Gaji Pertamaku

1K 22 1
                                    

Siapa yang tak bangga menjadi seperti aku saat ini. Sudah sarjana, punya pacar cantik, dan punya pekerjaan agak bergengsi. Meskipun, rentang masa sejak aku lulus dengan mendapat kerja agak cukup lama, yaitu tujuh bulan.

Tapi tak apalah. Karena tak berarti aku menganggur loh ya, aku loh sibuk dengan organisasi mahasiswa di level kota. Ini aktualisasi diriku, taman. Dan beruntungnya lagi genap di tujuh bulan itu pada hari Jum'at siang menjelang shalat Jum'ah, pada bulan Juli 2012, aku mendapat panggilan kerja di sebuah perusahaan pemasok bahan jadi di kantor PLN Kota Malang. Aku bekerja setelah sahabat-sahabatku yang seangkatanku juga diterima perusahaan lain. Selang tak begitu lama. Memang aku yang paling akhir kalau ditelaah.

Siang ini hari Selasa, aku duduk di ambang jendela sebuah bis ber-AC. Mobil raksasa ini sudah menggoyang pelan tubuhku. Ini perjalanan membahagiakan buatku, perjalanan panjang dari Malang ke Surabaya, dan lanjut ke menuju Sumenep, sebuah dusun keahiranku.

Aku memandang ke luar jendela. Di sana kulihat pemohona berlari menjauhiku ke belakang. Tap awan-awan Malah berarak mengikutiku. Hamparan padi menghijau segar di pandang mata. Itu dapat kunikmati dari sisi kananku, aku duduk di sisi kanan tepi jendela, bis ini kemudian terus meliuk-liuk ke arah timur.

Hamparan panoprama padi kadang menjelama raut wajah ayu Emma'. Ah... sudah tak sabar aku ingin sampai di rumah. Sudah teramat rindu aku dengan keluargaku di kampung. Rindu masakan Emma', rindu ladang memanjat srikaya, rindu jalanan kampung dan rimbun semak-semak buncis, dan rindu semuanya. Eppa' dan Ale'(Adik dalam Bahasa Madura) juga kurindu.

Rasa itu membuncah.

Bis masih meraung-raung memontang-manting seisi muatannya. Perjalanan sudah satu setengah jam sejak dari terminal Bungurasi Surabaya. Perjalan kira-kira kurang dua jam setengah lagi kami sampai di rumah.

Kupandangi pemandangan alamiayah di sisi kananku sekali lagi. Dan sebentar-sebentar aku menguap. Mata berat dan serius, kini kantuk menguasaiku.

Kurubah posisiku, kubetulkan punggungku lalu kepalaku kusandarkan ke belaa dan bersendekap. Kukatupkan mataku tanpa sadar. Aku lelap dalam suasana bis meliuk-liuk melewati pegunungan dan alas Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan separuh Sumenep.

"Ronggerong.... Ronggerong...." Kondektur berteriak keras saat pertigaan Ronggerang di wilayah Kecamatan Bluto sudah di depan mata.

Aku terjaga, tempat aku turun sudah di pelupuk mata. Aku membetulkan diri lalu meringsut ke muka mendekat dengan kursi di samping kiri pak sopir.

"Yaaaa... kiriiiiiiiiiii...." Ucap kondektur atau pak kernet, aku tak begitu paham siapa dia, mungkin karena belum menyatu si sukmaku.

"Kalangkong (Terima kasih Bahasa Madura), Pa'," Ucapku

"Iyuuut (Iya Bahasa Madura)," timpalnya lalu sekejab saja bi situ sudah lari jauh.

Di seberang jalan sudah ada adikku yang menjemputku. Dengan sepeda motor Jupiter MX warna hitam pekat. Kami menggilas aspal membelah kampong kami dengan kecepatan 60 km/jam. Tujuh menit saja kami sudah sampai di rumah. Emma' dan Eppa' sudah menyambutku.

Kuciumi mereka lalu kami bercengkerama di beranda rumah model paris. Rumah joglonya sudah dirobohkan pada 2007, itu awal-awal aku kuliah. Kata sebagian orang, sudah tak jaman rumah joglonya. Dan celakanya Eppa' pun ikut kata orang sehingga rumah kami ikut diratakan dengan tanah dan dibanug kembai dengan model paris.

Keramik putih suci menghampar di sana, lalu dinding-dindingnya dilapisi keramik motif merah muda.

Panjang lebar kami mengobrol di beranda rumah. Mulai persoalan social terdekat kami hingga obrolan soal kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik dan gas yang katanya akan ditarik subsidinya.

Ah... negera memang begitu. Sudahlah.

Kini tiba waktunya Emma' kuberi kejutan. Kurogoh isi tasku sambil mulut mengunyah kripik singkong gurih suguhan Emma' yang digoreng Emma' siang tadi.

"Ini adalah hak Emma', mohon maaf Cuma sedikit, Ma'!" ucapku bersamaan dengan menyodorkan amplop putih berisi gaji perdanaku sebesar Rp 800 ribu. Aku masih training di kantorku, meski begitu alhamdulillah masih dihadiahi gaji itu.

"Emma' nggak butuh ini, Nak. Kamu yang jelas butuh ini. Makan sehari-harimu, bayar kontrakanmu dan keperluan lainnya. Simpan ya,"

"Loh, buat Emma' ini. Aku ada kok Ma'. Bismillah aku aman."

Ampolop itu kini ada dalam genggaman Emma' yang terharu.

"Sudahlah, ambil ini gunakan untuk keperluanmu di Malang."

"Tidak Ma'. Ini aku sudah nadzar. Pokoknya gaji perdanaku bila dapat kerjaan langsung mau aku kasihkan ke Emma'. Simpanlah buat beli cincin emas yang Emma' suka. Maaf hanya segitu. Terima ya, Ma'."

"Masyaalloh, kamu ini, Cong... Cong." Emma' mencubit kedua pipiku lalu mencium ubun-ubunku. Ciumannya sangat dalam. Perempuan paruh baya itu gurat wajahnya menggambarkan rasa syukur yang tiada tara.

Usai dicium kami berpelukan dengan lekat. Setelah itu aku merebah ke pangkuannya. Kuelus kedua pipiku. Ada sedikit rasa sakit di bagian pipiku yang tak setembem dulu. Dulu pipi ini sangat gendut. Semua sanak sodara gemas dibikinnya.

Kuelus kedua pipiku, lagi.

-00-

Bismillah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang