Secercah Harapan Pagi

384 12 0
                                    


Sudah dua malam sehari langit ini menangis. Tak tampak ada tanda-tanda hujan akan usai. Gemulung mendung malah masih menutup lagit sehingga bumi gelap pun seisinya gelap. Di kawasan kota juga di kampung-kampung banyak ruas jalan yang yang menjelma kolam. Kadal dan para katak mengumpat sumpah serapah, katanya bosan berenang. Sesekali ia mengintip langit yang pekat.

"Kangen matahari, kakak," kata katak yang satu kepada yang lain.

"Sabar Dik, mungkin besok air surut dan matahari kembali hadir. Yakinlah, hanya keyakinan yang membuat kita terus hidup, bukan?" Nasihat kakak katak pada adiknya.

Si adik katak penanya tadi menyunggingkan senyum. Lalu memeluk mesra sang kakak.

Fajar di ufuk timur belum mekar. Shalawat bubaran shalat subuh baru saja usai. Aku membuka selimutku. Kini aku tak ke masjid, maklum. Iman di dada berlangsung kembang kempis. Hanya saja memang ada sedikit kerugian yang kurasa. Terasa jauh dari Allah bila tidak shalat jama'ah di mushalla samping kontrakan.

Kubopong tubuhku sendiri. Berusaha duduk lalu berdiri sekuat tenaga. Kukucek kedua mataku yang masih malas.

Jalanan masih sepi, airmata langit masih berlinang. Pintu dan jendela rumah-rumah warga masih rapat terkunci. Hanya beberapa pintu yang sudah buka. Bahkan yang sudah siap ke pasar dengan motor digandoli syur dagangan diboncengannya adalah tetangga seberang kontrakanku.

Kuseret perlahan kakiku menuju kamar mandi. Kubasuh kedua tanganku memulai berwudhu, kuusahakan pekerjaan mulia ini kulakukan dengan tuma'nina hingga akhir membasuh kaki. Lalu kupanjatkan doa. Lantas menegakkan perintah Allah yang agung: Shalat.

Sementara itu, di belahan dusun Kopao di ujung timur Pulau Madura, Emma' masih khusyuk bersujud di atas sajadah biru di mushalla mungil kami. Emma' selalu begitu. Ia sabar dan ikhlas menahan linu sambil mendaras Al-Qur'an, mengusir sunyi senyapnya.

Kepada Perempuaku

Kepada perempuan yang istiqomah menengadahkan tangan dan seluruh raganya, mengibah Rahmah dan Rahim-Nya.

Kepada perempuan yang tak kenal lelah mengalirkan airmata mataair suci dari pelupuknya mendoakan kesehatan, kesuksesan, dan kebahagiaan anaknya, menantunya, dan cucu-cucunya nan jauh di tanah rantau ini.

Kepada perempuan yang sabar ikhlas dan ridho memberi cinta yang besar kepada kami. Tak peduli kelak dibalas atau diacuhkan.

Kepada perempuanku, Emma'. Kepadamu cintaku. Terima kasih atas cahaya cinta beningmu kepada kami.

Kepada perempuanku, Emma'. Terima kasih atas tulus dan nirpamrihmu. Terima kasih atas semua kebaikanmu yang melimpah ruah yang kutak mampu menghitung.

Maafkan aku, anakmu yang kurang maksimal mencintaimu, Emma'. Yang tidak bisa membawakan obat asma atau balsem oles ke kamarmu saat engkau sulit bergerak karena pegal linu, remuk punggung atau saat tinggi suhu badanmu.

Maafkan kami, Emma'. Yang sering lupa atau tak sempat membalas cintamu yang amat besar pada kami itu. Mohon maafkan atas semua itu, Emma'.

Semoga Allah SWT menjagamu di dunia dan di akhirat. Semoga kelak Allah SWT menempatkanmu di surga. Aamiin yaa Allah...

---

Usai itu Emma' langsung bergelut dengan sodet, wajan, panci dan api tungku di dapur. Ada Eppa' dan Ale' lelakiku yang harus mendapatkan sarapan bergizi di pagi nanti.

"Cong.... Cong Akbar... bangun, Nak. Sudah subuh." Suara Emma' tangkas dari dapur sambil cekatan mencuci perkakas dapur.

Akbar, Akbar Arrasyidin, nama panjangnya, dia agak sulit bangun pagi. Maklum masih remaja. Adikku itu sangat mudah menjangkau suara Emma' saat dipanggil, karena dapur dan kamarnya berdekatan.

Bismillah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang