• e m p a t b e l a s •

39 7 0
                                    

Navy bersyukur karena semenjak pertemuannya dengan Red minggu lalu, dia belum melihat sosok itu sama sekali. Setidaknya, dia bisa sedikit rileks dan mencoba berdamai dengan kejadian memalukan itu.

Jika dulu Navy sering uring-uringan bila tidak melihat sosok Red di kampus, kali ini kebalikannya. Pernah satu kali dia melihat sosok cewek yang—kata Red—bernama Feru, tanpa aba-aba Navy langsung melarikan diri. Padahal dia saja tidak tahu apakah si Feru itu sedang bersama Red.

Bila dulu Navy ingin tahu tentang Red lebih lanjut, sekarang dia terpaksa memendam rasa penasaran itu demi menjaga harga dirinya yang secara tak langsung jatuh karena pertanyaan minggu lalu.

Kini, Navy bersama kedua temannya sedang menghabiskan santapan makan siang mereka dengan posisi Navy duduk membelakangi pintu masuk kantin. Alasannya sudah jelas. Dia tidak ingin melihat Red—karena malu—meskipun gadis itu tidak suka duduk menghadap tembok.

"Mau sampai kapan sembunyi gitu, Vy?" tanya Tessa yang terlihat sudah tidak tahan dengan tingkah mengendap-endap sahabatnya. "Lagian kalau dari cerita kamu, aku yakin dia awalnya cuma bercanda. Justru reaksi kamu itu yang bikin dia tahu."

Navy tidak menggubris celotehan Tessa dan sibuk menghabiskan soto ayamnya dengan kepala menunduk dalam. Sementara itu, Carlia dengan senang hati membalas perkataan Tessa.

"Tapi, Tess, kalau kamu di posisi dia pas itu, aku yakin kamu bakal bertingkah serupa enggak sih?" sahut Carlia, membuat Navy merasa terbela. "Pasti kaget dong kalau misalkan doi yang ditaksir main lempar pertanyaan kayak gitu."

Tessa menggumam. "Ya, iya sih. Rasanya pasti kayak ketembak confetti."

Dahi Carlia mengerut. "Kenapa pake umpama confetti?"

Itu adalah salah satu pertanyaan tidak penting yang sering terlontar dari mulut Carlia selama pertemanan mereka berlangsung.

"Karena confetti itu selain bikin meriah sebuah acara, juga bikin kaget beberapa orang," jawab Tessa, namun Carlia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia paham maksudnya. Sementara, Navy tahu betul apa arti dari umpama confetti itu.

Memahami bahwa temannya yang satu itu tidak paham, Tessa kembali menjelaskan filosofi confetti ala-nya. "Jadi, tebaran warna-warni itu adalah perasaan si Navy. Riang, gembira, dan bahagia. Terus suara yang ditimbulkan ketika confetti diputar itu adalah pertanyaannya Red."

Carlia ber-oh ria sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Tessa bernapas lega, namun kembali tertahan ketika Carlia kembali bertanya.

"Tapi, Tess, kan yang terjadi itu suara yang bikin terkejut baru warna-warni-nya nyembur keluar. Harusnya, setelah Red tanya gitu, Navy riang gembira bahagia dong? Bukan kayak—"

Tessa mengerang frustasi. "Ya, Tuhan-ku. Gitu aja dipermasalahin!"

Meskipun Navy sedang tidak ikut dalam pembicaraan itu, diam-diam dia tertawa melihat kedua sahabatnya memperdebatkan hal-hal kecil. Sampai akhirnya, dia terpaksa mendongak ketika Tessa menyenggol lengan kirinya.

Kedua alis Navy terangkat. "Apa?"

"Kita enggak bisa balik ke kelas dengan cepat," desis Tessa sambil mencondongkan tubuhnya ke Navy.

"Kenapa?"

"Ada Red."

Jantung Navy seakan berhenti berdetak sesaat. "Di?"

"Di meja belakang kita," jawab Tessa.

"Tepatnya dia duduk di belakang kursimu," timpal Carlia yang juga ikutan berbisik. Entah sejak kapan dia bergabung dengan aksi bisik-berbisik Tessa dan Navy.

"Kalau kamu mau memastikan, bisa nengok pelan-pelan. Mumpung dia lagi enggak nengok ke arah sini," desis Tessa lagi.

Navy melakukan apa yang dikatakan Tessa. Dia menegakkan bahannya kemudian menoleh ke arah kanan secara perlahan.

Dan, kesialan kembali menimpanya.

Kala itu, Red juga ikut menoleh sehingga mereka—secara tidak sengaja—bertukar tatap.[]

I Wrote This at Midnight✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang