DEWASA - Jungkook

94 2 0
                                    

Hujan mengguyur deras jalanan kota Bandung, di persimpangan lampu merah sebelum alun-alun aku berhenti tepat di bawahnya, mengikuti beberapa kendaraan yang nekat melaju di tengah hujan deras.

Tubuhku berhenti menghitung mundur lampu lalu lintas yang berkedip, tak memikirkan sedikitpun dingin yang tentu saja kurasakan. Hanya saja aku tidak cukup peduli dengan hal itu, mataku hanya menatap peduli kearah langit gelap dengan hujan yang menuntut.

Aku masih berbalut seragam putih abu-abu yang belum sempat kulepaskan tadi, ditambah lagi makanan yang terakhir kusantap adalah sarapan seadanya tadi pagi.

Teringat percapakan menjengkelkan di tengah sarapan tadi, padahal aku baru meneguk segelas susu, itupun belum sempat menyentuh penuh tenggorokanku.

...

"Jungkook!! sekali lagi ayah peringatkan."

Dengan tega, lengan lelaki tua tersebut menggebrak sisi meja yang masih dipenuhi beberapa lembar roti tawar dan jangan lupa segelas susu yang baru saja kutaruh.

Airnya tumpah begitu saja kearahku, sialnya air susu tersebut belum lama dihidangkan. Aku menahan bergerak walaupun paha kiriku sudah mulai panas, aku tau pasti dia akan semakin murka jika aku bertingkah sekarang.
"Jika sekali lagi kau datang ke tempat hina itu, aku tak segan untuk membakarnya."

Ia melangkah pergi begitu saja, setelah berbicara dengan nada dingin yang membuat diriku membeku mengingat teman-temanku.

'Mereka tidak memiliki tempat pulang, hanya tempat itu yang mereka miliki.'

...

Dengan ragu aku melangkah pulang, tentu saja masih hangat ketika ayah murka tadi pagi. Aku semakin ragu dan takut untuk memasuki pintu tiga lantai di hadapanku.

"Diam di situ!!"

Belum sempat aku menutup kembali pintu tersebut, ayah tengah duduk pada sofa yang menghadap langsung ke arah pintu rumah. Dengan kaca mata yang tak lepas membuat rahangnya terlihat tegas dan menakutkan, ditambah lagi tangannya yang bersidekap keras.sangat mendominasi.

Aku hanya menunduk tak berani sedikitpun untuk menatapnya, belum lagi rematan erat pada sisi celanaku, jujur aku sangat tegang sekarang.

"Kemana saja kau hari ini?"

"A-ak ..."

"Sudah kuperingatkan untuk tidak kembali ke sana!!" Ayah memotong ucapanku yang tak sempat aku ucapkan karena terlampau ragu. Sumpah aku tidak pergi ke sana, benakku dalam hati.

Ia menghampiriku, tangannya yang masih setia menggenggam lembaran koran yang digulung ia hentamkan tepat kearahku. Aku hanya dapat menunduk lesu tak berani menatapnya, sampai lengan besar khas milik ayahku mencengkram keras dagu membuatku terpaksa menengadah meliahtnya.

"Aku sudah memperingatkannya, dan pilihannya ada padamu. Hei!! Jeon Jungkook!!" Aku tersentak kaget akan pekikan yang menguar di seluruh ruangan.

"A-ayah aku tidak..." Lagi-lagi lidahku kelu hanya untuk memberitahukan padanya bahwa aku tidak pergi ke sana.

"Aku hanya ingin kau belajar Jungkook!! Kau hanya harus fokus dengan studimu!! Mau ditaruh di mana mukaku jika anak kepala sekolah bertengger bersama dengan anak-anak paling bodoh di sekolah."

"Mereka tidak punya harapan Kook, mereka hanyalah orang-orang miskin yang hanya akan menyusahkanmu."
Ayah mengguncang hebat wajahku ke kanan dan kiri seakan hinaan tengah ia berikan bertubi-tubi. Aku hanya mendengar lekat ucapannya, tapi sungguh aku tak terima jika sahabatku harus ikut ia hina.

Aku mencoba untuk menahan setiap ucapannya tadi, berusaha untuk tidak kelepasan dan berakhir semakin tegang.

"Heh, dengan sekali lagi jika kau tetap pergi bersama mereka bukan hanya tempat itu yang akan ayah bakar, tapi akan ayah bakar rumah mereka."

Ayah pergi begitu saja setelah menghempaskan tubuhku, apa artinya gudang kami telah ia bakar?
"Ayah!!" Aku menyentak keras padanya, dengan nafas yang terengah aku menahan emosi dan air mataku mengingat di sanalah ia bisa tertawa dengan sahabat-sahabatnya. Tapi kini tidak ada lagi mereka.

"Aku tidak bahagia hidup dibawah perintahmu, aku tidak bahagia hidup seperti yang ayah mau, aku tidak ingin ikut mati bersama ibu hanya demi mengikuti ambisi ayah!!" Langkah ayahku terhenti ketika mendengar wanita yang telah lama pergi tersebut kuucapkan, tamparan keras berhasil membuat pipi dan pelipisku berubah semerah padam. Mungkin ini tamparan paling kuat yang pernah ia berikan padaku.

Bibirku mengeluarkan sedikit darah segar, mungkin rahangku tergeser kaku karena hantamannya yang sangat kuat. Ayah menatapku lamat, aku tak pahan dengan tatapannya yang kutau wajahnya terlampau merah dan pundaknya naik tuun mengatur nafas.

Tatapannya terlihat asing bagiku, tak sendu ataupun murka seperti biasanya kulihat. Ia tak mengucapkan sepatah katapun dan pergi begitu saja.

Mungkinkah itu izin bagiku untuk pergi?

...

Terlihat dari kejauhan keenam sahabatku tengah mengais air pada setiap tempat yang mereka bisa ambil, api berkobar gila seakan menyamakan kegilaan pertengkaranku dengan ayah.

Aku malu untuk bertemu mereka, aku telah merusak kebahagaiaan mereka.

Mimpiku telah berhenti sampai di sini, kebahagiaanku telah dihukum mati mulai sekarang.

Seakan menjadi dewasa adalah sebuah luka.

√ BANGTAN TIMELINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang