Kedua bola mata wanita itu berbinar-binar, bulat merekah. Tapi ia menatap getir. Pandangannya kosong ke depan ke arah hitam jalan aspal. Wajahnya memancarkan semburat rona senja, kala matahari merosot di tepi langit barat yang menyibak lembayung dan membias jingga di dasar samudera.
"Ceraikan aku..... aku capek." wanita berkerudung putih itu terus meronta meminta dilepaskan lengannya dari cengkeraman lelaki berkumis sekitar berusia 32 tahun. Mungkin suaminya atau siapalah. Lalu dia berjongkong di trotoar kota. Lelaki itu juga ikut menjongkok. Menjauhi sepeda motornya yang diparkir di bibir jalan.
"Ceraikan saja aku," ucap wanita itu, lagi.
"Tutup mulutmu,"
"Kamu yang diam, bajingan."
"Maumu apa?"
"Kamu jangan kampungan."
"Siapa yang kampungan?"
"Kamu."
Wanita itu berang. Matanya melotot wajahnya memerah. Si pria pun matanya merah. Mereka seperti hendak saling menancapkan samurai di selangkangan masing-masing. Kedunya berdiri sejengkal dari motor bebek yang disandarkan ke trotoar.
Suasan begitu panas. Lengan kemeja si pria nyaris koyak lantaran ditarik-tarik oleh si wanita berkerudung putih itu.
Sekitar enam belas langkah dari mereka aku, kak Dut, dan Jih Toha sedang duduk di giras. Jalanan penuh hiruk pikuk kendaraan. Deru mesin beserta asap-asapnya menyembul tak pamitan. Mungkin juga hendak menodai kopi dan teh hangat kami.
Aku merasakan sore ini disapa angin neraka. Panas ke ubun-ubun. Padahal kami nongkrong di warung kopi itu tujuannya agar ada setitik angin surgawi pantai menyusup ke raga kami. Ah... ini malah menyaksikan perhelatan sengit pasangan muda-mudi berang.
"Sana bantu, Moo. Kasihan perempuan itu." Suruh Kak Dut padaku. "Kasihan kalau tidak ada yang menengahi."
"Iya Moo. Sana bantu. Kasihan." Jih Toha, juga sahabat kami ikut angkat bicara.
O iya, kami bertiga memang cukup mesra. Kami bersahabat sejak lama. Jih Toha, begitu kami memanggil Haji Toha. Dia adalah teman kuliah sekelas dengan Kak Dut jurusan sosiologi. Rencananya ia mau melanjutkan S2 Hukum di Universitas Brawijaya Malang. Makanya dia insting lawyer-nya sangat kuat. Kenapa dekat denganku? Sebab aku sahabatnya Kak Dut yang sering ikut ke sana ke mari. Maka jadi panggilan jiwa saja kalau semakin ke sini kami malah bersahabat. Tapi tak berarti Jih Toha dan Kak Dut di luar sana tak punya sahabat. Insyaallah banyak.
"Ah.. biarlah urusan itu mereka selesaikan sendiri, Kak Dut, itu privasi loh, masak kita mau ikut campur." timpalku sambil mengunyah pisang goreng. "Ini biar Jih Toha yang bantu. Biasanya jiwa advokadmu muncul di situasinya begini, Jih,"
"Haha... ngawur kamu." Haji Toha mengkekeh.
Piyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar....
Lelaki itu akhirnya menampar pipi kiri perempuan berjilbab putih itu.
Pisang goreng yang sudah di tenggorokan tak mau nyelonong ke lambung. Ia malah kembali ke mulut. Duh... tega sekali lelaki itu.
Beberapa pasang mata termasuk kami tak melepas adegan hangat itu. Tega sekali lelaki itu.
"Sana Kak bantu lerai." Kubilang. "Jih, bantu Jih."
"Kamu saja, bila perlu kasih bogem mentah saja lelaki itu." Kak Dut mengatakannya dengan cukup beramarah.
"Emoh (Tidak Bahasa Jawa)... Aku mau mati berkafan cindai (Peribahasa yang bermakna: mati dengan cara terhormat), Kak Dut," tolakku halus. "Ayok pulang aja yuk..."
"Ah.. tuntaskan dulu ftv kita sampai happy ending," balas Jih Toha sambil mesem.
Aku tak tahan, maka bergegaslah.
-00-
"Assalamualaikum, Pa'." kulempari salam Eppa' yang tengah menepikan HP-nya di telinga kakannnya, di seberang sana, di kampung halaman kami. Lalu dijawab dengan mantap tanpa sumbang sedikitpun. Suara menggelegar itu yang memotivasi aku untuk terus hidup dan berguna di muka bumi ini.
"Kamu sakit, cong?"
"Tidak Pa'."
"Kok sepertinya meriang."
"Nggak. Hanya sisa flu minggu kemarin."
"Kamu tak sehat, Nak. Apa kamu belum makan malam ini?"
"Sudah Pa'." kupegang pangkal perutku. Di sana ada cacing yang melilit dan menggit aku. Perih kurasakan. Aku sangat lapar. Tapi harus aku tahan, bagaimanapun itu agaknya dapat menegaskan aku masih punya harga diri yang tak mau membebani orangtua.
Aku sudah sarjana. Sudah tiga tahun usia kesarjanaan ini. Masak masih mau menyusahkan orangtua.
"Kamu masuk angina itu, Nak."
"Iya mungkin Pa'."
"Siapa yang ngerokin kalau begitu?"
"Hehe.. tidak ada. Kan biasanya Emma' kalau pulang."
"Usiamu sudah berapa, Cong?
"25 tahun, Pa'. sebentar lagi pada bulan Tasnim Amani sudah 26 tahun. Aku mau menikah saja ya. Bagaimana Pa'?"
"Iya, Nak. Itu lebih baik."
"Iya biar ada yang mengurus aku. Biar ada yang ngerokin aku saat aku masuk angin."
"Iya. Ayo bicarakan di rumah. Kapan kamu pulang? Tidak usah khawatir soal dananya. Menikahkanmu adalah kewajiban kami. Kalau boleh tahu anak gadis mana calonmu? Apa yang dulu itu?"
"Dulu kapan, Pa'?"
"Yang salim sama Eppa' dan foto bersama kita saat kamu wisuda."
"Ah.. banyak yang foto sama kita, Pa'. Adik-adikku di organisasi semua itu."
"Lalu siapa?"
"Emma' yang nyarikan di kampung."
"He he.. kamu."
"Aku manut Emma' dan Eppa' saja. Jika pantas buat aku silahkan."
"Baiklah. Oiya Nak, bila kamu ada waktu gampangkan orang lain agar Allah tidak mempersulit kita. Tidak harus dengan uang untuk itu. Kamu di kantormu mungkin bisa melakukan hal-hal kecil yang sangat bermanfaat bagi orang lain. Kalau ada yang mengurus nikah kamu jangan sulitkan dia. Mudahkan. Jika orang lain banyak amalnya dengan menyumbang masjid banyak-banyak. Mudah-mudahan dengan memudahkan orang lain jadi jalan Allah bermurah hati paadmu, Nak."
"Iya, Pa'. Bismillah."
"Di kantor jangan banyak ghibah, mengunjingi orang lain sesama teman kerjamu. Tidak usah. Sebab yang gemar membicarakan orang di belakangnya, sesungguhnya di situ lah, di belakanglah tempat ia beranda. Orang berbuat salah adalah sunnatulloh. Manusia adalah dapurnya salah dan dosa. Orang yang tak berdosa adalah hanya orang yang tak pernah hidup. Semua pasti bersalah. Nah, kamu jangan mengambil dosa dari kesalahn orang lain. Jangan ghibah."
"Siap paduka yang mulia, Eppa'ku yang baik hati. He he...."
"Jangan hanya siap. Soal pekerjaanmu, jangan mudah putus asa. Bekerja harus enjoy. Harus nyaman di hati. Yang jelas gapailah mimpimu segera. Jika memang bukan sebagai karyawan honorer KUA mimpimu maka kejarlah yang sebenarnya jadi mimpimu. Mimipi ibarat alamat, Cong. Dan berusaha ibarat mendatangi. Maka cari dan temukan lamatnya lalu datangilah. Mimipi dan usahalah. Oke?"
"Oke Bos."
"Ya udah, Eppa' mau masang pakan sapi dulu ya. Kamu jaga diri baik-baik ya, Nak."
"Oke Pa', Salam ke Emma', Pak'."
"Iya."
Kami menyudahi obrolan malam ini. Jarum jam sudah mengantuk di angka 10 kurang sedikit. Aku pun ingin segera menutup badanku dengan selimut usang yang mirip dengan selimut yang ada di rumah sakit-rumah sakit. Garis-garis hitam-putih. Ehem... Yaa Allah sehatkan aku. Sehatkan hati dan badanku. Aamiin Yaa Allah.
-00-
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Nikah
Romansa(KOMPLET) Pemuda pekerja honorer akhirnya digdaya setelah memutuskan menikah. Allah swt mengado pemuda honorer --yang gajinya pas buat bayar kontrakan-- sebuah pekerjaan mulia dan ditempatkan di luar negeri tepat di momen bulan madunya. Sila dalami...