FIGHT - RM

18 2 4
                                    

Gesekan roda memenjarakan diriku di ujung koridor, bersama dengan tetes-tetes suara monitor yang bergaung. Aku melipat keras tubuhku yang kaku, seakan medan perang beserta letusan tembakan terdengar di mana-mana.

Namun, bukan bunyi tembakan, atau peledak yang aktif. Hanyalah rasa takut yang begitu besar, seharusnya aku paham jika semua orang di sini bukan hanya aku tengah merasa takut.

Rasanya dunia seperti berada pada akhir cerita, aku tidak tahu bahwa membalik lembaran buku pada halaman akhir akan semenyakitkan ini.


12 September tahun lalu, namaku dipanggil bersama dengan empat orang lainnya. Kami menjalani prosesi pelantikan, serta pegambilan sumpah.


“Kim Namjoon.” Dengan gemetar aku melangkah ragu ke depan podium, aku mencengkram kuat bagian dalam jas yang kukenakan takut-takut jika aku membuat kesalahan. Bukan persoalan aku tak hafal lafal sumpah, namun semua orang tahu bahwa apa pun bisa terjadi dengan manusia ceroboh sepertiku.


Saya akan membaktika hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan’

‘Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat’

‘Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya’


Dada ku berdegup kencang selama pengambilan sumpah, tak ada sedikitpun keraguaan dalam diriku. Seperti tembakan peluru yang melesat aku berjanji dengan sepenuh jiwa, memberikan seluruh kemampuan yang kumiliki hanya untuk kesembuhan orang-orang.


Tubuhku yang bersandar merosot tak kuat lagi memikul beban, bahkan dinginnya tembok dan lantai tak lagi dapat kurasakan. Hanya rasa hampa yang tersisa dalam diriku, ketika harapan-harapan menghilang satu persatu.

Ingatanku berputar bersama dengan denyut jantung, rasanya seperti bunyi genderang besar yang dipukul tak beraturan. Suara napasku seperti jeritan dalam film horor. Seharusnya aku tahu, jika aku masih bernapas sekarang, maka di luar sana masih ada harapan yang bergantung pada diriku.

Namun, aku tidak tahu akan hal ini. Kukira menjadi dokter akan membuat diriku hidup lebih baik di masa depan, kukira aku dapat menolong banyak orang. Seharusnya aku tahu hal tersebut.

Mataku terpejam, memutar kaset tadi siang ketika begitu banyak orang berlarian dengan suara tangis dan rintihan. Suara tersebut membuat diriku menggigil, tak tahu jika hal tersebut akan hadir.

Aku teringat ketika Orangtua ku, tersenyum dengan lebar ketika toga dan sertifikat kelulusan telah kubawa. Dapat kulihat mata mereka yang bergetar menahan haru, dengan senyuman yang baru pertama kali kulihat dalam hidupku.

Mereka sangat indah.

Bagaimana jika detik-detik lalu, adalah pertama dan terakhir kalinya aku melihat senyum tersebut. Ketika harapan pergi bersama titik-titik embun.

Bumi telah kolot, dan dimakan oleh spesies serakah seperti kita, orang dewasa. Bukankah kita terlalu egois, setelah hidup seenaknya sekarang kita meminta-minta agar ini berakhir. Tapi bukan salah mereka, mereka tak bersalah sedikitpun.

Manusia memang penuh dengan kesalahan, namun tersenyum bukan salah satunya.

Belum ada sebulan aku mengenakan jas putih dan melihat para seniorku membimbing diriku untuk merawat senyuman-senyuman mereka. Agar lengkuh indah tersebut tetap ada di bumi ini.

Namun, seperti bom ranjau yang akan meledak sewaktu-waktu, semuanya terjadi begitu saja. Ketika ratusan orang mulai memasuki rumah sakit kami, dengan rintihan dan air mata yang sama.

Aku menunduk mengistirahatkan tubuhku, begitupun dengan rekan sejawatku. Ketika hari telah berakhir beserta langit malan yang memuncak. Ketika semua orang tengah terlelap, kami baru saja selesai. Tak ada satu pun dari kami yang baik-baik saja, tentu semuanya terpukul.

Aku memisahkan diriku yang masih termenung di ujung koridor, berusaha untuk menenangkan diri. Terbersit di kepalaku, bagaimana jika aku tak memilih untuk menjadi dokter saat itu, seharusnya aku jadi pegawai kantor biasa saja seperti Ayah.

Lalu sebuah sentuhan tiba-tiba mengejutkan diriku.


“Kaka doktel,” kepalaku menengadah menatap sumber suara. Seorang anak perempuan kecil tengah berdiri di hadapanku, aku ingat ia pasien suspek yang baru datang tadi sore, aku ingat jika ia dipindahkan dari rumah sakit di kota sebelah, karena di sana tak memiliki peralatan kesehatan yang memadai.

“Terimakasih banyak ya, aku berdoa untuk kesehatan doktel,” ucapnya sambil tersenyum merekah. Bibir kecilnya merekah indah, walaupun pucat telah sedikit menutupi wajah berserinya, tapi ia tetap tersenyum.


Hingga tetes air mata keluar begitu saja, ketika kalimat indah itu hadir dari sosok kecil yang sangat rapuh. Mereka menaruh harapan padaku, pada kita. Aku ingat ia tidak sedikitpun mengeluh ketika datang tadi sore, lengannya yang sibuk memainkan boneka beruang dan sekali lagi dengan senyum indah di wajahnya.

Tak ada sedikit pun rasa takut yang terpancar di matanya, karena ia tahu dan percaya dengan kami.

Bagaimana aku bisa menyerah begitu saja, ketika anak ini dan mereka di dalam sana tengah berjuang. Berjuang agar cerita ini akan terus berlanjut, berjuang agar kita semua masih sempat untuk membuat banyak hal indah di sini, pada bumi kita.

Kita semua takut, namun tidak untuk hari ini.

.
.
.
.
.
.
.
fin~

Cerita ini aku persembahkan untuk tenaga medis di seluruh dunia, dan kita semua yang tengah berjuang.
Aku percaya selama kita bersama, semuanya akan baik-baik saja.

√ BANGTAN TIMELINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang