Semoga Engkau Bahagia, Dik! [ending]

1K 11 1
                                    

Dulu, aku berpikir selamanya akan bersamamu, bahkan sampai di surga. Dulu, saat bersamamu, semuanya teramat indah. Semua. Pagiku denganmu, siang, sore, dan bahkan malamku denganmu meski kita belum boleh sekamar (karena hanya pacaran), tapi kuping kita sampai anti panas karena kita terus berusaha bersama, meski hanya lewat telepon. Aku rindu kamu yang selalu membuatku bahagia dengan hal-hal sederhana, Sayang.

Aku rindu kamu yang selalu mau memeluk aku, dan punggungku selalu kau jadi rebahan kepalamu saat naik motor, sekali lagi hanya untuk mengitari jalan pedesaan. Memang cukup sering kita berputar-putar di jalanan desa untuk menyemai cinta. Desa lebih sejuk daripada jalan-jalan bising kota. Kita sehati soal keindahan pegunungan dari kejauhan. Juga hamparan padi hijau yang segar dan warna jingga langit sore. Sungguh indah dulu. Kamu perempuanku, Dik.

Dulu, saat bersamamu semuanya tampak indah. Kita habiskan hari-hari kita dengan suka cita, meski hanya sekadar membeli pentol langganan di depan mall besar di kota ini. Lalu duduk di taman tugu menunggu matahari dimakan bumi di ujung barat. Atau duduk menyaksikan angsa putih saling kejar di danau depan kampus. Dan sering kami begitu. Dulu, aku berfikir kamulah yang akan menyuapiku bubur saat aku demam. Atau yang akan selalu membetulkan dasiku bila aku hendak berangkat kerja di pagi buta. Dulu, aku rasa kamu adalah pasti istriku selamanya.

"Kalau kelak kita nikah, kamu minta mas kawin apa, Dik Tasnim?" Tanyaku suatu hari pada kekasihku saat duduk di gasebo depan danau kampus. "Jangan ringan-ringan, biar aku usahanya dramatis," sambungku sebelum dia menjawab.

"Minta membunuh Ken Arok. Sanggup, Mas?" pintanya mengkekeh.

"Aih... aku harus nikahi Ken Dedes juga berarti habis bunuh Ken Arok." jawabku sambil senyum.

"Aduh. Jangan kalau gitu, Mas. Gimana kalau mas kawinnya peniti satu ton," dia menjulurkan lidahnya menyeringai lagi. "He he he,"

"Siap, Ndoro," kataku lalu menggong jidatnya pelan-pelan.

Dan kami melepas tawa kecil bersama. Semuanya sungguh indah.

Dulu!

-00-

Ah, sudahlah, semua berlalu. Biarlah. Aku harus menjalani dan menyukuri hidupku yang indah saat ini bersama Dik Warda. Apalagi sudah ada bidadari kecil yang cantik hadiah dari Allah swt dan siap setia akan menemani Bundanya perawatan ke salon besok-besok.

"Sekarang mimik cucu ke mama dulu biar cepet gede ya, Sayang. Sana! Hehehe..." kusuruh Inayah Bisilmi Kaffa, bidadari kecil kami belahan jiwaku. Ia pun berlari ke pangkuan mamanya, Dik Warda.

Ia berlari menghabur ke pangkuan Bundanya yang tengah duduk di sofa tengah.

Baik istriku Warda Inayah Maulidah, si bundanya Inayah Bisilmi Kaffa, atau mantanku Dik Tasnim Amani, semuanya adalah indah. Mantanku indah di masa lalu dan permaisuriku kini teramat luar biasa indah membahagiakanku saat ini dan terus hingga di syurga.

Membandingkan kekasihku yang dulu dengan kekasih halalku kini yang semoga diberkahi Allah swt, adalah tindakan bodoh. Tidak akan aku lakukan. Dan kalian, teman-temanku sekalian, juga tidak boleh sebodoh itu melakukan perbandingan-perbandingan. Bagaimanapun masa laluku dan cintaku kini adalah luar biasa di masa masing-masing.

Hanya saja, kalau boleh aku berbagi rasa kepada kalian, aku tiba-tiba rindu masa laluku, saat sekejap saja ia seolah berkelebat di hadapanku, di bandara itu. Rindu saat dia bilang ingin ikut bekerja keras bila sudah menjadi istriku dan uangnya untuk membeli mobil vios. Masih kuingat betul niatan mulianya itu. Katanya agar kami tidak kepanasan dan kehujanan kalau ke mana-mana. Coba bagaimana perasaanmu terhadap perempuan macam itu.

"Kasihan."

"Apa, Mas?"

"Tuh lihat, anaknya kakinya kepanasan. Anak kita jangan sampai begitu," kataku saat kami berhenti di setopan membahas pengendara lain di depan menyamping dari kami di jalan MT Haryono suatu sore.

"Iya, Mas. Kita harus nabung yang rajin, yang banyak ya," usulnya sambil terus memelukku di atas motor.

"Mobilnya yang apa?" Kutanya menyambung rencana membeli mobil.

"Yang hidup yang nggak mogok, Mas." Jawab dia lantas dia mesem. Aku juga.

"Kasihan. Punya dua anak kok orangtuanya nggak usaha beliin mobil," kubilang lagi mengritik pengendara di depan kami.

"Mungkin masih nabung, Mas," katanya.

Aku melirik ke arah sepeda motor itu. Satu anaknya mungkin laki-laki digendong si ibu, kepalanya mendangak ke langit matanya terpejam. Si kakaknya perempuan sekitar usia TK besar, kepalanya direbahkan ke tengah-tengah setir sepeda motor dengan memakai helm kecil warna biru.

"Nabung ke WC? La wong si bapak rokokan itu. Boros!" ucapnya kesal. Lalu lampu hijau menyala.

Kami meneruskan perjalan ke timur melewati Mayjen Sungkono lalu ngiri menyeberangi jembatan Soekarno Hatta kemudian setelah dua pertigaan di depan setelah melewati satu lampu setopan, kami berbelok ke jalan apa namanya sudah lupa, pokok di depan RRI, aku sudah lupa nama jalannya dan terus ke barat hingga tembus ke sawah-sawah sampai keluar di jalan belakang kampus kami. Dan sering kami begitu.

Kini aku suka tidak ikhlas bila jalan yang dulu kami mimpikan akan selalu kami lalui berdua tapi dilalui dengan istriku sekarang. Sesak. Seperti ada yang meremas jantungku sangat kuat bila harus melewati jalan yang dulu kami lalui. Apalagi berlama-lama di taman kota atau taman tugu dengan keluargaku sekarang. Nyesek. Kalau tidak demi si cantik putriku mana aku mau.

Semua pasti sudah diatur Allah Tuhan yang Maha Kuasa. Yang terjadi adalah yang terbaik.

Dik Tasnim Amani, dulu aku pernah berniat tak sedikit pun menyakitimu, mantanku. Aku hanya ingin kamu bahagia. Dan bila aku tidak bersamamu kini jangan salah sangka, itu karena aku yakin kamu telah bahagia. Aku menyaksikanmu bahagia, Dik. Aku tahu itu dari tempat yang jauh.

Tapi aku kangen kamu, Dik. Maafkan aku yang meninggalkanmu kenangan manis, mungkin. Terima kasih atas semuanya. Aku cinta kamu. Dulu!

Top of Form

Jangan Hapus!

Kalau kita berpisah jangan ada yang berusaha menghapus

Biarkan kenangan kita tinggal di sanubari terus

Aku janji

Kamu juga harus berjanji

Pasti berat. Tapi kenyataan sudah begini

Cinta kita suci

Aku sunyi kamu sepi

Kenangan kita yang termanis

Biarkan ia terus manis

Biarkan cintamu sekali itu menjamahku

Silahkan berlalu

Aku mencintaimu, dulu.

Mohon jangan hapus kita yang dulu itu.

-00-

Sumenep, Pamekasan, Surabaya, 9 Januari - 3 April 2018

Bismillah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang