Perjalanan ke Dusun

341 9 0
                                    

Dengan mobil pikap pengangkut para penjual sayur --yang memuat sayuran juga aku-- aku sampai di terminal Arjosari Malang dalam waktu 70 menit dari tempatku bermukim sementara, di kontrakan dekat rumah sakit kampus kami dulu. Aku tidak jadi naik angkot. Pemilik kontrakanku berbaik hati memberi tumpangan. Kuiyai ajakannya karena pikirku ini akan efektif dan efisien. Juga biasanya naik angkot membuang-buang waktu. Tiap saat menaikkan menurunkan penumpang. Lama. Kutak begitu suka.

Aku turun tepat di pintu keluarnya bis. Kuedarkan pandangan ke segala penjuru. Ini pukul lima lewat 45 menit. Mestinya di lokasi aku turun dari pikap ini sudah ada Dik Warda menungguku, sesuai janji di pesan singkat BBM.

Pintu gerbang keberangkatan itu menganga ke utara, aku di sisi barat gerbang. Kubiarkan satu bis bergambar panda besar jurusan Malang-Surabaya berlalu di hadapanku. Kuedarkan kembali pandanganku ke berbagai arah.

Setelah lepas mobil raksasa itu, di seberang jalan Fortuner Hitam mengerem. Seorang pria yang rambutnya disepuh uban keluar dari mobil. Lalu ia mengedarkan padangan ke arahku dan si bapak tua itu melempar senyum kepadaku dari kejauhan. Aku tak ragu sedikit pun untuk membalas senyumnya. Barulah beberap detik kemudian, terbitlah Dik Warda yang menggandeng erat tangan Ibunya.

Aku berlari ke arah tiga manusia itu menyeberangi jalan.

"Assalamualaikum," kulepas salam dan senyum manis setengah kumus-kumus keringat debu jalan yang kudapat dari naik pikap subuh tadi.

Mereka menyambutnya dengan ramah.

Basa basi kecil kami lakukan di tepi jalan terminal tertua di Kota Malang itu. Lalu saatnya kami berpisah, lantaran sudah bercokol kepala mobil raksasa di selatan dengan perlahan.

"Kami mohon pamit, Bapak, Ibu."

"Jaga dari ya, Nak. Nitip Warda ya." Ucap Bapak.

"Inggih, Pak."

"Hati-hati yo, Le," sambung ibu.

Kami mengangguk dan langsung mencium tangan kedua orangtua yang perangainya halus itu.

Dik Warda kuajak segera, dan mereka melambaikan tangan ke arah kami.

Kami meringsut di antara tubuh-tubuh yang berebut masuk ke mulut bis jurusan Malang-Surabaya. Alhamdulillah, kami dapat kursi di baris ketiga dari depan. Dik Warda yang duduk di sisi jendela yang dua kursi lurus dengan pak supir. Kuhambur juga pantatku lalu kusandarkan punggung dan kepala. Kunyaman-nyamankan diri posisiku sambil sesekali melirik ke kanan. Kupandangi bidadariku yang segera akan kuhalalkan itu. Ia melihatku juga. Kami bertabrakan mata. Aku yang ngalah. Kualihkan pandanganku ke luar ambang jendela. Di sana ada pemandangan klasik yang begitu indah dan memberi kesan tersendiri. Kadang sendu bila meratapi nasib. Tapi kini bahagiaku membuncah. Alhamdulillahirrobil alamiin..

Dik Warda masih menoleh ke arah Ibu dan Bapak, tapi mereka sudah tak terlihat.

"Hei... " kusapa gadis jelita di samping kananku.

"Hei... Mas," responsnya sambil tersenyum manis.

Setelah bis berjalan agak lama ruangan bis senyapmeski penuh penumpang. Di dalam bis di sisi yang lain pasang-pasang mata sibuk melirik ke berbagai arah, tapi ada juga yang membaca koran dan sekadar memelototi telepon genggamnya. Namun di belakangku tepat pasangan suami itri yang agak berumur antara 60-an tahun usianya malah kompak ngorok.

Aku mengulum senyum saat sayup-sayup terdengar suara anak kecil mendaras al Quran dari masjid seberang saat bis kami berhenti di sebuah setopan lampu merah. Ingatanku mengantarkan ke masa di mana dulu kami pun sering terbata-bata membacakan kalam ilahi itu, di langgar yang diasuh Kyai Misyar.

Bismillah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang