Perjalanan Sebuah Impian

26 2 0
                                    

Aku mengayuh pedal sepeda dengan cepat, sambil membawa dua kantung besar di setiap sisi pegangan sepeda. Berusaha menghindari tetesan keirngat, mataku mengerjap perlahan.

Mentari berdiri kuat di tengah kepala, membuat perjalananku semakin sulit.

Setiap roda tersebut berputar, bayang-bayang canda tawa dan senyum mereka teringat. Ketika seorang laki-laki dengan canggung memasuki ruangan kelas sambil memegang erat tali ranselnya.

Tatapannya menunduk berusaha menghindari sebuah kontak mata, “Ha-halo, namaku Park Jimin.” Aku mengangkat kepala sambil tersenyum canggung.

Bisik-bisik siswa dan siswi mulai terdengar, terbersit pemikiran aneh. ‘Ah, pasti mereka sedang membicarakanku, pasti penampilanku aneh? aduh, aku mau pergi saja rasanya,’ pikirku gelisah.

“Halo Jimin!!” Teriak seorang siswa laki-laki membuat seluruh atensi tertuju padanya, seorang laki-laki dengan rambut yang sedikit berantakan di pojok kelas. Bahkan aku sampai terkejut ketika keheningan kelas tiba-tiba riuh karena suaranya.

‘Duh, kenapa dengannya, apa dia siswa yang suka merundung temannya, kuharap aku tidak kena masalah dengannya.’

“Taehyung, tolong diam jangan buat keributan,” tegur Ibu guru di sampingku, suaranya sedikit melengking saat meneriaki siswa tadi.
“Jimin, kamu langsung duduk saja di samping Taehyung.”

Aku mengangguk ragu, sambil berusaha mencari bangku kosong lainnya, tak mau duduk di sampingnya, aku tidak mau jadi korban perundungan, ditambah lagi ini hari pertama aku sekolah di sini.

“Taehyung, jaga dia ya sekarang kamu punya teman sebangku.”

“Siap, Bu,” Taehyung berdiri dengan sigap sambil memberikan hormat pada Ibu guru.

Aku berjalan sambil menunduk takut ke arah bangku belakang, berusaha untuk mengulur waktu sampai akhirnya aku berdiri tepat di samping bangku tersebut. “Hei, Jimin ayo duduk.” Ia tersenyum dengan lebar, membuatku sedikit terkejut. Ternyata dia bisa tersenyum seperti itu, sedikit menggemaskan pikirku.

Hari-hari di sekolah terasa semakin hangat, setelah dua bulan berlalu aku sudah terbiasa berbaur dengan teman-teman. Taehyung sering mengajakku ke mana-mana, sedikit bersyukur ternyata Taehyung tidak seperti yang aku pikirkan dulu, rasanya malu sendiri setaip ingat hal tersebut.

Taehyung juga mengajakku untuk bergabung dengan klub dance di sekolah, dan bertemu dengan Jungkook, Hoseok, Yoongi, Namjoon dan Seokjin. Ya, walaupun dulu Taehyung sedikit memaksaku untuk bergabung.

Jujur aku adalah anak yang pendiam dan takut untuk berkenalan dengan orang baru, beruntung Taehyung benar-benar menjagaku dengan baik.

Hampir setiap hari kami berkumpul, ah, tidak-tidak lebih tepatnya kami berkumpul setiap hari. Kami tidak pernah bosan melihat wajahnya yang sama setiap hari, mendengar teriakan Seokjin saat Jungkook dan Taehyung bertengkar, atau wajah Yoongi yang selalu terlihat kelelahan setiap mengikuti kelakuan aneh kami.

Aku berhenti sebentar, merapikan kantung yang hampir terjatuh dari pegangan sepedaku. Tak lupa menyeka keringat karena kayuh yang kulakukan dengan terburu-buru. Kalau sudah seperti ini aku jadi ingat es susu di sekolah.

Bel istirahat belum berbunyi tapi Taehyung sudah merengek ingin cepat-cepat keluar, “Tenanglah, aku tidak ingin diberikan tugas tambahan lagi,” ucapku sambil menutup wajahku dengan buku paket.

“Yaa, aku tidak mau kehabisan susu cokelat di kantin, memangnya kamu mau? sudah tahu itu paling laris.”

“Tae, siapa juga yang akan menghabiskannya, istirahat juga belum dimulai tidak mungkin ada siswa yang sudah berada di kantin.” Aku sedikit kesal, kalau Taehyung sudah merajuk seperti ini, keinginannya memang selalu ada-ada saja setiap hari.

Lalu, hingga bunyi suara selama lima detik berbunyi dengan nyaring. Belum sempat menoleh Taehyung sudah memanggilku  dari depan kelas.

“Astaga, bagaimana bisa dia secepat itu.”

Aku tertawa mengingat itu, es cokelat di kantin memang yang terbaik, ditambah lagi campuran jeli yang manis. Aku jadi ingin ke sekolah sekarang.

“Ayo, semangat latihannya, tinggal seminggu lagi untuk pertunjukan lomba akhir tahun,” ucap Hoseok sambil memberikan tepuk tangan dengan semangat.

“Kemungkinan, ini akan menjadi pertunjukan terakhir kita di tahun kedua, jadi kita harus menunjukkan pertunjukan yang luar biasa.” Namjoon menambahkan, kami semua mulai bergerak menuju posisi kami masing-masing.

Aku mulai meliuk mengikuti dentuman musik, dengan pergelangan yang lihai menggerakan kipas tangan. Tak terasa setahun sudah berlalu aku menjadi siswa di sini, menjadi sahabat mereka berenam.

Bahkan dulu aku tak pernah membayangkan bisa mendapatkan teman seperti keluarga ini, bisa berdiri di depan banyak orang, bahkan sambil menari. Dulu aku hanya siswa yang pendiam, untuk memiliki satu teman pun rasanya terdengar mustahil, tapi sekarang aku punya enam.

Mereka yang selalu berdiri di sampingku, menjadi energi positifi bagiku. Membuat diriku menjadi seseorang yang lebih baik saat ini.

Seminggu itu kami bekerja keras sampai malam, demi pertunjukan yang apik dan memukai. Hingga kabar itu aku dengar dari Ayah, tepat saat hari di mana pertunjukan yang telah kami siapkan sejak lama akan kami tampilkan, hari itu.

“Jimin, kita harus pindah ke Jepang hari ini.”

Aku menjatuhkan ransel yang kubawa, tadinya aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah untuk pertunjukan tersebut. Dunia terasa terbalik, kupikir aku yang akan ditonton oleh banyak orang sambil diiringi tepukan tangan yang meriah, namun di sini aku menonton ucapan Ayah yang membuatku terkejut.

Mataku mengerjap perlahan, berusaha membendung perasaan panas yang tak ingin ku keluarkan.
Aku berlari ke luar rumah, dengan dua kantung besar yang memang sengaja kupersiapkan untuk sahabatku, tak tahu ternyata hadiah ini malah berakhir sebagai hadiah perpisahan.

Dengan tergesa aku mengayuh sepeda mengikis jarak sedikit demi sedikit.
Setiap kenangan diputar dengan paksa, membuat lelehan tersebut terpaksa mengalir. Padahal aku baru saja merasakan ikatan tersebut terikat semakin kencang, baru saja perasaan hangat itu terjalin di antara kami, namun ikatan tersebut terpaksa untuk mengendur.

Sampai setiap ukiran senyum mereka muncul di benakku,senyum lebar Taehyung saat mengulurkan tangannya untuk pertama kali padaku. Ikatan samar yang mulai terhubung sejak hari itu.

Aku menjatuhkan sepedaku, di depan pagar sekolah. Ingatan kembali terulang, saat aku memasuki gerbang tersebut dengan ragu-ragu, kini setahun telah berlalu namun rasa hangat tersebut masih ada.

Pandanganku akhirnya menangkap keenam sahabatku, dengan tawanya masing-masing dan canda yang selalu keluar setiap saat. Aku mengusap mataku dengan kasar, berusaha untuk tersenyum di hadapan mereka.
Setidaknya ingatan seperti ini yang akan teringat nanti.

“Teman-teman, aku harus pindah lagi, terimakasih untuk semuanya.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
√ BANGTAN TIMELINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang