Setelah Putus

256 8 0
                                    

Pesona Kota Batu memang tak pernah mengecewakan. Dari berbagai angle, Kota Apel ini selalu riang, molek, dan memesona sehingga pantas saja bila wisatawan banyak teresedot ke kota ini setiap saat.

Tapi pulau Madura tak kalah menawannya. Sampai-sampai aku selalu merindukan tanah kelahiranku itu. Meski aku tidak terlalu betah dengan udara panasnya. Karena Madura buminya mengandung banyak garam. Sehingga memantul ke udara menjadi sangat panas. Terlebih di dataran tinggi di ladang-ladang, Madura mengandalkan air hujan untuk bertani, sehingga bila kemarau tiba, kekeringan dan gersang terjadi di mana-mana. Tapi bila musim penghujan, Madura molek, rimbun, hijau dan menenteramkan mata dan hatiku.

Ke Batu kami bertandang ke alun-alun. Yang di mana kami dulu cukup sering naik anting-anting yang gagah di tengah taman kota itu. Nama lain anting-anting adalah wahana bianglala.

"Mau naik itu lagi?" telunjukku menuding ke arah bianglala. Harga tiketnya perorang Rp 3 ribu.

"Kenapa sekarang semua harus ditawarkan, Mas? Bukankah aku masih milikmu." Dia mengucapkannya dengan sedikit kesal. "Kamu yang nyeting perpisahan ini ya, Mas?"

"Ngomong apa sih kamu? Ayo kita ke sana,"

Dia menurut begitu saja.

Anting-anting itu mulai membawa kami beranjak naik. Naik... naik... dan sampai di paling pucuk. Kami sama-sama diam lima ribu Bahasa. Satu-satunya suara adalah gesekan besi anting-anting yang kami tumpangi. Dulu saat kami naik pertama, tanganku diremas bahkan sampai dicakar olehnya. Dia sangat takut ketinggian. Dulu kami mengakak sejadi-jadinya karena rasa gila dan takut telah bercampur seru saat lingkaran bianglala itu membawa kami naik makin tinggi dan turun makin rendah.

Kini sirna semuanya.

Anting-anting berhenti, kami turun.

"Terima kasih," sapa dua petugas memakai gincu merah metallic dengan ramah. Tak luapa mereka tersenyum memaiskan dirinya semanis-manisnya. Aku dan Dik Tasnim Amani membalasnya, meski kusadar ini agak dipaksa.

"Ayo ke masjid yuk," kuajak Dik Tasnim Amani.

Dia menurut. Kami terhenti dan menunggu ditrotoar setibanya di tepi jalan. Menunggu lengang baru menyeberang memotong jalan Raden Patah Batu. Di utara jalan ada masjid Al Furqon berdiri megah.

Kapan terakhir Anda masuk masjid? Pekan kemarin, bulan lalu, atau bahkan sudah cukup lama tidak masuk ke dalam masjid. Masuk ke masjid laksana masuk ke pasar tradisional. Mungkin sejauh ini hanya sekadar melewati gerbang pasar yang biasanya bertumpuk barang beraneka yang mengesankan bau dan kumuh.

Bagi sebagian orang, pasar tradisional tidak menawarkan kenyamanan. Meski sangat lengkap, ada wahana untuk menjual barang tertentu, tetap saja aromanya bercampur aduk. Sudahlah, lihat sisi baiknya saja. Padahal di dalam sana ada kemudahan dan kemurahan barang dagangan. Hanya di sini yang ramah. Di mall kita akan bertemu kecongkakan.

Tapi masuk masjid kamu akan menemukan keteduhan lahir batin. Banyak yang emoh ke masjid, tapi tak sedikit juga yang sangat senang berlama-lama i'tikaf di dalam masjid. Di sana ada Allah yang menyelimuti hati kita. Aku yakin. Entah kamu?

"Nanti tunggu di sini bila sudah selesai shalat ya." Aku menyuruh duduk di undakan masjid di beranda depan.

Dik Tasnim Amani mengangguk.

Itu mestinya tak usah diucapkan lagi. Kami dulu juga sering begitu. Siapapun yang selesai duluan ia akan duduk di beranda masjid tepatnya di undakan ke lantai dua. Sudah biasa begitu dulu. Kini kami ulangi lagi. Ada semacam ketidakridhoan dalam batinnya, tapi bismillah semua akan baik-baik saja.

Bismillah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang