Kuhalalkan Engkau Dengan Kalimah Allah

585 8 0
                                    

Di kisah cinta, rasa nyaman tak bisa diukur dari seberapa ganteng atau cantik pasangan, bukan juga ditimbang dari seberapa kaya atau bergelimang harta bendanya. Bukan. Tapi indah cinta hanya terbentuk dari sekeping rasa sabar, sebongkah pengertian yang beralaskan kejujuran dan kesetiaan serta dibungkus oleh keikhlasan.

Senin pagi (18 Agustus 2013) HPku mendengking-dengking saat kami sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk persiapan akad Nikah kami di Dusun kami. Aku menyetrika beberapa potong kemeja dan celanaku lalu kumasukkan ke koper tanggung.

Rencananya rombongan keluarga besar Sumenep akan menginap di GrandEM Hotel yang lokasinya terletak di depan pendopo Kabupaten Gresik. Kami berangkat Kamis pagi dan bermalam di hotel, lalu paginya pada hari Jum'at langsung menuju kediaman Dik Warda di GKB Gresik. Semoga acara berjalan lancer sukses dan diridhoi oleh Allah azza wajallah. Aamiin....

Kupungut HPku di yang sedari tadi menjerit-jerit di atas lemari riasnya Emma'. Kulihat di layar ada panggilan masuk tiga kali. Panggilan pertama dari nomor asing dua kali dan panggilan ketiganya sekali adalah kontaknya Dik Warda, calon istriku.

Maka kutelepon balik ia.

"Maaf, Dik. Tadi telepon aku ya?" aku duduk di ambang kasur kapuk di kamar Emma'.

"Iya, Mas. Kemana saja? Aku deg-degan, Mas." Ucapnya di seberang.

"Tidak perlu risau dek. Tugasmu sederhana kok."

"Apa? Jangan jorok loh ya."

"Nggak. Aku loh serius kok malah dikatain jorok."

"Iya apa Mas?"

"Tugasmu adalah mencintai orang yang sama berkali-kali selamanya. Itu saja. Tugasku juga begitu. Malah kita jadikan kewajiban bila perlu."

"Oh... iya, Mas. Nanti bimbing aku ya, Mas."

"Saling nasihat menasihati, Dik Warda. Aku pasti juga akan menyusahkanmu. Kita saling berusaha saja yang terbaik. Manusia tempat salah dan dosa, Dik."

"Maaf, Mas, Pengumumannya yang lowongan guru di Thailand bagaimana? Hari ini kan ya pengumumannya. Mas ada di panggil kampus?

"Belum, Dik, Belum rejeki kita, mungkin."

"Sabar dan ikhlas ya, Mas."

"Insyaallah, Dik."

"Aku bahagia akhirnya kamu jadi imamku, Mas."

"Aku juga, Dik."

"Mas, boleh tanya tapi jawab yang jujur?"

"Iya apa Dik?"

"Apa yang Mas Maiz paling benci dari aku jika nanti sudah menjadi istrimu, Mas. Tolong jawab jujur?"

"Maaf, Dik. Tidak ada. Cuma, aku akan tarik cintaku jika kamu menjadi orang lain. Jadilah kamu yang sama seperti saat kamu membangunkanku di serambi masjid rumah sakit dulu. Jadilah seperti saat kamu sabar setia menemaniku pulang kampung. Dan jadilah air bagi apiku yang suatu ketika hendak membakar rumah tangga kita. Padamkan api itu, ademkan rumah tangga kita ya."

"Berat. He he...."

"Sudah dulu ya Sayang. Eh.. Dik."

"Eh.... Berani ya sekarang."

"Berani lah.... He he."

Aku menutup teleponku lalu kuletakkan lagi di meja riasnya Emma' dengan sisa senyum mengembang.

"Siapa yang telepon, Cong?" seketika suara serak itu muncul. Itu suara Emma' yang menanyaiku sambil mesem manis.

"Dari anaknya Emma'." Aku menyerigai.

Bismillah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang