BEGGAR - YOONMIN

70 5 0
                                    

Suga
.
.
.

Terik matahari menyapu jalanan kota Jakarta, lalu lalang kendaraan datang dari empat arah yang berbeda, membuat sekelumit kekacauan yang bertemu di tengahnya. Matahari bertengger tepat di atas ubun-ubun, tak sedikitpun membuat tubuh ku ingin berhenti untuk mengelilingi ratusan kendaraan tersebut, menurut ku ini malah jadi kesempatan besar bagi ku mendapatkan uang lebih banyak.

Aku bangun setelah sedikit melepas penat, aku tak ingat sudah berapa lama tak mengisi perut ku, entah ini hari keberapa aku mulai tinggal di jalanan. Hidup ku hancur seketika, setelah malam yang panas membuat karir ku sebagai seorang Suga, produer musik termasyhur dilupakan dalam sejenak.

Aku menggenggam kantung permen berwarna biru langit yang telah kugulung seperti sebuah wadah tampung, menampung recehan yang diberikan penumpang karena jengah akan eksistensi diriku.

Perlu diingat aku pun tak pernah sedikit pun membasuh tubuh ku sejak pertama tinggal di jalanan, hanya sesekali terkena air hujan yang merembes di sela-sela jalan layang, itupun terhitung hanya dua kali kulakukan.

Mungkin sudah tidak ada lagi kulit putih yang tertinggal di tubuh ku sekarang, noda kecoklatan mengering seperti kerak pada kulit tubuh ku.

Mata sipitku pun telah dihiasi lingkaran hitam yang besar persis seperti kebanyakan riasan di film horor.

‘Aaahhh, masa bodohlah dengan tampilanku, lagi pula tak ada yang peduli sekarang,’ pikirku dalam hati.

Waktu tidurku memang berkurang sangat banyak dari biasanya, aku tak bisa serta merta tidur karena menahan lapar. Uang hasil mengemis tak cukup untuk makan tiga kali sehari seperti biasa, bahkan karena uang hasil mengemis dirampas oleh preman aku harus rela menahan makan beberapa hari.

Sepertinya hari ini adalah hari keberuntungan bagiku, entah ada masalah apa di sana yang jelas sekarang jalanan tengah macet total tak bergerak sedikit pun.

Tanpa memasang wajah memelas aku mulai berjalan dari arah lampu merah, tanpa dibuat memelas pun wajah ku sudah sangat mendukung untuk dikasihani.

Jalanku sedikit gemetar sambil memegang kantung permen tersebut, aku berjalan perlahan dari satu kaca mobil ke mobil lainnya.

“Pak, minta pak. Saya belum makan tiga hari.”

“Pa-pak, kasihan pak buat makan pak,” ucapku memelas sedemikian rupa.

Beberapa kali kulihat ada wanita yang memotret diriku, memang dari awal aku mulai mengemis seperti ini.
Aku sering menemukan orang yang merekamku, bahkan sempat saat keadaan ku belum mengenaskan seperti ini ada yang mengajakku untuk foto bersama.

Dua ribu, lima ribu, sampai dua puluh ribu kudapatkan dari beberapa pengendara mobil yang baik hati.

‘Ahh, aku sedang beruntung hari ini. Akhirnya aku bisa makan enak.’

Seolah mendukung, hari ini pun tak banyak penolakan yang kudapatkan. Semuanya menolak dengan sopan, tak terdengar makian mengganggu seperti biasanya. Kurasa kemacetan hari ini membawa keberuntungan ku hari ini.

Aku jadi sedikit tergugah untuk melihat sumber kemacetan di depan sana, setidaknya aku bisa mengucapkan terima kasih karena telah menimbulkan kemacetan seperti ini.

Lebih dari setengah kantung permen telah penuh terisi dengan recehan dan beberapa uang lembar yang kubiarkan berada di dalam kantung tersebut.

‘Sepertinya, segini sudah cukup untuk makan nasi padang tiga hari kedepan, baiklah sekarang mari kita lihat apa yang terjadi di depan.’

Bunyi klakson semakin nyaring terdengar, beberapa pengendara bahkan keluar dan marah-marah entah pada siapa.

Kulihat dari arah barat sebuah ambulan mengaung bunyi sirine, terlihat kesulitan untuk melaju sampai tengah karena terlanjur terjebak pada kemacetan tersebut.

Apa mungkin ada kecelakaan? pikirku dalam hati.

“Maaf, pak di depan ada apa ya?” tanyaku pada supir angkot yang tengah bersandar malas menutupi kelelahannya.

“Ada kecelakaan bang di depan, katanya motor oleng terus nabrak mobil.”

“Ohh,” balasku sambil mengangguk.

Aku semakin penasaran dengan kejadian yang terjadi, aku terus menyusuri trotoar menuju perempatan di depan. Samar-samar terlihat kerumunan orang mengelilingi sesuatu, kurasa korbannya ada di sana.

“Satu!! dua!! angkat!! Satu!! dua!! angkat!!” Makin nyaring terdengar suara aba-aba dari kerumunan tersebut.

Pandanganku semakin jelas ketika sebuah motor Honda seri CBR250RR yang berhasil diangkat, aku tau jelas merk motor tersebut karena adikku menggunakan motor yang sama.

Namun mataku semakin membulat ketika melihat sebuah sticker berwarna silver terang terpampang pada dashboard motor tersebut.

Stiker bertuliskan AgustD yang khusus dibuatkan oleh Jimin untukku, katanya ia sangat suka nama tersebut. “Jadi ingat abang Suga sama kota kelahiran kita, Depok bang.” Begitu ucapnya.

Aku berlari kearah kerumunan tersebut.

Minggir!! Minggr!!” Aku berteriak lantang pada kerumuman tersebut, beberapa orang membuka memberi jalan padaku.

Terlihat seorang pria tak sadarkan diri di hadapanku, balutan hoodie putih telah dipenuhi noda darah di sana. Tubuhku kaku melihat sosok pria tersebut.

“Ji-Jimin..”

Aku menutup luka robek dan menahan darah yang masih mengalir dengan kaos yang kukenakan, “Minggir!! tolong minggir!!” Aku berteriak sekali lagi pada orang-orang yang masih mengerumuni kami.

Dengan tergesa, aku mengangkat tubuh adikku yang telah ringkih, aku mencoba untuk berlari kearah ambulan yang kulihat tadi.

“Bertahanlah Jim.”

Aku berlari melewati motor-motor yang masih menghalau jalanku, kulihat Jimin masih bernafas walaupun ia tidak sadarkan diri sama sekali.

“Jimin, bertahanlah,” ucapku lirih melihat satu-satunya adikku bersimbah darah.

“A-abang Suga.” Terdengar suara Jimin yang sangat pelan keluar dari bibirnya.

Aku menatap mata Jimin yang sudah sedikit terbuka, tanpa sadar air mata menetes melihat Jimin yang sadarkan diri.

“A-abang jangan pergi lagi ya, Ji-Jimin sendirian di rumah.”
.
.
.
.
.
.
.
fin~

√ BANGTAN TIMELINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang