Sempurna - Yoonmin pt.2

18 1 0
                                    

Katanya ada dua cara untuk mengubah dunia, yang pertama adalah menjadi seorang revolusioner dan yang kedua adalah menjadi seseorang yang melihat dunia dengan cara yang positif. Aku tidak percaya lagi dengan keduanya, apalagi dengan seseorang yang pernah mengatakan hal tersebut.

Tinggal di sebuah perumahan yang disebut dengan Goshiwon membuatku sadar bahwa harapan itu sudah tidak ada, hanya ada tembok tipis berukuran dua kali dua meter, membuatku kesulitan hanya untuk membaringkan tubuhku yang ikut berdesakan dengan lemari seadanya dari kotak kardus yang kuambil tahun lalu, mungkin sudah mulai lapuk sekarang.

Aku Min Yoon Ki, seseorang yang berusaha untuk berdiri di bawah naungan langit biru negeriku. Di antara desaknya manusia yang kian cerdik mengatur kehidupannya, dan secara bijaksana membuat gemerlap Korea menjadi samar di mataku.
Gemerincing lonceng berbunyi, menandakan seorang pelanggan memasuki toko, membuat mataku yang kian menutup terpaksa kembali sadar. Seorang wanita  terlihat seumuran denganku, kedua lengannya disibukkan dengan membawa lembaran gulungan kertas. Tak biasanya aku memperhatikan pelanggan, tapi wanita dengan jaket parka berwarna hijau army yang terlihat lusuh dan berbagai macam barang yang ia bawa sampai menutupi wajahnya, cukup menarik perhatianku.


“Hei, hei tolong hitung belanjaanku,” suaranya memecahkan lamunanku, dan tanpa sadar wanita tersebut telah berada di hadapanku, kini ia telah menaruh bawaannya di lantai.

“Semuanya, 457.000 won.” Kulihat ia banyak sekali membeli susu dan roti, mungkin jumlahnya ada sekitar dua kardus, sial bagaimana ia membawa semua barang-barang ini. Kuharap ia tidak merepotkanku.

Setelah membayar ia langsung membawa belanjaannya keluar, dan ia memberikan kardus susu tersebut pada pria tua di depan toko, pria tersebut langsung menerimanya dengan girang dan berucap terimakasih berkali-kali.



Aku merapatkan hoodie yang membalut tubuhku, jalanan tetap ramai saling mendahului tak peduli seakan jalanan menjadi karpet pribadi milik mereka. Aku kembali menenggak botol soda yang kubawa setelah menyelesaikan shift malam.

Langit malam terlihat menyedihkan bagiku, terlihat gelap dan tak berwarna seperti hari-hari kesendirian yang kulalui. Mungkin sudah 13 bulan lamanya aku pergi dari Busan, meninggalkan kenangan masa anak-anak dan mereka yang memaksa diriku menyebutnya dengan rumah.

Entah kenapa ada perasaan terbakar setiap mengingat keluarga dan rumah, teringat perasaan marah dan rasa sakit yang selalu menyayat hatiku. Aku hanya remaja 18 tahun yang ingin menggapai jalan mimpiku sendiri, menatap kehidupan masa depan yang kudambakan. Sekarang semuanya telah pergi, jemariku selalu gemetar hanya untuk memegang setiap tuts hitam putih itu, setelah malam yang dingin saat aku membuang setiap lembaran partikel-partikel melodi yang ditenggelamkan bersama mimpiku di kedalaman Sungai Han.

Aku mengetuk setiap pagar besi jembatan Wonhyo, menghalangi setiap gemuruh yang selalu hadir di setiap mimpi-mimpi malam hariku, membuat diriku hampir selalu terjaga.

Sejak hari itu, hari di mana buih-buih impian itu lenyap bersama hujan yang ikut naik di bulan April.



Setelah melepas helm, aku membawa sekardus pesanan menu dosirak ke halaman Universitas Soongsil, bos memintaku mengantarkan makanan ini ke taman departemen kesenian.

Ada banyak anak-anak kecil yang duduk sambil bernyanyi bersama mahasiswa di sini.


“Hei.” Aku menuju wanita yang memanggilku, ternyata ia wanita yang sama yang kutemui kemarin malam di minimarket. Tak banyak yang terjadi, sepertinya ia juga tak terlalu mengingatku. Aku hanya menerima uang pembayaran yang ia berikan, dan bergegas ingin kembali bekerja. Nyatanya berkeliaran terlalu lama di tengah musik yang terus mengalun di sini cukup membuatku tak nyaman.

Terlihat wanita tadi membagikan makanan tersebut pada anak-anak yang tengah bernyanyi, wajahnya cerah matanya juga selalu tersenyum padahal ia selalu terlihat sibuk, bahkan jika aku tak salah ingat pakaiannya masih sama seperti semalam.


“Aduh, kalau jalan lihat-lihat dong, jadi berantakan, nih.”


Aku membungkuk meminta maaf, sudut mataku menangkap wanita tadi yang ikut menatap kearahku. Seharusnya aku fokus saja tadi, aku jadi membuat keributan sekarang. Aku membantu orang tersebut mengambil lembaran yang berserakan. “Maaf.”

Mataku melirik lembaran kertas yang ikut terjatuh, ternyata acara tadi adalah acara amal. Tanpa sadar bibirku mengalun senyum tipis melihatnya. Namun, suara ramai instrumen mulai kenyamanan ku kembali terganggu.

Suara gitar yang mulai dipetik dengan genderang yang semakin nyaring didengar, ditambah suara anak-anak yang berlarian mengikuti alunan melodi.


“Apakah kau bisa membantuku? seorang pianis yang seharusnya bermain hari ini ia tidak bisa hadir karena kecelakaan di jalan.”


Belum sempat menetralisir pikiranku karena suara musik tadi, kecemasanku semakin mengudara karena wanita dengan jaket hijau army ini telah menarikku menuju piano berwarna cokelat di dekat kolam. Persis seperti miliknya.


“Kudengar kau seorang pianis, toloh aku kali ini ya, nanti aku traktir.”
Tak sempat untuk menolak, aku sudah duduk di hadapan piano ditambah anak-anak yang telah duduk dengan rapih dan terlihat antusias. Jarang sekali melihat anak-anak yang tertarik dengan musik, tapi mata mereka sangat polos, belum lagi dengan anak laki-laki kecil yang tersenyum menampilkan gigi kelincinya.

Apakah ini waktunya? aku bahkan tak pernah menyentuhnya lagi. Sudah hampir setahun lamanya, jemariku telah mati suri begitupun hatiku yang telah lama tertutup. Setelah ia adikku satu-satunya, yang pergi membawa semua impianku.

Jimin pergi, kukira ia telah menjadi pria yang kuat seiring ia yang telah menjadi dewasa. Jimin memang tumbuh lebih sempurna, masih teringat ketika usiaku yang masih empat tahun menatap tubuh kemerahan yang menangis, aku tidak tahu kenapa Ayah dan Ibu juga ikut menangis, tapi aku yakin Jimin adalah adik yang paling sempurna.
Jimin memang hampir tak pernah mengeluh, tak pernah sekalipun berkeluh kesah karena kakinya. Tapi aku tahu, kalau seragam yang kotor atau beberapa lebam kebiruan di lengannya bukanlah akibat bermain bola, atau mendapat tugas kebersihan dari sekolah.

Tapi, wajahnya hanya tersenyum di depanku. Ia menepati janjinya menjadi satu-satunya malaikat di dalam hidupku, dan aku kembali menjadi Kakak yang gagal. Teringat ketika ia bersemangat untuk pergi tamasya saat kelulusannya dari sekolah menengah pertama. Ia mengenakan kaus berwarna putih dengan lengan hitam oversized, ditambah topi favoritnya dengan tanda tangan G-Dragon penyanyi favoritnya. Katanya ini adalah barang yang paling berharga miliknya, hadiah ulang tahun ke-sepuluh dari Kak Yoongi.

Aku tidak tahu bahwa perpisahaan hari itu akan menjadi yang terakhir, aku tidak pernah berekpektasi bahwa Jimin akan pulang dengan topinya saja. Bus yang dinaiki Jimin mengalami kecelakaan beruntun di terowongan. Menjadi kenangan terakhir yang Jimin tinggalkan.
Jimin yang menjadi malaikat bagi Yoongi, keluarga sekaligus musik bagi Yoongi. Satu-satunya alasan ia menggeluti dunia musik, alasan keberadaanya tetap berada di dunia. Kepergianku dengan begitu banyak kemarahan yang kubawa, entah marah dengan siapa, tapi aku tak sanggup lagi untuk tetap tinggal di bawah atap yang sama dengan kenanganku bersama Jimin.

Anak kecil bergigi kelinci di hadapanku, terus mengangguk seakan meyakinkan ku untuk mulai menekan deretan tuts piano tersebut. Sosoknya membuatku ingat dengan seseorang.

Tanganku masih begitu gemetar, dengan jemari yang mulai basah. Aku memberanikan diriku untuk menekannya, dengung kencang membuat pendengaranku mati rasa. Mataku berubah menjadi buram dan kelabu. Sampai terasa sebuah sentuhan pada pahaku, berkali-kali terasa lembut dan menggelitik.

“Kakak, ayo mulai Kuki pingin dengar.”

Anak kecil yang tadi, ia tersenyum padaku. Membuat kesadaranku kembali, benar ia terlihat tidak asing. Ibu.

.
.
.
.
.
.
.
Selesai

√ BANGTAN TIMELINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang