• d u a •

71 7 0
                                    

Tessa dan Carlia tidak bisa berhenti tertawa saat Navy menceritakan kejadian pagi ini. Gadis itu memang tidak datang terlambat sebab Dokter Nina ada rapat dadakan persiapan akreditasi. Namun, rasa malu itu masih menyelubunginya.

"Aku enggak nyangka kamu bakal seceroboh itu, Vy!" Tessa berceloteh di tengah tawanya yang menggelegar. Tidak peduli bahwa mereka sedang di kantin.

"Terus, kamu gimana habis itu?" Berbeda dengan Tessa yang tidak pernah puas menertawakan Navy, Carlia justru--sedikit--bersimpati. "Malu banget pasti?"

"Ya, menurutmu aja gimana?!" sembur Navy gusar. "Ketemu doi dengan rambut dicepol bekas bangun tidur, kancing kemeja enggak benar, udah begitu ketahuan lagi ngumpat kasar lagi! Gimana enggak malu?!"

Napas Navy menderu, sementara Tessa sudah lelah tertawa dan Carlia yang kini hanya tersenyum geli.

"Dan enggak lupa warna flat shoes kamu beda sebelah," imbuh Tessa sambil menyenggol kaki Navy.

Benar.

Selain kancing kemeja yang tidak terkait dengan lubang pasangannya, hal buruk menimpa gaya berpakaian Navy hari ini. Flat shoes yang dikenakannya saat ini berbeda warna, juga berbeda motif!

Navy ingat betul tatapan aneh dia dan temannya. Mereka berdua seakan-akan menatap Navy adalah pasien penyakit menular.

"Kenapa sih giliran lagi enggak tampil dengan baik, malah ketemu?! Giliran lagi rapih, dia entah di mana!" rutuknya lalu menelungkupkan kepala di atas lipatan tangannya.

Sambil tertawa, Tessa mengusap punggung Navy. "Meskipun berantakan, kamu tetap cantik kok, Vy."

Navy mendecakan lidah. "Enggak usah hibur kayak gitu, aku sadar betapa kacaunya tampilanku pagi ini."

"Mungkin Tuhan pengin Red lihat kamu apa adanya," tukas Carlia tiba-tiba, membuat kedua temannya bersitatap. Bahkan, Navy sampai menengadah.

"Maksudnya?" 

"Yah," Carlia tampak ragu sejenak, sebelum melanjutkan, "semacam pengin buat dia suka sama kamu yang jadi kamu."

"Iya juga sih," timpal Tessa. Dia menepuk bahu temannya yang sejak tadi uring-uringan, lalu berkata, "kalau dia langsung enggak suka sama kamu yang apa adanya dengan penampilan tadi, yah berarti dia enggak sebaik tampangnya."

Sebenarnya, Navy hendak membantah perkataan kedua temannya barusan dan tetap bersikeras bahwa penampilan prima di depan orang yang disukai adalah pemicu supaya orang itu tertarik. Namun, perkataan kedua temannya pun ada benarnya.

"Kalian benar," ujarnya seperti bergumam.

"Kamu juga enggak salah kok, Vy. Penampilan memang hal utama yang pasti menarik perhatian," respons Carlia kalem.

Tesaa mengangguk-angguk. "Prinsip dari mata turun ke hati."

Percakapan mereka kembali berlanjut dengan topik yang berbeda dan menghabiskan empat puluh lima menit di kantin sibuk bercengkrama ria. Sebelum akhirnya beranjak menuju kelas, tepat sepuluh menit sebelum kelas terakhir dimulai.

Ketika ketiganya berjalan keluar kantin, langkah Navy—yang mendahului kedua temannya beberapa langkah—terhenti. Dan diikuti kedua temannya satu langkah di belakang Navy.

Matanya terpaku pada seorang laki-laki yang baru saja keluar dari koridor fakultas kedokteran. Dalam hati, dia berharap laki-laki itu akan melihatnya yang kini sudah berpenampilan lebih rapih--meskipun sepatunya tetap berkata lain.

Sayangnya, laki-laki itu terus berjalan.

Navy terus menatapnya sampai punggung laki-laki itu menghilang di keramaian lobby kampus.

Nama laki-laki itu berdengung di kedua telinganya. Otaknya mendadak memunculkan sebuah ide yang--cukup--brilian.

Seketika gadis itu tidak sabar untuk menuliskannya di buku berjilid spiralnya nanti malam.[]

• • •

Halo! Kita bertemu kembali melalui bab baru! Semoga bab ini lebih menarik dan membuat kalian semakin penasaran bagaimana cerita ini selanjutnya hingga tamat.

Kalau begitu, sampai jumpa di bab selanjut yah! 😆

I Wrote This at Midnight✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang