Teriakan Tepi Pantai - Jimin

25 2 0
                                    

Seragam sekolahku basah dipenuhi oleh peluh selepas berlari tak karuan dari gerbang sekolah, menahan malu yang tak terhingga ketika selembar kertas itu, ku berikan padanya.

Sebuah perasaan tulus bagi seseorang yang keberadaannya hampir tak terlihat, ia adalah seorang perempuan biasa dengan kulit pucatnya dan seragam sekolahnya yang selalu kebesaran.

Mungkin, karena ia tinggal dengan kaka pria nya.

Berita tentang perasaan suka ini sudah melalang buana di seluruh penjuru sekolah, padahal siapa yang peduli dengan sosok Jimin, pria dengan pipi berisi dan kaca mata bulatnya.

Seharusnya ia ingat jika Wanita yang ia suka ini tinggal bersama dengan kakak nomor satu di sekolah, pemuda bertubuh besar dan berotot, Kim Namjoon. Siapa yang tak kenal dengannya, hanya aku yang begitu nekat mengatakan perasaanku di hadapan kakaknya.

Aku masih mengatur napasku dengan perlahan, bersandar sebentar pada pagar pembatas jalan yang menghadap langsung pada laut kebiruan yang menggoda. Mengingat tubuhku yang bermandikan keringat, membayangkan diriku diterpa ombak saja sudah terasa cukup untuk menutupi rasa maluku.

“Kian, aku punya sesuatu untukmu,” Aku menunduk sambil mengeluarkan selembar kertas berwarna merah muda dari saku seragamku.

“Kau, bisa membacanya nanti,” ucapku yang masih tak berani untuk menatapnya, sampai sebuah suara berhasil mengejutkanku.

Kim Namjoon, pemilik suara berat yang membuat mataku sontak mengarah padanya, aku semakin panik ketika lembar kertas itu sudah berada di tangan kakaknya, ia menaikkan alisnya sambil memicing melihat padaku.

Tak sanggup lagi untuk menerima skenario berikutnya, aku memutuskan untuk memutar balikkan tubuhku dan berlari sekuat tenaga.

Langkah ini bergerak begitu cepat, tak kusangka ternyata pelarian pertama di hidupku disebabkan oleh perasaan bimbang pada cinta pertamaku.

Wajahku memerah entah karena menahan malu, atau tubuhku yang memanas karena dipaksa untuk berlari bak dikejar anjing.

Sebetulnya aku kabur dari apa, jika dilihatpun sepertinya taka da yang mengejarku.

Hanya bayang-bayang cibiran dari seluruh penghuni sekolah yang terbayang begitu saja, sepertinya aku harus pindah sekolah sekarang juga, mencari peruntungan lainnya dan melupakan perasaan malu ini, aku rela melepas masa sekolahku.

Kedua kakiku yang sudah lemas dan tak sanggup untuk bergerak, memaksaku untuk berhenti di tepian jalan.

Pada pembatas jalan dengan ilalang tinggi yang menutupinya, membatasi tepian pantai dengan jalanan. Melihat lautan biru dengan ombak yang memercik seakan mengejek kebodohan yang ku lakukan beberapa saat lalu, seharusnya aku bangga dengan predikat siswa yang tak dikenal ini.

Aku menutup wajahku dengan telapak tangan, berjongkok karena tak sanggup untuk berdiri. Begitu lemas, seakan tulang-tulangku sudah lepas semua di sepanjang jalan. Rasanya ingin menangis saja. Rambutku tiba-tiba terasa begitu basah, dan menyegarkan sepertinya aku sudah pingsan sejak tadi.

Setidaknya aku tidak perlu membawa rasa maluku saat tak sadarkan diri.

“Hei, kau menangis?” Suara berat itu kembali terdengar di telingaku.

Tubuhku kembali membatu, dan merutuk diriku yang tak segera menenggelamkan tubuh ini di lautan.

Kim Namjoon ada di hadapanku, pasti dengan tatapannya yang mengejek, dan siap membogem wajahku karena dengan lancang mengusik adik satu-satunya.

“Jimin, namamu Jimin kan? bangunlah, ada jawaban yang harus kau dengan dari adikku.” Namjoon mengangkat lenganku, membuat tubuhku beridir dengan mudah.

Kini di hadapanku ada seorang Kim Namjoon dan adiknya Kian, sosok teman sekelas yang begitu cantik ketika wajahnya dikenai cahaya yang mengintip dari balik jendela kelas.

“Jawabanku ia, aku mau.” Tubuhku bergetar semakin gusar, aku berusaha mengorek telingaku berharap jika aku salah mendengar, memastikan jika sekarang aku sepenuhnya sadar.

“Aku juga sudah melihatmu semenjak awal semester, saat kamu membantuku keliling sekolah di hari pertamaku.

Waktu itu kau menolongku tanpa diminta, walau tak dekat dengan siapapun tapi kau begitu paham dan mengenal semuanya.”

“Saat itu aku berpikir, kalau aku ingin menghabiskan masa SMA ku dengan seseorang yang tulus dan begitu perhatian, orang itu kamu Jim.”

Aku menatap Kian, dengan wajah yang semakin memerah, pelupuk mataku sudah melewati batasnya dan air mata akhirnya keluar, aku sesenggukan di hadapan Kian dan Kak Namjoon.

“Hei, kau menangis betulan,” ucap Kak Namjoon, aku hanya menggeleng sambil terus mengusap mataku. Kenapa Kian harus menyerangku seperti ini, aku tak siap dan malah menangis di hadapan mereka.

Perasaan yang memuncak ini, juga tak sanggung aku bendung, setelah menahan malu dan menekan berbagai perasaan yang kurasakan. Akhirnya aku menangis.

“Kian!! Terima Kasih Banyak!!” Aku berteriak menghadap lautan biru yang bersorak padaku.

√ BANGTAN TIMELINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang