mana mas?"

"Ke Gresik saja."

"Aku kasih tahu Bapak da Ibu dulu ya Mas? Siapa tahu bisa membantu menghubungkan ke saudara atau teman Bapak yang Semen Gresik."

"Tidak usah.... Malu Dik."

"Sama orang yang akan menjadi mertuanya kok malu, Mas."

"Iya tapi aku kan laki-laki, harus tangguh. Jangan ya."

"Oke. Sekarang makan dulu gih."

"Oke. Mau nyubit pipi Adik dulu tapi. Hehe...."

"Emmoh, sakit."

Hehe.... Kami menyudahi obrolan dengan mengkekeh ringan.

-00-

Bismillah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang